13

162 12 2
                                    

I felt betrayed, even though I wasn't
- from friend.

Being human is one of the most difficult things to learn
- from friend.

"Cukup sampai di sini pelajaran hari ini. Untuk penilaian akhir semester, silakan pelajari bab 1 hingga bab 4. Ingat, jangan lupa belajar! Penilaian akhir semester tinggal seminggu lagi."

Seisi kelas mendesah kecewa begitu Bu Raini mengingatkan mereka akan sisa waktu yang mereka miliki sebelum penilaian akhir semester resmi dimulai. Keluh kesah mulai merambat ke seisi kelas. Bahkan, setelah Bu Raini mengakhiri jam pelajaran sekaligus mengakhiri jam sekolah, seisi kelas masih saja gaduh. Bukannya segera berkemas dan pulang, mereka justru memilih tetap berada di kelas sembari menyambat.

Galuh dan Nala sibuk memberesi perlengkapan sekolah mereka. Hari ini Galuh akan pulang bersama Nala. Atau, lebih tepatnya Nala yang akan mengantar Galuh pulang. Nala bilang ia ingin meminjam beberapa catatan pelajaran Galuh. Berhubung Galuh tidak membawa semua catatannya, maka ia meminta Nala untuk mengambil di rumahnya.

"Aduh, gila, sih, baru juga naik kelas sebelas udah penilaian semester aja!" keluh Sandrina, sang gadis pentolan kelas.

"Mana gue enggak paham semuanya. Makin bego, deh, gue." Triska yang tengah memulas make-up ikut dalam pembicaraan kawan-kawannya.

"Halah, gitu aja sambat. Ulangan, ya, ulangan. Palingan si Naren yang jadi juara kelas," ujar Ajip pada teman-temannya. Cowok itu kemudian menatap Naren dan berkata, "kagak bosen apa, Ren, jadi juara terus? Gantian sini sama gue."

Naren tersenyum sekilas untuk menimpali Ajip. Sejak kelas sepuluh memang dialah yang menduduki peringkat pertama. Kali ini ia pun bertekad untuk tetap menjadi si juara kelas bertahan. Tak akan ia biarkan seorang pun menghalangi langkahnya.

"Tapi, bisa aja si Galuh yang jadi juara kelas. Rata-rata nilai Galuh sama Naren kan beda tipis sejak kelas sepuluh," seloroh Moni tiba-tiba.

"Iya, juga, ya."

"Gas aja, lah, Luh. Tabrak aja daripada serempet-serempet."

"Lu kata Galuh naik motor?!"

"Yee, analogi itu. biar kerenan dikit."

"Analogi dari Hongkong?!"

"Santai, dong. Kayak mak lampir lu."

Seketika Galuh tak berminat mendengar obrolan teman-temannya. Ia mengalihkan pandangannya pada Naren yang tengah berjalan keluar dengan tergesa. Ekspresi Naren berubah penuh kebencian. Galuh hanya bisa memandangnya datar. Bahkan ketika Naren dengan sengaja menabrak pundaknya, Galuh hanya diam. Sebenci itukah Naren padanya?

"Biarin, Luh. Ayo kita pulang aja," bisik Nala pelan.

*

Langit sore ini lumayan teduh. Arus kendaraan pun ramai lancar. Mobil Nala melaju dengan kecepatan sedang. Suara musik menggema untuk menutupi keheningan yang ada di dalam mobil. Biasanya Galuh dan Nala akan sibuk berceloteh dalam perjalanan, tapi kali ini keduanya memilih untuk saling diam. Galuh menatap jalanan lewat jendela mobil, sedangkan Nala fokus mengendarai mobilnya.

"Luh," panggil Nala memcah keheningan.

"Kenapa?"

"Lo tahu 'kan gue naksir Bagas dari kelas sepuluh?"

Kening Galuh berkerut. Ia sedikit terganggu dengan pertanyaan retoris Nala. "Tahu."

"Menurut lo, Bagas orangnya gimana?"

Galuh menerawang ke depan. Beberapa serpihan memori tentang Bagas muncul di kepalanya. "Menurut gue dia baik, aneh, dan nggak pekaan. Kenapa?"

Nala menggeleng. Ia mengembalikan pandangannya ke jalanan. Sejak kemarin ada hal yang mengganggunya. Yang membuatnya terus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Yang membuatnya sedikit mulai mengerti mengapa sang pujaan hati tidak meliriknya sama sekali.

"Seandainya lo nggak tahu kalau gue naksir Bagas, apa penilaian lo soal Bagas bakal berubah?"

Perhatian Galuh beralih pada Nala sepenuhnya. Nala terlihat gugup dan ragu. Galuh berusaha menerka-nerka apa yang tengah dipikirkan Nala.

"Nggak, Nal," kata Galuh, "kenapa lo nanya begitu?"

"Nggak ada apa-apa, kok. Gue cuma pengin tahu dari sudut pandang lo aja."

Percakapan keduanya berakhir begitu saja. Kedua gadis itu terus terdiam hingga mobil milik Nala masuk ke dalam pelataran rumah Galuh. Begitu sampai rumah, Galuh segera mengambilkan catatan pelajarannya untuk ia serahkan pada Nala. Beberapa buku dan berlembar-lembar print out materi ia berikan pada Nala.

"Makasih, Luh," ucap Nala sambil memeluk setumpuk catatan pelajaran milik Galuh.

"Iya. Jangan lupa belajar, tinggal seminggu lagi penilaian akhir semester."

"Iya, deh, Bu Guru," kata Nala sambil memeragakan sikap hormat. Mau tak mau keduamya tertawa. Lega rasanya bisa tertawa setelah seharian dipenuhi berbagai pikiran menganggu.

"Lo langsung pulang habis ini?" tanya Galuh.

"Iya. Yaudah gue balik dulu. Bye, Galuh!"

Mobil Nala meninggalkan halaman rumah Galuh. Setelah mobil Nala menghilang dari pandangan, Galuh memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Gadis itu memilih duduk sebentar di ruang tamu untuk menghilangkan penatnya. Ada banyak hal yang mengganggunya hari ini. Tingkah Naren yang semakin membuatnya lelah. Ditambah dengan sikap aneh Nala.

Nala ... apalah yang terjadi dengan gadis itu. Gelagat aneh sahabatnya itu sedikit mengganggunya.

Satu notifikasi pesan masuk mengalihkan perhatian Galuh. Rupanya Tante Nina –ibu dari Nala— yang mengiriminya pesan. Galuh mengangkat sebelah alisnya. Tumben sekali Tante Nina mengiriminya pesan.

Tante Nina

Galuh, tolong kamu susul Nala ke mall. Dia nge-mall sendirian. Takutnya nanti dia kebablasan beli barang.

Galuh semakin mengernyit. Jadi, Nala tidak langsung pulang? Bukannya tadi ia bilang akan pulang? Galuh segera membuka kontak dan mencari nomor Nala. Gadis itu akan meneleponnya lebih dahulu.

"Halo," ujar Galuh begitu telepon tersambung.

"Halo, Luh."

"Lo nge-mall di mana?"

"Kok, lo tahu?"

"Nyokap lo ngabarin gue. Nyokap lo nyuruh gue buat nyusul elo."

" ...."

"Nal?"

"Sorry, Luh. Lo nggak perlu nyusul gue. Gue nggak jadi nge-mall. Gue mau langsung pulang aja."

Kernyitan di dahi Galuh semakin jelas begitu Nala menutup teleponnya secara sepihak. Ada yang aneh dari Nala. Gelagat sahabatnya itu semakin jelas. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Padahal jarang sekali Nala menyembunyikan sesuatu dari Galuh. Sahabatnya itu selalu blak-blakan dengannya. Namun, ia tak bisa memaksa Nala untuk bercerita yang bisa Galuh lakukan hanyalah menunggu waktu sampai Nala menjelaskannya dengan sukarela. Kalaupun tidak, Galuh yang akan menerkanya sendiri. 

~GALUH~

Kalian punya gambaran nggak tentang Galuh kedepannya? 😌 Please feel free to write on comment section, I wanna know👋

Have a nice day everyone!

GALUHWhere stories live. Discover now