Chapter 22 - Discredulous

666 53 3
                                    


"Oh jadi sekarang kamu udah nggak mau dilarang lagi? Udah ngerasa hebat sekarang? Udah nggak perlu dengar saran atau apa-apa lagi dari orangtuamu? Nggak butuh juga ya sama rasa peduli dari kami? Iya, Widya? Ayah dan Ibu itu melarangmu karena kami masih peduli. Tapi semua kepedulian kami ini malah kamu tolak dengan alasan ingin bebas."

"Udah, Yah, udah. Ibu udah nggak sanggup lagi lihat kita berantem gini."

Di tengah isakannya, kudengar meme Ida berusaha meredakan amarah Om Dewa.

"Nggak, Bu. Widya ini harus mulai dikerasin sekarang. Widya, kurangnya Ayah dan Ibumu itu apa? Kamu mau ke sana sini, kami selalu bilang iya. Kamu minta untuk nggak ditelpon-telpon, kami turutin. Kamu gamau ditanya-tanya kalau sehabis pergi-pergi, kami juga maklumi. Lalu sekarang apalagi?

Dulu kamu punya banyak waktu buat ngumpul sama orangtuamu, Wid. Sekarang? Boro-boro! Bahkan di saat hari libur pun, batang hidungmu susah banget ditemui di rumah. Pernah kami protes? Nggak, kan? Kamu tahu seberapa khawatirnya Ibumu setiap kamu pergi dan nggak ada kabar? Pernah coba untuk tahu, Wid? Yang kamu tahu Ibumu biasa-biasa aja, kan? Sedangkan Ayah di sini yang selalu lihat tangisannya.

Ayah bisa apa buat bikin Ibumu berhenti cemas? Nggak ada, Widya. Selain berdoa supaya kamu pulang dengan selamat. Ayah tahu, semua hal ada konsekuensinya, dan ya ini akibat dari pilihan kami yang nggak mau ngebuat kamu ngerasa dikekang.

Ayah dari dulu percaya dan terus berharap kalau alam di luar sana, bisa bikin kamu dewasa. Bisa ngebuat kamu paham apa definisi rumah, dan tahu artinya pulang serta kabar. Tapi sayangnya semua percuma, perjalananmu itu nggak lebih dari sekadar berapa banyak tempat yang sudah kamu injak.

Semua anak muda selalu bilang ngelakuin perjalanan buat nyari inilah, itulah. Kamu juga mau mulai ikut-ikutan, Widya?! Apa yang mau kamu cari, hah?! Kalian itu sering lupa yang selama ini dicari itu ada di diri sendiri, bukan di semua kebebasan dan perjalanan jauh yang kalian agungkan itu."

Sebulir airmataku terjatuh begitu saja mendengar ucapan Om Dewa. Aku masih bergeming mendengar semua pertengkaran mereka. Seraya memeluk erat diri sendiri, aku mengakui semua yang Om Dewa katakan tak sepenuhnya salah.

Benakku kembali mencerna semua hal yang membawaku berlari sejauh ini ke Bali. Aku beralasan mencari ketenangan, tapi hingga detik ini justru semesta berulang membuat perasaan tak nyamanku semakin nyata. Apa yang kukira sedang kucari tak kunjung kutemukan, bahkan apa yang aku temui di sini justru membuatku semakin sadar sudah kehilangan banyak hal dalam hidup di atas upaya yang kugadang sebagai pencarian.

Bayangan mimpi yang tadi membangunkanku kembali mengisi sudut-sudut ingatan. Tubuh seorang perempuan yang sudah melahirkanku terbujur kaku dan tengah diturunkan dari keranda. Bahkan tanganku tak lagi bisa untuk sekadar menyentuhnya sebagai penghormatan terakhir, karena terlanjur sudah turun ke liang lahat. Aku terlambat datang, dan lagi-lagi hanya bisa menghidu kesepian dan kehilangan untuk kali ke sekian.

[to be continued....]

***

Kisah ini belum berakhir, karena Layung masih harus menemukan jawaban dari semua tanya dan kekosongannya. Untuk kamu yang juga tengah berjalan di antara gelap, bimbang, ragu, juga rasa ingin menyerah, mari kita bertemu dengan kisah selengkapnya di dalam novel KEKANG.

Maaf apabila bagian cerita di malam hari ini teramat sedikit, tapi ya, semoganya kamu bisa tetap mendukung Layung dengan cara terbaik yang kamu miliki. Karena bisa jadi, Layung adalah kamu yang tak pernah berani bersuara.

Sampai jumpa di dalam novel KEKANG yang segera bisa kamu pesan di tanggal 7 November 2020!

Salam sayang,
Bella.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang