Chapter 8 - Dellapse

1.1K 99 9
                                    

Aku kembali ke kamar dengan air mata yang masih tersisa. Kunyalakan lampu tidur dan mematikan lampu utama, lalu beranjak ke lemari cokelat di samping tempat tidur. Perlahan kubuka lemari itu dan kubawa keluar mesin ketik yang tersimpan rapi di sana. Punya ayah, satu dari sekian barang peninggalannya yang sudah kuungsikan dari gudang.

Senyum terus hadir ketika aku meraba permukaannya. Masih begitu jelas bagaimana suaranya sering kali terdengar di saat aku terbangun pada malam hari. Dulu, ayah sering tidur larut karena sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Jika aku tak sengaja terbangun, ia akan kembali membawaku ke tempat tidur lalu menceritakan kisah-kisah di balik setiap foto dalam kameranya.

Itu memang bukan dongeng seperti anak kecil kebanyakan, tetapi bagiku kisah-kisah yang dibawanya jauh lebih menarik dan lebih nyata dibanding dongeng-dongeng pengantar tidur. Bagiku, ayah sudah seperti pahlawan yang bekerja untuk hal yang begitu mulia. Sebagai seorang jurnalis foto, ia menyampaikan begitu banyak rasa dan kebenaran di setiap bidikannya. Sesuatu yang sampai saat ini teramat membekas di benakku, sesuatu yang membuatku sejak kecil bercita-cita menjadi seperti dirinya.

Menjadi seseorang yang meski disibukkan oleh pekerjaan, tetapi tak pernah melupakan waktu yang dibagi untuk keluarga. Menjadi orangtua yang bersedia mendengarkan anaknya bercerita. Menjadi ayah yang akan selalu kubanggakan di depan teman-teman, karena setiap kali ada kesempatan, ayah selalu mengantarku ke sekolah. Tidak seperti ibu, yang pelukannya saja tak pernah kuingat. Jangankan pelukan, kenangan manis bersamanya entah kenapa tidak ada yang melekat di ingatan. Dulu, bila teman-temanku sering dibawakan bekal oleh ibunya, aku pasti akan jadi satu-satunya anak perempuan yang duduk diam di mejaku karena tidak bisa memamerkan apa-apa. Sebab, memang tidak ada yang ibu buatkan untukku.

Kadang-kadang ia hanya memberikan uang jajan, pun kalau sempat ia hanya membelikanku roti yang ada di minimarket. Entah aku harus bersyukur atau tidak atas hal itu. Sebab memang, sedikit banyak sikapku yang kata orang terlalu mandiri saat ini hadir karena aku telah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Tidak dengan bantuan siapa-siapa.

Ibu di semua sibuknya, memang tak pernah memberikan banyak perhatian untukku. Selama ini yang kuingat dari sosoknya hanyalah kemarahan yang selalu dia hadiahkan padaku. Dan tentu saja, bagaimana ketakutan-ketakutanku dibentuk atas hukumannya yang kalau kupikir lagi saat ini sebenarnya tidak masuk akal. Tak usah jauh sampai hukuman yang diberi, kemarahan ibu sejak dulu padaku pun sebenarnya tak pernah jelas alasannya.

Mungkin, itu juga yang jadi salah satu penyebab aku tidak terbiasa berada di dekat ibu tanpa melibatkan amarah. Karena memang sejak kecil, hanya itu yang ibu kenalkan padaku.

"Pah, kalau aja Papa masih ada di sini, mungkin Layung nggak akan ngerasa sendiri. Mungkin, Mama juga nggak akan cari pengganti. Dan, Layung nggak akan lagi ngerasa kehilangan. Layung kangen, Pah."

Aku mengembalikan mesin ketik itu ke tempatnya, membiarkan kenangan bersama ayah tersimpan rapi di dalam lemari. Letaknya bersebelahan dengan kamera analog peninggalannya, dan setumpuk album khusus bidikanku. Hatiku sedikit nyeri ketika menutup pintu lemari dan beranjak menuju kasur. Ada sesak yang tak pernah bisa dibahasakan dan tak kunjung hilang dari dada.

Semua penentangan ibu terhadap pilihanku tak ayal membuatku jadi bertanya-tanya, kenapa ia tak suka bila aku mengikuti jejak ayah? Mengapa aku tak boleh menjadi jurnalis sama seperti ayah? Apa karena ia terlalu tidak siap bila aku akan berakhir seperti ayah? Padahal ia sudah teramat tahu, kepergian ayah bukan karena pekerjaannya, melainkan karena campur tangan ibu juga yang rasanya kurang perhatian terhadap aku dan ayah.

Udara semakin sesak untuk kuhirup karena suhu udara di kamar kian dingin. Kunaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuh, membiarkan pendingin ruangan tetap berada pada suhu terendah dan terarah ke tubuhku. Kupejamkan mata untuk menghilangkan ingatan baik dan buruk yang datang silih berganti. Namun sayangnya, bayangan tentang hari terakhir aku tertidur di samping ayah justru muncul dan membuat isak tangisku kembali hadir.

Beberapa hari sebelum hari kepergian itu tiba, ayah pulang dengan keadaan lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya tampak begitu sayu, membuatku yang masih begitu kecil ingin menangis sejadi-jadinya, tapi kuurungkan niat itu karena tidak mau membuat ayah khawatir dan bersedih.

Sejak hari itu, aku mulai bertekad untuk menyimpan semua perasaanku seorang diri. Takut bila menyakiti dan membuat orang lain bersedih. Hari demi hari berlalu dengan aku yang selalu tidak sabar untuk pulang ke rumah, menemani ayah di tempat tidur dan bercerita dengan foto-foto yang kuambil. Lalu aku terlelap di sampingnya yang tersenyum bangga setelah melihat potretku.

Kalimat terakhir yang kuingat bahkan sampai detik ini darinya adalah ucapan bahwa suatu saat, aku akan membuatnya bangga dengan memberikan banyak kebenaran melalui potret dari tangan kecilku. Bila saat itu tiba, ia akan jadi orang pertama yang berteriak lantang bahwa aku putrinya.

Kemudian, keesokan harinya setelah ia mengatakan semua itu, tubuhnya tak lagi sehangat biasanya. Bahkan berkali-kali kugoyangkan badannya pun, ia tetap tak terbangun dari tidur panjangnya.

Isakanku semakin menjadi dengan air mata yang juga mengalir kian deras, setiap kali kenangan itu kembali dalam ingatan. Kugigit guling yang sejak tadi kudekap agar tak menimbulkan suara yang mungkin bisa didengar ibu. Malam ini, untuk kali kesekian, aku kembali rindu rasanya berada dalam dekapan yang menenangkan di saat ketakutanku untuk ditinggalkan menyeruak hebat.

***

Dering alarm dari ponsel membuatku terbangun dengan mata yang masih tak terlalu nyaman untuk dibuka. Bengkak karena menangis terlalu lama nampaknya. Seberkas cahaya berusaha menerobos masuk melalui jendela. Karena masih enggan beranjak dari kasur, aku memilih membuka media sosial serta beberapa berita online untuk menghilangkan ingatanku dari kejadian kemarin malam.

Message From Purba D @ Jurnalistik:

Ngumpul di ruangan jam 9 ya!

Sebuah notifikasi dari grup chat muncul di gawaiku. Sontak membuatku segera berhenti dari kegiatan mengecek media sosial.

Gista A: Buset, nggak mau sekalian sekarang aja, Boss?

Yudha: Kampret, gue nggak ada kelas, Nyet. Masih ngantuk gue.

Yudha: Eh, tapi tapi kalem coy, itu Purba cuma nulis jam 9. Maksudnya jam 9 malam kan ya? :)))

Gista A: Yakaliii, lo mau ketemu penghuni kampus kalau jam segitu?

Kinar: Kak Purbaaaa!!!!! Kinar lagi sakit nih, Skype aja boleh ya?

Gio: Jir, gegayaan banget lo. Ngelunjak amat sama yang lebih tua.

Gista A: Ape lu kate? Tua? Maksud lo kita-kita udah tua?

Gio: Eh maap, kagak, Kak. Pan, bukan gitu maksud ane.

Gista A: Wah mulai berani lu ye ngeledekin cara gue ngomong. Awas lo kalau ketemu entar. Gue ganyang lo!

Purba D: Mau sampai jam berapa kalian kayak gitu? Mending langsung mandi sana buru! Gue aja udah otw kampus.

Yudha: BODO AMAT!

Purba D: Gak usah ngegas, Yudh. Hahaha. Anw, Kinar, lo istirahat aja biar cepet sembuh.

Aku hanya tertawa ketika mendapati banyak keluhan yang mampir bersamaan dengan ajakan kak Purba itu. Sekilas kulirik jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul tujuh, ibu berarti sudah berangkat ke sekolah. Bergegas aku menyingkirkan selimut dan bersiap untuk mandi.

Terserah seperti apa tanggapan pun bentuk penolakan dari ibu nantinya. Namun, jika beliau bisa tak peduli dengan pendapatku atas keputusannya untuk menikah, ia pun tak berhak mencampuri keinginanku untuk tetap berkutat pada jurnalistik. Baru saja aku hendak ke kamar mandi, sebuah sticky notes berwarna merah menyala sudah menempel di kulkas. Langkah kakiku pun berbelok ke dapur untuk mengambil dan membacanya.

"Mama udah siapin sarapan, nanti pulang jangan malam-malam. Ingat, Layung, kamu itu perempuan. Nggak seharusnya ngebahayain diri sendiri. Coba kamu pertimbangin lagi kegiatan jurnalistikmu itu, Mama nggak mau kamu nanti akan menyesal. Ingat, Yung, Mama sudah lebih paham tentang hidup."

Amarah yang semula sudah tak ada kini kembali bercokol di hatiku. Kurobek lalu kubuang di tempat sampah pesan dari ibu itu. Sungguh, kali ini aku semakin tak peduli dan jengah untuk terus menerus berada dalam kungkungan larangannya. Aku lekas meneguk sebotol air mineral dari dalam kulkas, kemudian berlari ke kamar mandi untuk cepat-cepat berangkat ke kampus.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang