Chapter 16 - Difparentiate

787 96 10
                                    

Matahari benar-benar sudah tak lagi malu memunculkan wajahnya. Karena hari sudah semakin siang, kami bertiga memutuskan segera kembali menuju tempat di mana tadi sempat menitipkan motor. Aku yang masih sibuk memikirkan ucapan Om Dewa dan semua hal yang kurasa sejak pagi tadi, tiba-tiba dikagetkan oleh pertanyaan darinya. "Layung, benar kamu nggak kenapa-kenapa pergi sendiri? Nanti kalau nyasar gimana?"

Aku mendongak, tersenyum jahil pada Om Dewa yang sedang duduk di atas jok motornya. "Ya, kalau nyasar berarti Layung harus nanya, Om. Nyasar itu perlu tahu sekali-sekali, biar belajar. Ya, nggak?"

"Ah, gayamu! Tapi benar, nih, gapapa? Ponselmu nanti dinyalakan terus ya, bawa powerbank kan? Pokoknya kabarin Om terus!"

"Siap, Komandan!" ucapku seraya meletakkan tangan di ujung pelipis kanan, sementara Om Dewa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku itu. Andai saja cara ibu memintaku memberi laporan padanya seperti ini, mungkin aku dengan senang hati akan menurutinya. Algi-lagi aku memang akan terus membandingkan ibu dengan Om Dewa dan meme Ida.

"Kakkkkkk!!!" suara nyaring Widya membuatku dan Om Dewa kontan menoleh. Dengan napas tersengal ia mencoba menyusun kalimatnya. "Huh... Wid-Widya, serius."

"Heiii tenang. Minum dulu minum nih, kamu ngomongnya pelan-pelan aja." Widya mengambil air minum yang kuberikan lalu meneguknya tergesa-gesa. Aku dan Om Dewa hanya saling melempar pandang melihatnya.

"Gini, Widya barusan nelepon ke sanggar, mau minta izin nggak ikut latihan hari ini. Biar bisa nemenin Kak Layung jalan-jalan. Tapi...nggak diizinin. Jadi, maaf ya, Kak. Maaf banget, nggak bisa nemenin Kakak. Aduh Widya nggak enak nih. Yah, gimana dong?" dengan wajah ditekuknya Widya menatap Om Dewa meminta bantuan.

Aku hanya tertawa kecil sambil merangkulnya. "Ya ampun, dikira apaan. Gapapa, Wid. Serius deh, aku baik-baik aja. Sendirian juga bisa, di Jakarta juga sendiri mulu. Gini deh ya, nanti sebelum malam, aku janji udah balik ke rumah lagi." Imbuhku dengan senyum terkembang sambil menatap Widya dan Om Dewa bergantian.

"Om percaya sama kamu, Yung." Ucapan Om Dewa sukses membuatku tertegun mendengarnya. Tubuhku meremang, hingga kesulitan bernapas dibuatnya.

Jadi kayak gini rasanya diberi kepercayaan? tanyaku dalam hati. Kepercayaan adalah sesuatu yang sejak lama kudamba bisa diberikan oleh ibu, namun mengapa hari ini justru hadirnya dari orang lain? Aku menggeleng lemah menghalau pikiranku, tersenyum kikuk memandang Om Dewa, lalu lekas mencari kunci motor dari dalam saku.

"Kamu jadi mau ke Tegalalang hari ini, Yung?" tanya Om Dewa ketika aku mengancingkan helm di kepala.

"Belum tahu, Om. Yaaa, pokoknya Layung ikutin aja ke mana Bali manggil Layung." Aku tertawa, setengah mengutip ucapan Om Dewa tadi.

"Eh eh, kamu ini ya! Ya udah hati-hati, Layung."

"Siap! Om sama Widya juga hati-hati ya." Aku menyalakan motor lalu berpamitan pada mereka. "Aku duluan kalau gitu ya, daahhh."

"Hati-hati, Gek Layung!" teriak Widya. Aku hanya mengacungkan jempol kiri sambil melambai, menatap mereka dari spion motor.

Helaan napas lega lolos dari bibirku, semua rasa yang sejak tadi tak kuizinkan hadir, kini kubiarkan memenuhi. Sekarang waktunya aku berkeliling Bali sendirian. Mencari apa yang sebenarnya ingin ditemukan. Menemukan apa yang sejak kemarin katanya dicari. Aku menghirup udara sebanyak mungkin untuk memenuhi paru-paru. Sempat aku menepi untuk memasang earphone—agar bisa fokus dan tak membiarkan isi kepala kosong melompong, walau aku juga tahu itu tak benar bagi keselamatan.

Sebelum kembali melanjutkan perjalanan, aku melihat sekeliling Desa Pinggan yang tak jarang masih tercium semerbak wangi menyan. Memanjakan mata sebelum harus kembali pada realita di Jakarta. Tempat di mana aku lagi-lagi harus berjuang dan bertahan sendirian. Tempat di mana semua hal terus berkejaran, antara keinginan dan kebutuhan, antara kesenangan dan tekanan.

***

Sesuai janji yang tadi kuucap, aku tiba di rumah Om Dewa tepat saat jam makan malam hampir tiba. Sebetulnya alasanku pulang sebelum malam adalah agar bisa menikmati kehangatan bercengkrama, seperti laiknya keluarga sebenarnya di meja makan. Sesuatu yang takkan lagi bisa kudapatkan ketika kembali ke Jakarta.

Om Dewa tengah duduk di depan ruang televisi ketika aku tiba, sedang meme Ida masih sibuk menyiapkan sajian makan malam. Sempat aku ingin membantunya, namun beliau menyuruhku untuk lekas membersihkan diri saja.

Sebuah tanda pesan masuk menyambutku yang baru keluar dari kamar mandi. Lagi-lagi pesan dari ibu yang isinya masih serupa seperti sebelum-sebelumnya. Hanya seputar kapan aku kembali, dan apa yang tengah kukerjakan. Aku mengetikkan pesan balasan seadanya, agar tak membuatnya terus-menerus menghubungiku, terlebih pesannya siang tadi masih membuatku terpikirkan oleh kata-katanya.

Tadi siang, ketika aku tengah mampir di salah satu pasar kerajinan di Bali, ibu menghadiahiku satu kalimat yang membuat lubang di dadaku terasa semakin besar. Sebetulnya kata-katanya biasa saja, tapi kalimatnya itu seolah tengah menyindirku habis-habisan yang tak pernah mengunjungi mendiang ayah.

Layung, kamu dapat salam dari ayahmu, katanya hati-hati di sana.

Itu isi pesannya siang tadi yang sampai dengan detik ini masih mengacaukan pikiran serta perasaanku. Sejujurnya, aku juga belum tahu sampai kapan akan di sini, karena buatku di sini, jauh dari ibu ternyata sanggup membuatku setidaknya lebih waras untuk berpikir dan menelaah. Walau memang, tak banyak hal yang bisa kulakukan bila dibandingkan dengan kegiatanku di Jakarta. Bali memang terlalu menenangkan dengan segala pesonanya, kecuali terror telepon dan pesan dari ibu tentu saja.

Lekas kusudahi pikiranku dan memandang Widya. "Wid, ke bawah yuk," ajakku sambil menghubungkan ponsel pada pengisi daya.

"Duluan, Kak. Nanti aku nyusul," jawabnya sambil tersenyum padaku. Aku hanya mengangguk melihatnya. Ia telah kembali fokus menatap ke layar laptop di depannya. Mungkin ia sedang mengerjakan tugas kampus, pikirku.

Om Dewa dan meme Ida sudah duduk di meja makan. Di hadapan mereka sudah tersaji aneka makanan khas Bali, termasuk lawar ayam kesukaanku. Begitu aku duduk, Om Dewa langsung bersiap untuk memimpin doa dan justru membuatku mengernyit heran.

Menyadari perubahan ekspresiku, Om Dewa menatapku bingung. "Kenapa Layung? Yuk berdoa, terus makan, Om yakin kamu sudah lapar. Ini sengaja Meme-mu masak makanan kesukaanmu lho."

Ucapan Om Dewa justru membuatku semakin kebingungan. "Lho, emang ini nggak nunggu Widya dulu, Om?"

"Nggak usah, nunggu dia kelamaan," ucap Om Dewa datar.

"Oh kalau gitu Layung panggilin aja ya."

Baru saja aku berdiri, meme Ida langsung memintaku untuk kembali duduk. "Nggak usah, Sayang. Nanti kalau Widya memang lapar dia pasti turun kok. Kita makan duluan aja,ya. Nanti keburu dingin."

"Tapi—"

Meme Ida lagi-lagi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Aku menatap tak percaya lalu mengalihkan pandangan pada Om Dewa, dan sikapnya pun sama seperti meme Ida. Beliau hanya menggeleng dan memintaku untuk kembali duduk untuk melanjutkan makan. Aku hanya menggangguk, mencoba paham walau sebetulnya tidak mengerti dengan apa yang terjadi dan berusaha untuk tak bertanya apa-apa.

Meski jika mau disandingkan dengan sesi makanku dengan ibu, hawa seperti ini sudah tidak lagi asing untuk kualami, bahkan cenderung sudah jadi makananku sehari-hari. Namun ternyata, rasanya aneh saja menemukan suasana serupa di kediaman Om Dewa.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang