Chapter 5 - Guiltroversion

1.2K 108 13
                                    


Malam menjelang larut, aku baru saja selesai mengerjakan tugas dan bersiap untuk beristirahat. Tadi sore, ibu sempat menelepon dan memarahiku karena, lagi-lagi, aku dibilang tak mau mendengarkan nasihatnya. Bahkan, ibu masih saja tak percaya bahwa aku ke rumah Kinar untuk mengerjakan tugas. Padahal kalimat terakhir yang kuucapkan saat pertengkaran siang tadi, sudah jelas bahwa aku meminta sedikit saja rasa percayanya. Tapi ternyata, memang sesulit itu untuk meminta percaya ibu.

Dering notifikasi sebuah aplikasi masuk di ponselku. Nama dan isi pesan yang terpampang di sana membuatku mengernyitkan kening.

Arya : Kamu apa kabar?

"Siapa, Yung? Muka lo kayaknya nggak enak banget."

Tanganku masih berada di atas layar ponsel, menimbang apa yang harus aku lakukan seraya menjawab tanya Kinar. "Menurut lo, siapa yang bisa buat muka gue jadi super nggak enak gini?"

Kinar yang sejak tadi sibuk di depan meja rias, kini berbalik menatapku sambil menyilangkan kedua lengannya. "Dia lagi?" Kinar menaikkan sebelah alisnya. "Lo masih ada urusan apa sih sama dia? Heran gue, putus mah yaudah sih putus aja."

"Lah, gue sih udah nggak ada urusan apa-apa, Ki. Tapi dia yang selalu nyari gara-gara mulu. Masa ya, kemarin dia segala ngelapor ke nyokap kalau gue ikut Jurnalistik. For god sake, buat apaaaaaa?? Cari muka? Makanya gue tadi berantem lagi sama nyokap," terangku sambil melempar ponsel ke samping kasur.

"Asli?!" Kinar membelalakkan matanya. "Wah beneran nyari gara-gara sih tuh orang. Mmmm... kalau lo punya pacar baru mungkin nggak, dia bakal berhenti ganggu lo, Yung?"

"Apa???" Aku yang sejak tadi sudah membaringkan tubuh di atas kasur Kinar kemudian terlonjak dan lekas mendudukkan diri. "Nggak, deh, nggak. Otak gue nggak mikir pacaran lagi, Ki. Lepas dari manusia satu ini aja susah, mau nambah-nambah masalah lagi. Ogah, ah."

"Coba dulu aja, Yung. Siapa tahu nyokap lo jadi nggak ke Arya mulu, kan?" usul Kinar yang kini sudah duduk di sampingku.

"Hahaha. Lo pikir gue nggak pernah nyoba? Udah pernah, Ki," ungkapku seraya mengambil ponsel untuk membalas pesan lelaki itu. "Bukan pacaran sih, tapi kayak sering ngomongin nama cowok lain di depan nyokap. Tapi, mama kayak yang nggak suka gitu. Lagian, gue nggak yakin ada cowok yang nggak akan mundur ketika tahu nyokap akan ngebanding-bandingin dia sama Arya. Coy, itu tuh kayak, gue belum kelar sama masa lalu gue, kan? Mana ada cowok yang mau, sih."

"Nggak ada yang tahu, Yung. Lo cuma belum nemu aja. Kalau jodoh lo bukan Arya, di luar sana pasti ada cowok yang akan berjuang buat dapatin lo, meskipun tantangan besarnya adalah meyakinkan nyokap lo."

"We'll see. Udah ah, lo tidur sana, Ki. Gue mau olahraga otak dulu dengan bales chat manusia ini." Aku kemudian menarik selimut dan membiarkan punggungku bersandar di kepala ranjang.

"Yelah, Layung. Kenapa masih lo tanggepin, sih?"

"Karena dengan gue diam aja, berarti gue lari dari masalah. Dan itu sama dengan gue membiarkan hidup gue dipermainkan sama dia. Gue sepatuh itu sama nyokap, lo tahulah gimana. Tapi untuk urusan pilihan hidup, masa iya gue tetap patuh sama pilihan nyokap? Gue bukan nggak ingat dengan dosa. Tapi balik lagi, gue nggak mau sampai nanti ketika gue kenapa-kenapa pas ngejalaninnya, gue akan menyalahkan nyokap seumur hidup gue. Ngebayanginnya aja gue nggak berani."

Kinar memukul tubuhku pelan dengan gulingnya sambil tersenyum. "Gue nggak perlu kasih saran, karena gue tahu lo ngerti mana yang baik buat hidup lo. Tapi gue mau bilang satu hal. Sebelum kepentingan dan kebahagiaan orang lain lo pikirin. At least, pikirin diri lo juga, Yung. Ingat itu terus."

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang