Chapter 18 - Egonoia

873 86 11
                                    

Paginya pagi di pulau para dewa, aku terbangun karena dering telepon yang memekakkan telinga. Kugapai ponsel yang ada di atas nakas, sambil mengucek mata kupandangi nama Kinar sudah terpampang di sana. Samar aku tersenyum dan lekas beranjak dari ranjang, menyigar rambut lalu berdiri di depan jendela. Seraya menerima telepon, aku menyisiri ruangan mencari keberadaan Widya yang tak lagi tampak batang hidungnya.

"Lama amat ngangkat teleponnya. Kapan balik sih lo?"

Sapaan Kinar yang teramat nyaring dan tanpa salam pembuka itu sontak membuatku tertawa. "Santai Mbak, masih pagi nih. Kenapa emang? Miss me, huh?"

"Nggak ada kangen-kangenan elah. Serius gue, kapan sih elo balik? Bosen tahu nggak, bolak-balik ditelepon sama Nyokap lo."

Aku hanya terkekeh mendengar rutukannya. Entahlah, rasanya aku sudah bosan dengan semua omong kosong ini. Ingin marah pun sepertinya percuma, toh tetap takkan ada yang berubah. Ingin kesal juga sia-sia, yang ada aku malah buang-buang tenaga untuk sebal karena sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan ini.

Ibu tetap takkan berhenti meski aku marah, kesal, atau bahkan tak terima dengan sikapnya. Bagi ibu, ini semua demi kepentinganku, tapi sepertinya ini semua semata karena ibu tak pernah merasa bisa meraihku, hingga ia harus melibatkan orang lain untuk bisa memantau segala kegiatanku.

"Yung, seriusan ih! Nyokap lo nyuruh gue ingetin elo mulu nih. Lagian lo kenapa susah banget dihubungin sih?"

"Sengaja, kan niat gue ke sini mau liburan. Masa iya ditelepon-telepon."

"Cih sok-sok liburan. Di sana emangnya ngapain aja lo? Makan sama tidur aman?"

"Jalan-jalan dong. Semuanya aman terkendali, hmm...kecuali tidur sih. Kalau itu mah udah bawaan kayaknya. Susah," ungkapku sambil memilin ujung rambut

"Halah. Gue rasa nih yang butuh liburan bukan badan lo deh, tapi rohani lo. Ruqyah lo sana, atau ke psikiater gitu. Periksa gih, mana ada orang sehat tidurnya pagi mulu."

Aku menaikkan alis sebelah kiri. Dadaku terasa miris mendengar ucapan Kinar. Rasanya seperti ada yang menyentil hingga nyerinya begitu nyata. Kebiasaan tidurku memang tidak baik, tapi aku memang menghindari tidur malam, karena malas harus mengulang mimpi buruk yang menyebalkan itu. Namun apakah iya aku sampai harus ke psikiater? Apakah iya aku memiliki gangguan?

Aku menggeleng kuat, tak percaya dengan apa yang Kinar bilang. Meski dalam hati juga mengaku bahwa kebiasaan ini sedikit mengganggu. "Ruqyah? Setan gue emang banyak banget ya, Ki? Sampai harus ruqyah segala. Kagaklah, ini mungkin gue kurang olahraga aja. Atau kebanyakan pikiran, ya lo tahu lah, hubungan gue sama Nyokap sedikit banyak bikin gue terus kepikiran."

"Gue nyaranin doang, karena gue nggak mau sahabat gue yang sialan ini kenapa-kenapa. Dan, Layung, ini terakhir kali ya gue bantuin lo buat ngebohong. Besok nggak ada lagi, dosa gue makin banyak nih gara-gara elo."

Aku terbahak karenanya. "Hahaha iya iya. Besok nggak lagi, nggak tahu kalau lusa atau minggu depan apalagi bulan depan ya, Ki!"

"Layung!!!!!!!!"

"Yee, udah kek kalem aja, jangan marah-marah ke gue mulu. Nggak kasihan apa lo sama gue? Nyokap doyan marah, masa elo juga, yang ada makin tertekan gue,"

"Makanya cepetan balik, biar gue nggak ngomel mulu."

Aku beralih menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sedikit terbelalak, lekas aku matikan telepon dari Kinar. Tak seharusnya aku bangun sesiang ini di rumah orang, ya meskipun itu rumah om-ku sendiri. Tapi tetap saja itu bukanlah hal yang sopan.

Aku mencari pakaian di tas dan mengambil handuk di balkon. Alih-alih bersiap, aku justru termenung di depan meja rias. Mematut diriku pada cermin, bertanya-tanya sebenarnya apa yang ingin kutemukan di Bali. Ketenangan? Mungkin iya, tapi itu juga hanya sementara. Bila esok kembali ke Jakarta, semuanya pun akan kembali berulang.

Aku menyentuh cermin dengan ujung telunjuk kanan, melingkari wajah yang terpantul jelas di sana. "Apa iya gue harus coba ke psikiater?"

Nanar kupandangi wajahku yang ada di cermin lekat-lekat. Sorot mataku melayu dan ada lingkaran hitam di bawahnya. Dingin tiba-tiba memelukku, aku setengah tertawa dengan airmata yang tiba-tiba menetes. Kasihan, prihatin, menyedihkan. Seolah hanya itu yang mampu mendefinisikan keadaanku saat ini.

"Elo itu hidup sebenarnya buat siapa, Layung? Lo kenapa masih bertahan kalau di dunia ini udah nggak ada yang bisa dipercaya? Hah?" Aku menunjuk-nunjuk diriku sendiri di depan cermin. Berkali kuhapus derai airmata yang semakin deras, sambil tetap berdialog dengan diriku yang ada di cermin.

"Layung, Layung, kasihan banget hidup lo, hei! Buat apa masih napas kalau nggak pernah ada yang ngertiin mimpi lo? Buat apa masih hidup kalau yang orang-orang tahu, lo itu egois, seenak jidat ambil keputusan, dan apa pun yang elo mau harus terwujud? Buat apa, Yung? Mereka bahkan nggak peduli bahagia lo. Nggak mau dengar semua pendapat lo. Nggak ada satu pun yang mau ngerti penjelasan lo, Yung. Nggak adaaaa!"

Aku tertawa kecil berharap tak didengar orang lain, sambil terus menangis dan tak lama kemudian jatuh terduduk di lantai. Semuanya berkumpul menjadi satu dan terasa amat menyesakkan. Dunia seketika membuatku semakin merasa kerdil, terimpit dan sendirian.

Seluruh keinginanku selalu ditolak ibu dengan beribu alasan yang bagiku tak masuk akal. Bukankah mimpi yang masih tetap bisa menjaga seseorang tetap hidup? Lantas bagaimana denganku? Yang sejak ayah tak ada, mimpi itu justru sudah mati dan terpaksa mengikuti impian yang dipilihkan ibu. Mengapa aku masih harus bertahan?

Bagiku tak pernah ada benar salah di dunia ini, tapi bagi ibu semua yang kulakukan adalah salah. Bagaimana aku bisa membuktikan padanya, bahwa aku juga bisa berdiri tegak dengan kakiku sendiri? Jika ia tak pernah bisa berikan sedikit saja percayanya untukku. Bagaimana ia bisa lekas mendefinisikan benar salah tanpa pernah berada di posisi orang lain? Mengapa ia seolah paling mengerti hidup anaknya? Bukankah jalan hidup setiap insan berbeda?

Di kepalaku terus berputar pertanyaan yang tak pernah temukan jawaban. Aku merasa jatuh terlalu dalam pada sebuah lubang hitam. Tak ada seorang pun yang mendengar raunganku. Tak ada satu pun yang berusaha membantu apalagi mencari. Aku lelah, bahkan terlalu lelah untuk sekadar menaruh harap kembali.

Sebuah ketukan di pintu membuatku buru-buru menyeka airmata. "Layung, sudah bangun belum, Nak? Makan dulu yuk! Layung, bangun, Sayang. Kata Om-mu tadi kamu mau ke Bengkala."

Aku berdeham, meredakan getar suara. "Iya, Meme. Ini Layung baru mau mandi. Sebentar lagi turun," ucapku setengah berteriak.

"Ya sudah, Meme tunggu di bawah ya, Sayang." Selepas itu, terdengar derap langkah kaki yang mulai menjauhi pintu. Aku menghela napas lega, takut jika tadi ia sampai masuk ke dalam kamar dan melihatku sedang berantakan seperti ini.

Lekas aku beranjak ke kamar mandi. Berharap guyuran air dingin bisa membuat aku lupa dengan perasaan menyerah ini. Sekaligus berharap, bekas tangisku tak membuat mata membengkak.

KEKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang