Bab 3 Bagian 8

2 1 0
                                    

Setelah mengambil beberapa data di lokasi proyek, kami akhirnya pergi ke hotel untuk beristirahat. Tidak seperti saat pertama kali aku melompati lubang galian drainase kota, yang ke dua kali aku bisa mendaratkan kakiku dengan sempurna tanpa terjatuh. Aku bersyukur kepada Tuhan.

"Siang sampai malam ini acara kalian bebas, saya mau meeting dengan klien, kalian gak perlu ikut." Suara Pak Bas memecah keheningan di dalam kabin mobil.

"Besok bagaimana, Pak? Kita ke mana besok?" tanyaku pada Pak Bas untuk memastikan.

"Besok kita meeting teknis pembangunan sama orang bagian perencanaan. Dari pagi sampai sore. Malam kita beli oleh-oleh, lusa kita pulang ke Jakarta."

Sopir klien menepikan mobil yang kami naiki di depan sebuah hotel. Hotel bintang dua yang terletak di Jalan Soekarno Hatta Kota Jambi. Halaman hotel itu cukup luas. Bangunan hotelnya juga nampak modern, di dominasi oleh warna krem. Terdapat pohon bambu kuning yang berjajar rapi di bagian taman. Cukup bagus untuk sebuah hotel bintang dua.

Aku turun dari mobil dan berjalan menuju lobby hotel untuk melakukan check in. Resepsionis memeriksa dengan teliti identitas kami, satu per satu.

"Tunggu sebentar, ya, Mbak. Kami siapkan dulu kamarnya. Silakan duduk dulu." Resepsionis yang berpakaian rapi dengan setelan kemeja putih dan rok sepan mini berwarna hitam itu, nampak menelepon seseorang.

Aku melangkahkan kaki menuju sofa berwarna merah hati yang terletak tak jauh dari meja resepsionis. Kudaratkan pantatku di atas sofa empuk itu. Ah....

Pak Bas terlihat sedang menerima telepon di luar, aku melihat Satria, Bimo dan Adi masuk ke lobby hotel dengan membawa tas mereka masing-masing.

"Udah belom?" Satria meletakkan tas besarnya di sofa lalu duduk di lantai.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Aku titip tas sebentar, ya, mau ke minimarket deket sini," ucap Adi sambil meletakkan tas ranselnya di lantai dan berlalu pergi ke luar hotel.

Tak lama kemudian, resepsionis memanggilku dan memberikan tiga buah kartu akses untuk membuka pintu kamar. Seorang lelaki berpakaian rapi mempersilakan aku untuk ikut bersamanya. Lelaki itu yang akan menunjukkan lokasi kamar tempat kami menginap. Tak lupa aku menyuruhnya untuk membawa tas Adi.

Kamar kami semua terletak bersebelahan. Pak Bas memilih Satria yang menjadi teman sekamarnya. Adi, Bimo dan Mas Jaka berada di kamar lain. Sedangkan aku, tentu saja sendirian.

Bimo terlihat mengintip dari luar kamarku yang tidak tertutup.

"Enak banget, lo sendirian."

"Enak lah. Gak ada yang ganggu." Aku membuka ranselku dan mengambil ponsel.

Tiba-tiba saja Bimo duduk di atas kasur. Lalu bangkit dan duduk kembali. Bangkit lagi, duduk lagi. Terlihat seperti anak kecil yang sedang mencoba kasur baru yang ada di pusat perbelanjaan.

"Ngapain sih, lo. Sana ah! Ganggu aja."

Dengan cepat dia meraih kedua tanganku. Aku meringis kesakitan.

"Aduh sakit!!" Aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Aku meniup-niupkan kedua telapak tanganku dengan hembusan nafas yang kukeluarkan dari mulut.

"Tangan lo kenapa?"

"Jatoh. Udah sono gue mau istirahat." Aku menendang kakinya dengan kasar.

"Lun, gue suka sama lo!"

Aku terperanjat mendengar kata-katanya. Mataku mendelik, dahiku berkerut. Bayanganku akan persahabatan sejati antara lelaki dan perempuan sirna sudah. Ternyata betul apa yang dikatakan banyak orang, tidak pernah ada kisah persahabatan antara lelaki dan perempuan. Pasti ada cinta yang bersemi, di salah satu antara keduanya.

Tok... Tok... Tok...

"Lun, ini aku bawain plester," kata Adi, mengagetkan aku dan Bimo yang sedang tegang.

Bimo nampak kesal dengan kehadiran Adi. Matanya melirik tajam ke arah Adi yang berdiri di depan pintu kamarku. Sedangkan aku bersyukur Adi datang. Setidaknya aku masih bisa berpikir, jawaban apa yang akan kuberikan pada Bimo.

"Gue mau mandi dulu." Bimo terlihat bangkit dari kasur dan melangkah gontai ke luar kamar. Aku tahu dia kesal.

Aku menghampiri Adi yang masih berdiri di depan pintu. Dia menyerahkan bungkusan plastik berisi plester yang dia beli dari minimarket kepadaku.

"Bimo kenapa?"

"Auk tuh. By the way, makasih ya, Di, plesternya."

"Sama-sama. Yaudah, istirahat sana." Kemudian dia menutup pintu kamarku dari luar.

Aku meletakkan bungkusan plastik itu di samping keran washtafel kamar mandi. Dengan perlahan aku mencuci tanganku dengan sabun, mengeringkannya dan menutup lukanya dengan plester luka anti air. Lumayan untuk meredakan rasa sakit. Meski aku tahu, plester tak banyak membantu menyembuhkan luka.

Setelah kubersihkan diriku, aku merebahkan diriku di atas kasur. Aku meregangkan kedua tangan dan kakiku untuk menghilangkan sedikit rasa pegal. Aku memejamkan mataku sekejap. Aku membayangkan adegan sewaktu diriku lompat dan mendarat di tubuh Adi, sehingga kami terjungkal. Menggelikan. Aku tertawa sendiri di dalam kamar.

Tring....

Ponselku berbunyi. Aku membuka mataku dan meraih ponsel yang terletak di atas meja di samping ranjang.
Ada pesan dari Bimo.

[Lun, sebenarnya gue udah suka sama lo dari awal lo masuk kantor. Gue belom pernah nemu cewek yang kaya elo sebelumnya. Ceria, seru. Dan gue jatuh hati. Tapi waktu itu lo lagi sama Hanif, dan gue baru putus dari Ratna. Sekarang udah gak ada penghalang di antara kita. Gimana, Lun? Lo mau kan jadi pacar gue?]

Ah... Bimo. Mikir apa dia, lagi dinas gini malah mikir yang aneh-aneh. Musti jawab apa, gue. Aku bergumam. Isi kepalaku terus berputar-putar. Aku tidak ingin mengecewakannya, tetapi aku juga tidak ingin merusak persahabatan ini dengan menerimanya sebagai pacar. Aku sudah berjanji dengan diriku sendiri untuk tidak berpacaran lagi dengan siapa pun.

[Sori, Bim. Gue gak bisa pacaran lagi sama siapapun. Gue trauma]

Tak lama kemudian dia membalas lagi pesanku.

[Yaudah, kita langsung nikah aja. Gue siap]

Aku melempar ponselku ke atas bantal. Mampus gue. Ruwet. Ruwet. Ruweeet!

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang