Bab 1 Bagian 3

9 1 0
                                    

Setelah makan siang akhirnya kami memasuki lokasi perusahaan itu. Kami masuk ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan minuman ringan. Aku mengambil tasku dan beberapa botol sampel kosong yang aku bawa dari kantor.

Dari kejauhan, nampak seseorang berlari kecil menghampiri kami di parkiran kantor tersebut. Dia memperkenalkan dirinya.

“Siang Pak, Mbak, saya Sudirman, manajer K3 kantor ini. Silahkan masuk ke dalam dulu,” ajak bapak-bapak itu.

“Kita langsung saja, Pak. Tolong antarkan Mbak ini ke pembuangan limbahnya, biar dia ambil sampelnya. Biar menghemat waktu,” kata Pak Bas sambil menunjuk-nunjuk jam tangannya dengan jari telunjuk. Seperti ingin menunjukkan bahwa waktunya sangat berharga.

Bapak itu menganggukkan kepala, kemudian dia menelepon seseorang. Tak lama, seseorang datang menghampiri kami. Aku menduga, mungkin dia datang untuk menemaniku ke tempat pembuangan limbah cair perusahaan ini.

“Iya, Pak. Bagaimana?” tanya orang itu.

“Tolong antarkan Mbak ini, ke pembuangan limbah cair, dia mau ambil sampel limbah cairnya,” titah Pak Sudirman.

“Baik, Pak. Mari ikut saya, Mbak,” sahut lelaki paruh baya yang bernama Budi itu. Aku melihat namanya dari kartu identitas yang dia gantungkan di leher.

Aku dan Pak Budi berjalan menyusuri jalan ke arah belakang pabrik, dimana Instalasi Pengolahan Air Limbah itu dibangun. Instalasi Pengolahan Air Limbah atau biasa disebut dengan IPAL adalah sebuah mesin yang digunakan untuk mengolah limbah cair, sebelum dialirkan ke saluran drainase umum agar tidak mencemari perairan tersebut. Cara kerja mesin itu cukup sederhana. Mulai dari penyaringan awal, kemudian masuk ke dalam kolam berisi bakteri atau bahan kimia untuk mengurai zat organik, kemudian masuk ke kolam pengendapan, lalu disaring kembali di kolam penyaringan akhir, setelah itu air limbah bisa dialirkan ke saluran drainase.

“Itu, Mbak salurannya,” Pak Budi menunjuk sebuah pipa besar yang mengeluarkan air berwarna keruh, dari mesin pengolah limbah.

“Oke, Pak,” aku langsung membuka botol sampel kosong itu dan mengisinya dengan air limbah.

Pak Budi nampak memperhatikanku, selagi aku bekerja.

“Mbak, kok cantik-cantik kerja begini? Panas-panasan, keringetan. Biasanya perempuan cantik kayak Mbak ini kerjanya di bank …” katanya.

"Hahaha,” seketika aku tertawa.

Aku berusaha menahan diri, agar tidak tertawa lagi dengan lebih keras. Aku sudah mendengar pertanyaan serupa, ratusan kali. Setiap kali mendengarnya, aku merasa tergelitik.

“Emang kenapa, Pak? Perempuan gak boleh kerja begini?” tanyaku sambil menutup rapat botol sampel yang sudah terisi air limbah itu.

"Ya, gak apa-apa, Mbak. Jarang saya nemu pekerja lapangan perempuan. Bener deh, Mbak. Mbak nih cocoknya kerja di bank,” ucapnya sambil mengacungkan dua jari kepadaku.

Aku melontarkan senyuman kepada Pak Budi.

“Saya dulunya kerja di bank, Pak. Tapi sudah resign. Yuk, Pak! Saya sudah selesai ambil sampel,” aku mengalihkan perhatian Pak Budi agar dia tidak bertanya-lagi.

Sinar matahari yang terik membuat tubuhku menjadi sangat panas. Kerudungku basah. Peluh mengalir deras, bahkan di lekukkan yang sangat intim sekalipun. Ketika aku berjalan dan menggoyang-goyangkan tanganku, terasa sekali ada yang tidak nyaman. Ketiakku lengket, mungkin keringat yang bercampur sempurna dengan cairan deodorant itu penyebabnya. Entah aroma apa yang saat ini keluar dari tubuhku.

Aku jadi membayangkan, masa di mana teman-teman angkatanku menghasut diriku untuk bekerja di bank seperti mereka. Masa di mana aku akhirnya menjadi sales kartu kredit di salah satu bank swasta. Masa di mana hari-hariku selalu bersahabat dengan hawa dingin dari pendingin ruangan, tanpa harus berhadapan langsung dengan terik matahari. Masa di mana orang-orang di daerah rumahku dan juga keluargaku, melihatku sebagai wanita idaman yang ‘kelihatan’ mapan, hanya karena berpakaian rapi dan mengenakan sepatu high heels hitam mengkilap. Masa di mana aku terlalu dini mengajukan surat pengunduran diri, hanya karena apa yang kukerjakan tidak sesuai dengan passion. Masa di mana ketika Inge, teman kecilku yang masih jadi pengangguran itu bertanya mengapa aku mengundurkan  diri.

“Kenapa lo keluar? Bagus-bagus kerja di bank kok keluar. Gue aja masih nganggur gini,” tanya Inge dengan wajah kesal. Mungkin dia jengkel karena temannya ini menyia-nyiakan pekerjaan yang diimpikan kebanyakan orang.

“Susaaaaahhhhhhhh tau gak cari nasabah. Lebih gampang nangkep nyamuk pake tangan kosong, daripada nyari nasabah. Gue sarjana teknik, cari nasabah bukan passion gue.”

Begitulah yang selalu aku ucapkan, jika ada yang bertanya mengapa diriku memutuskan berhenti bekerja di bank. Aku selalu berdalih ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion-ku. Kini, aku benar-benar bekerja sesuai dengan keinginanku. Sesuai dengan latar belakang kuliahku. Meski harus terpanggang matahari dengan mengenakan pakaian ala anak proyek, kemeja, celana jeans, sepatu boots safety yang alasnya dipenuhi tanah merah. Meski letih, tapi aku merasa senang dengan apa yang kukerjakan ini. Kalimat bijak yang sering kulihat di sosial media itu mungkin ada benarnya, ‘kalau kamu capek mengerjakan sesuatu namun kamu bahagia, berarti yang kamu lakukan sudah benar’.

Move OnWhere stories live. Discover now