Bab 2 Bagian 9

6 0 0
                                    

"Gue udah ngerasa sih dari dulu. Cuma gue diem aja. Kalo gue cerita Pak Bas main curang, pasti kalian ketakutan," Bimo menyilangkan kedua tangannya.

"Mas Jaka sih waktu itu pernah di parkiran disamperin sesama konsultan dari kantor lain. Dibilang kalo Pak Bas suka nyuap orang proyek biar menang tender. Itu matiin kerjaan mereka yang berusaha jujur." Satria melahap udang goreng mentega pesanannya.

Aku dan Adi tidak menanggapi Bimo dan Satria yang asyik membicarakan Pak Bas. Aku ingin fokus dengan kepiting saus tiram yang sudah terhidang di atas meja.

"Sebenarnya gaji kita juga harusnya lebih besar dari yang kita terima sekarang ini," ucap Adi dengan serius.

Aku, Bimo dan Satria kaget dengan apa yang dibicarakan Adi. Bagaimana mungkin Adi yang baru bekerja lebih tahu hal itu dari pada kami? Selidik punya selidik, ternyata Adi sempat melihat proposal yang akan diajukan Pak Bas ke pihak klien. Dia tidak sengaja melihat proposal itu di atas meja, saat berbicara dengan Pak Bas di ruangannya. Dalam proposal tersebut tertulis dengan jelas bahwa biaya jasa penyusunan dokumen oleh ahli sebesar lima belas juta rupiah untuk masing-masing tenaga ahli. Pak Bas yang menyadari bahwa dia lupa menyembunyikan kertas itu, langsung dengan cepat diambil dan dimasukkan ke dalam tasnya.

"Lima belas juta harusnya, bukan empat juta," ucap Adi sembari mencomot kerupuk.

"Gila, pantes suka gonta-ganti mobil, beli rumah di mana-mana. Ternyata selain curang, dia juga pinter ngibulin kita," Bimo terlihat sangat kesal dengan Si Kumis.

"Kita cuma bisa sabar, Bro. Waktu kontrak kita masih agak lama di kantor." Satria menepuk bahu Bimo.

Bimo menampik tangan Satria. Dia merasa tidak sanggup bersabar dalam ketidakadilan. Lima belas juta adalah angka yang cukup besar bagi karyawan seperti kami. Perdebatan sengit kami mereda dengan ide brilian yang dicetuskan Adi. Dia memiliki rencana untuk membuka kantor konsultan, tetapi dia menunggu waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Bukan hal yang mudah membuat suatu perusahaan baru, meskipun hanya sebuah usaha kecil.

"Udah lah, kita sekarang main cantik aja. Perhatiin kalo mulai ada gerak-gerik aneh dari Pak Bas, atau ada wartawan tiba-tiba nyamperin, kita semua harus cabut, Guys," ucap Bimo tegas.

"Iya, kita pura-pura gak tau aja soal ini. Kalo udah mulai mengancam kita, kita berhenti rame-rame. Satu orang mundur gak akan pengaruh buat dia, tapi kalo kita semua bertindak, dia gak akan berkutik. Bukan cuma dia yang kena, kita juga bisa kena tangkap polisi." Giliran Adi berbicara dengan serius.

Malam semakin larut, belum ada tanda-tanda mereka akan beranjak dari kursi. Aku yang sudah mulai mengantuk, akhirnya mengajak mereka untuk pulang.

"Eh udah malem nih, balik, yuk!" kataku kepada mereka.

"Iya udah jam setengah sepuluh, yuk, pulang," Bimo melihat jam tangannya.

Setelah Bimo membayarkan sejumlah uang kepada pemilik warung, tiba-tiba saja terdengar suara tetesan air dari atas tenda. Suara itu semakin lama semakin keras. Hujan deras mengguyur Kota Bogor.

"Yah ujan... Gak bawa jaket lagi..." ucapku sambil menyilangkan kedua tangan untuk menghangatkan tubuh.

"Pegang tangan gue aja sini." Bimo meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat.

"Cieee... Jangan pacaran di sini...," celetuk Satria.

Aku segera melepaskan tanganku dari genggaman tangan Bimo. Satria dan Adi terkekeh melihat tingkah Bimo.

Detik demi detik berlalu. Awan hitam nan besar di atas langit itu, belum bersedia menghentikan tangisannya. Satria mulai mengkhawatirkan keadaan keluarganya di rumah, dia memaksa diri untuk pulang lebih awal.

Namun karena yang membawa motor hanya Satria dan Bimo, mau tidak mau aku dan Adi juga harus ikut pulang, meski tubuh kami jadi basah kuyup.

Move OnWhere stories live. Discover now