Bab 1 Bagian 2

14 3 0
                                    

Perkenalkan, namaku Lunita. Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Luna. Aku adalah anak semata wayang orang tua angkatku. Sudah jelas ya, jika orang tua kalian hanya memiliki satu anak, wajib curiga kalau kamu adalah anak angkat, sepertiku. Haha. Kata orang, aku dibuang oleh orang tua kandungku sejak masih bayi. Namun orang tuaku tidak pernah berkata demikian. Mereka bilang aku diambil dari sebuah rumah sakit. Dibuang atau diambil, bagiku sama saja. Orang tidak mungkin mengambil sesuatu, jika tidak ada yang membuangnya bukan?.

Aku tidak tua, namun juga tidak muda, tahun ini umurku 25 tahun. Aku adalah lulusan teknik lingkungan dari salah satu universitas negeri terkemuka di Jawa Tengah. Saat ini aku bekerja di sebuah kantor konsultan lingkungan. Lebih tepatnya sejak empat bulan yang lalu, aku berkecimpung di bidang ini. Terbilang cukup baru. Pekerjaan utama kantorku adalah menyusun dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Tapi kami juga bisa menyusun dokumen analisis lingkungan yang lainnya. Dokumen AMDAL merupakan dokumen yang berisi kajian terhadap suatu kegiatan usaha serta dampaknya terhadap lingkungan. Dokumen inilah yang akan digunakan sebagai acuan untuk pengurusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan pembuatan legalitas lainnya.

Brukk... Brukk.. Brukk...

Suara langkah kaki seseorang membuyarkan lamunanku. Bimo terlihat kembali ke kantor dengan menghentak-hentakkan langkah kakinya.

"Kenapa, Bim?" tanyaku.

"Bos dateng. Tadi gue udah bawa motor keluar, eh ketemu dia di jalan. Disuruh balik gue!"

Aku melihat jam tanganku, waktu masih menunjukkan pukul 11.02 siang.

"Yaiyalah suruh balik. Belom jam istirahat lo udah keluar kantor, hahaha..." aku terpingkal-pingkal.

Bimo akhirnya duduk kembali di tempat kerjanya dan menyalakan komputer.

Tin ... Tin ...

Sebuah Pajero berwarna hitam berhenti tepat di depan kantor. Pria yang biasa disebut dengan Pak Bas, bosku, turun dari mobil itu dengan terburu-buru. Dia masuk ke ruangan Satria dan membanting dokumen di depannya. Kantor ini memiliki tiga ruangan utama, satu ruangan direksi, dan dua lagi kantor karyawan. Aku kerja bersama Bimo dalam satu ruangan, sedangkan ruang satunya lagi diisi oleh Satria. Satria bekerja hanya sendiri, namun kadang ditemani oleh Mas Jaka, sopir kantor kami.

Brakkk ...

"Gimana sih kamu ini, Sat! Bisa-bisanya dokumen buat PT. Lestari bisa ada nama perusahaan lain masuk ke situ. Bikin malu aja," hardik bosku dengan suara lantang, sampai terdengar olehku dan Bimo.

"Maaf, Pak. Nanti saya ganti tulisannya," jawab Satria.

Aku menelan salivaku berkali-kali. Ini bukan pertama kalinya bosku marah-marah. Hampir setiap hari dia melakukannya. Masalah kecil seperti salah mengetik nama perusahaan bisa saja membuatnya naik pitam. Aku merasa, pekerjaan kami yang setiap harinya berkutat dengan dokumen dari perusahaan yang berbeda-beda, membuat kami kadang tidak fokus dan menjadi salah ketik.

"Luna! Ayo ikut saya. Kita evaluasi dokumen di Kabupaten Bogor. Bawa botol sampel di belakang. Nanti kita makan siang di luar aja," tiba-tiba saja pria tua berkumis tebal itu masuk ke ruanganku dan mengajakku pergi.

"Oke, Pak."

Dengan langkah gontai aku berjalan ke gudang dan mengambil beberapa botol sampel. Aku mengemasi barang-barangku dan memasukkannya ke dalam mobil Pak Bas.

"Yuk, berangkat lagi," ucap Pak Bas.

Aku menganggukkan kepalaku. Pak Bas menyalakan mobil dan memacu kendaraannya. Aku melihat kantorku dari kejauhan. Kantorku sebenarnya hanya kantor kecil. Lokasinya ada di dalam sebuah kompleks perumahan. Bangunannya pun menggunakan bangunan rumah biasa, bukan ruko. Karyawan hanya berjumlah empat orang. Menurutku, jumlah karyawan di kantor ini terlalu sedikit untuk pekerjaan yang sangat banyak. Wajar saja kalau kami sering sekali salah mengetik.

"Satria itu tolong kamu kasih tau, kerjaannya gak beres terus, Lun," suara Pak Bas memecah keheningan di dalam mobil.

"Yah, Pak. Kerjaan kita banyak. Tenaga cuma sedikit. Menurut saya wajar salah ketik," kataku mencoba berterus terang.

"Oh, gitu ya, menurutmu. Coba lah nanti kamu pasang iklan. Cari satu orang lagi buat bantu-bantu," pungkasnya.

Aku hanya mendehem menyetujui permintaannya. Menurutku, ini adalah waktu yang tepat untuk mencari karyawan baru. Aku berharap, karyawan baru yang akan masuk nanti adalah seorang perempuan. Aku sudah bosan menjadi yang paling cantik sendiri di kantor.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang