Bab 2 Bagian 5

4 0 0
                                    

Sekembalinya kami ke kantor, sudah dapat dipastikan, kami dimarahi habis-habisan oleh Si Kumis. Dia menumpahkan semua emosinya kepada kami. Gaji kami dipotong sebesar satu juta rupiah selama dua bulan, untuk mengganti kerugian dari hilangnya drone milik Si Kumis. Bahkan aku yang tidak pernah menyentuh barang jahanam itu, juga terkena imbasnya. Sungguh tidak adil. Tapi aku menerimanya, dengan berat hati.

Terkadang aku bersyukur dengan pekerjaan ini, tetapi aku juga menyesali mengapa diberi bos macam Si Kumis. Aku terjebak dan tidak bisa keluar begitu saja dari kantor ini untuk satu setengah tahun ke depan. Semua karyawan di kantornya, masih berstatus karyawan kontrak. Kami baru akan diangkat menjadi karyawan tetap, jika sudah menjalani dua tahun masa kontrak.

"Pak Bas orangnya gitu, ya?" kata Adi terengah-engah. Dia terlihat letih menarik-narik koper besar yang dia bawa dari Jogja.

Adi mendapatkan izin dari ibu kos, untuk menempati kamar kosong di sebelah kamarku.

"Yah gitu lah dia, Di. Musti tahan aja sih," jawabku singkat. Aku sudah terlalu lelah untuk berbicara panjang dengan Adi.

Klotek... Klotek...
Aku membuka pagar rumah kos, dan menyuruh Adi untuk menunggu di halaman rumah pemilik kos. Kos yang kutempati bersebelahan dengan rumah pemiliknya.

"Assalamualaikum, Bu," teriakku di depan pintu rumah Bu Hadi, pemilik kos.

"Walaikumsalam...." Bu Hadi membuka pintu dan tersenyum melihatku dan Adi.

"Ini, Bu. Adi, yang saya kasih tau tadi di SMS. Dia karyawan baru di tempat saya, datang dari Jogja, mau kos di sini."

Bu Hadi memperhatikan penampilan Adi dari atas hingga bawah, seperti yang aku lakukan padanya saat pertama kali bertemu.

"Iya, Mas. Boleh kok. Biayanya enam ratus ribu perbulan," ucap Bu Hadi.

Adi menganggukkan kepala, pertanda menyetujui biaya sewa kamar yang diajukan Bu Hadi. Setelah menyerahkan uang tanda jadi, Adi pun diberikan kunci kamar.

"Aku ke kamar dulu ya, Di," kataku sambil membuka pintu kamar.

"Iya. Oh iya, aku pinjem sapu boleh?" tanyanya.

Aku mengangguk. Ku ambil sapu dan pel kemudian menyerahkannya pada Adi.

"Oh iya, Di. Aku mau mandi. Nanti kalo ada suara tek...tek... tukang nasi goreng, tolong panggilin ya. Biasa dia suka lewat jam segini. Pesenin nasi goreng pedes satu, ya. Makasih," jelasku sambil menutup pintu kamar dari dalam.

Seperti biasa, hal pertama yang aku lakukan jika masuk ke dalam kamar adalah menyalakan pemutar musik di laptop. Hari-hariku selalu diiringi alunan musik akustik untuk menenangkan jiwa. Pekerjaanku sudah berat, aku ingin tetap waras dengan mendengarkan musik. Bahkan, alunan musik itu tetap terdengar meski aku sedang beribadah, hanya saja, volumenya aku kecilkan.

Ketika aku sedang mandi, kudengar suara wajan penggorengan dipukul dari luar. Aku mendengar suara Adi berteriak memanggil tukang nasi goreng. Aku mandi dengan tergesa karena sudah tidak sabar ingin melahap nasi goreng itu.

Setelah aku bersiap, kubuka pintu kamarku. Nampak dua piring nasi goreng yang diletakkan di atas meja di depan antara kamarku dan kamar Adi.
Aku mengintip masuk ke dalam kamar Adi. Dia tidak ada, mungkin sedang mandi.

Tanpa pikir panjang, aku duduk di kursi dan melahap nasi goreng itu tanpa menunggu Adi selesai mandi. Aduh Bang Jarwo, nasi gorengmu begitu enak. Aku menikmati nasi goreng itu sesuap demi sesuap. Nasinya yang tak terlalu kering, bumbunya yang begitu terasa, rempahnya melimpah, sensasi pedas manis, membuatku menutup mataku untuk beberapa detik. Aku begitu menikmatinya sampai tidak sadar, Adi tengah memperhatikanku.

"Mbak... Mbak Luna... Haha..." tawanya menyadarkanku.

"Eh sori, sori. Hahaha. Jadi malu aku...." Pipiku memerah, aku malu.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang