Bab 3 Bagian 6

5 0 0
                                    

Suasana pagi di Bandara Internasional Soekarno Hatta cukup sepi. Kami mengambil jadwal penerbangan paling pagi menuju Kota Jambi, tempat di mana kami akan melakukan survei lokasi proyek yang baru.

Aku berjalan cepat di depan Pak Bas dan rekan kerjaku yang lainnya. Seperti biasa, perempuan lah yang diberi kepercayaan untuk memegang semua berkas dan uang yang dibutuhkan selama dalam perjalanan. Pak Bas tidak mau memberi tugas itu kepada Bimo, Adi atau yang lain, karena dia paham, lelaki semuanya sama saja. Sama-sama tidak teliti. Aku pun memahami kondisi itu. Meski repot, tapi itu lebih baik dari pada ada berkas atau identitas kami yang hilang karena keteledoran lelaki-lelaki itu.

Aku memasuki kabin pesawat dan menunjukkan lokasi tempat duduk mereka masing-masing. Aku duduk dengan Bimo dan Adi, sedangkan Pak Bas duduk bersama Satria dan Mas Jaka. Adi menjawil bahuku dan berkata,

"Sini tasnya, aku naikin ke bagasi, kamu duduk aja di situ." Adi menunjuk tempat duduk tepat di sebelah jendela.

Aku memberikan tas ranselku padanya dan langsung duduk di kursi yang seharusnya menjadi tempat duduknya. Bimo mengernyitkan dahinya dan menunjuk diriku.

"Kok di pojok lo, kan harusnya di tengah?"

"Sama aja lah," jawabku ketus sambil memandang ke arah luar jendela.

"Gue di tengah kalo gitu!" ucap Bimo dengan suara khasnya yang keras.

Adi menganggukkan kepalanya. Bimo pun duduk di sebelahku. Tak lama kemudian, pesawat yang kami naiki akan lepas landas. Bimo melirikku tajam lalu tertawa.

"Takut ya, looooo. Tegang gitu mukanya. Hahaha," ejek Bimo dengan wajah menyebalkan.

Aku melirik wajahnya dengan memasang wajah galak dua kali lipat. Aku benci digoda saat merasa takut. Iya, aku benci naik pesawat. Pernah mengalami kejadian buruk di pesawat sewaktu kecil, membuatku sedikit trauma memilih perjalanan menggunakan moda transportasi ini. Aku masih ingat betul rasanya ketika pesawat berguncang dengan sangat keras karena badai.

"Pegang tangan gue aja kalo takut," sahutnya lagi. Dia memberikan tangannya untuk aku pegang. Jemarinya dimainkan di depan wajahku.

"Males ah, udah sono!" hardikku padanya.

Adi hanya tersenyum kecil, melihat tingkahku dan Bimo yang nampak seperti dua bocah yang sedang bertengkar. Guncangan kuat mulai kurasakan, ketika pesawat perlahan mulai naik. Aku memegang kuat sandaran tangan, lalu memejamkan mataku dan mulai merapal doa-doa.

Setelah pesawat mulai terbang tinggi dan stabil, aku kembali membuka mataku. Kulihat Bimo tertidur pulas. Aku menatapnya dengan penuh rasa heran. Bisa-bisanya ada manusia bisa tertidur pulas di dalam pesawat. Sesuatu yang teramat sangat sulit untuk aku lakukan.

Adi terlihat santai membolak-balik halaman koran yang dia minta dari pramugari. Sambil sesekali melirik ke arah jam tangannya. Tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan lagi-lagi dia menangkap mataku yang sedang memperhatikannya. Aku membuang pandangan mataku ke arah penumpang di seberang tempat duduk kami. Adi lalu, tersenyum melihatku.

"Kenapa, Lun?"

"Gak apa-apa. Hehe." Aku menundukkan pandanganku. Aku malu sering tertangkap basah sedang melihatnya.

Tiba-tiba saja Bimo bangun dari tidur. Dia melirik ke arah pramugari yang sedang memberikan makanan kepada penumpang di depan kami.

"Yes, pas bangun makanan dateng."

"Lo tuh, kalo gak makan, tidur."

"Semua orang juga suka kali, Lun. Makan sama tidur adalah kebahagiaan. Mumpung gak di kantor. Kapan lagi ya kan. Haha."

Aku hanya tertawa mendengar kicauannya.

Move OnWhere stories live. Discover now