Bab 2 Bagian 6

6 0 0
                                    

Aku dan Adi menyantap nasi goreng itu dengan lahap. Sesekali kami bercakap-cakap untuk mengusir keheningan malam. Aku mendengarkan ceritanya selama kuliah dan bekerja di Jogja. Ternyata kami punya masa lalu yang sama, sama-sama pernah bekerja sebagai pegawai bank.

"Enak gak jadi pegawai bank?" Adi terkekeh sendiri dengan pertanyaannya.

"Haha, kalo suruh ngulang lagi, gak ah. Mending kerja begini dari pada di bank."

Adi adalah orang yang cukup menyenangkan diajak berbincang. Bak orang yang pernah kuliah di jurusan komunikasi atau psikologi, dia bisa menciptakan komunikasi dua arah yang membuatku tak bosan mendengar dan menimpali. Sangat berbeda dengan Hanif yang cenderung pendiam.

Ketika aku berbicara dengan Hanif, aku lah orang yang harus selalu aktif mengajukan pertanyaan dan membuat komunikasi kami menjadi menyenangkan.

Aku memandangi wajah Adi sambil mendengarkannya bicara. Terlihat sekilas mirip dengan Hanif, tetapi versi lebih tampan. Hanif lagi, Hanif lagi. Entah mengapa aku suka tiba-tiba mengingat Hanif. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak lagi mengingatnya. Seketika aku memukul kepalaku dengan sendok makan.

"Kenapa, Mbak? Kok mukul kepala?" tanyanya.

"Gak apa-apa, kok. Hehe. Gak usah panggil Mbak lah, panggil Luna aja. Aku kan lebih muda."

Dia tersenyum.

"Oh iya, Lun. Maaf, ya. Gara-gara salahku, kamu jadi ikut dipotong gajinya. Padahal yang ngilangin aku." Dia menghela nafasnya.

"Satria tuh harusnya yang ganti sendiri. Dia yang bikin ulah. Kita yang kena."

"Dia tadi lembur, ya sama Bimo? Kok mereka gak ikut pulang tadi waktu kita pulang?"

"Iya, Satria sama Bimo suka disuruh lembur sama Si Kumis. Aku juga kadang lembur, tapi akhir-akhir ini males. Kerja kayak gak ada abis-abisnya," aku mendengkus.

"Si Kumis?" tanya Adi.

"Iya, Pak Bas. Lihat kan kumisnya tebel kayak suaminya Inul?"

"Hahaha..." Adi tertawa mendengar perkataanku.

Aku terkekeh jika membayangkan kumis Pak Bas yang tebal itu. Bentuknya seperti ulat bulu berwarna hitam. Jika Pak Bas berbicara, kumisnya turut bergerak kesana kemari. Persis seperti ulat bulu yang sedang berjalan di dedaunan.

Malam semakin larut. Mataku yang semula segar menjadi sedikit berat.
"Yaudah, Di. Aku mau tidur ya, udah malem. Oh iya ini uang tadi nasi gorengnya, makasih, ya..." kataku sambil menyerahkan uang sepuluh ribu kepada Adi.

Aku mengambil piring bekas itu dan mencucinya di washtafel dapur kos. Aku sudah terbiasa mencuci piring milik Bang Jarwo, dan mengembalikannya esok hari jika dia datang kembali untuk menjajakan dagangannya.

Aku membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya. Suasana kamar yang remang, dan alunan musik akustik membuatku mengantuk.

Drrtttt... Drrtttt...

Ku ambil ponsel yang kuletakkan di atas meja rias. Aku mengintip ke layar ponsel, dan mataku terbelalak. Mataku yang tadi amat berat karena rasa kantuk menjadi berubah menjadi sangat lebar. Hanif mengirimkan sebuah pesan.

[Luna, apa kabar?]

Jantungku berdegup sangat kencang. Mau apa lagi dia. Pertanyaan macam apa yang diajukannya? Kabar? Tidakkah kau tahu pesan terakhir yang kau kirimkan padaku sudah membuatku porak poranda, Hanif? Aku mengetik pesan balasan untuknya.

[Baik]

Tak lama kemudian dia membalas lagi pesanku.

[Maaf, aku semalam mimpiin kamu. Aku takut kamu kenapa-kenapa.]

Bodoh. Sudah jelas aku kenapa-kenapa, karena melihat fotomu bersama wanita lain di bioskop beberapa waktu lalu. Belum sembuh sakit hatiku kau putuskan sepihak, sudah kau tambah lagi dengan adanya foto itu. Aku sebenarnya ingin marah kepadanya, tetapi dia pasti akan menilaiku sebagai wanita manja yang gagal move on.

[Oh. Aku gak apa-apa. Gimana kabarmu?] Aku membalas pesannya lagi.

[Aku baik kok, maaf ya Lun sudah ganggu. Semoga kamu selalu baik-baik saja dan selalu bahagia. Selamat tidur. Mimpi indah.]

Mimpi indah dia bilang? Brengsek! Aku mungkin akan bermimpi indah jika dia tak mengirimiku pesan.

Move OnWhere stories live. Discover now