Bab 1 Bagian 8

5 0 0
                                    

Setelah mengiyakan, aku menutup telepon Si Kumis dan langsung membuka email kantor melalui ponselku. Aku mencari nama Adi Laksono dan mengirimkan email balasan sesuai dengan yang diperintahkan Pak Bas. Selagi aku mengetik email, Bimo memarkirkan kendaraannya di parkiran Mall Botani Square. Siang itu, kondisi parkiran mall cukup kosong, sehingga Bimo tidak perlu memarkirkan kendaraannya di basement.

Kriiinggg … Kriiinggg … Kriiinggg …

Kini giliran ponsel Bimo berbunyi. Aku mengintip ke layar ponsel Bimo yang terletak di dashboard mobil. Pak Bas juga meneleponnya. Bimo yang masih memegang kemudi setir, hanya melirik layar ponsel tanpa ada keinginan untuk menerima panggilan Si Kumis. Setelah berdering cukup lama, akhirnya Si Kumis menyerah juga.

“Libur gini telpon, pasti tanya kerjaan. Males banget,” kata Bimo dengan ketus.

“Lo kaya gak tau bos kita aja sih, gila kerja!”

“Awal-awal sih gak apa-apa ya, tapi lama-lama keganggu juga. Yuk! Cuekin aja lah Si Kumis itu,” sahutnya sambil keluar dari mobil.

Bimo membuka pintu mobil dan menyuruhku untuk cepat turun.

“Ayo cepet, Lun,” katanya seraya mengulurkan tangannya padaku.

Aku menggapai tangannya, kemudian turun dari mobil dengan perlahan.

"Tumben-tumbenan lo begini?" tanyaku sambil menatap wajahnya.

"Eh gimana maksud lo?" Bimo balik bertanya padaku sembari mengunci mobilnya.

Aku menggelengkan kepala. Aku mengurungkan niatku untuk bertanya lebih jauh mengapa dia menjadi sangat perhatian padaku hari ini. Mulai dari bunga, memperkenalkan diriku sebagai pacar, dan menggenggam tanganku seperti ini. Bahkan Hanif tidak pernah memperlakukanku seperti itu selama tiga tahun kami menjalin hubungan. Ah atau mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan. Entahlah.

Aku dan Bimo akhirnya masuk dan berjalan-jalan di mall yang masih terlihat agak sepi. Kami memasuki satu toko ke toko lain, mencoba-coba banyak pakaian, dan mengembalikannya lagi tanpa perasaan bersalah. Kami juga mencoba berbagai jajanan yang ada di food court mall tersebut. Duduk di kursi sambil berbincang dan melihat pengunjung yang mulai ramai berlalu-lalang. Cukup menyenangkan. Di sela-sela percakapan, terkadang kami menertawakan nasib tragis kami masing-masing. Dia tertawa terbahak-bahak ketika aku menceritakan tentang alasan Hanif memutuskanku, yaitu karena statusku anak angkat.

Dia berbicara sebagai seorang pria dewasa, bahwa kalau seorang lelaki betul-betul mencintai seorang wanita, dia tidak akan pernah peduli dengan status. Jangankan status anak angkat, status janda pun akan dia perjuangkan. Lelaki itu pantang menyerah, kecuali memang sudah tidak cinta. Aku ingin menyangkal bahwa Hanif bukan orang seperti itu. Tapi jika dilihat dari alasan Hanif yang kurang masuk akal itu, aku rasa perkataan Bimo ada benarnya. Seorang pria akan mengusahakan segalanya jika mencintai seorang wanita, tetapi Hanif tidak mau berusaha lebih keras melunakkan hati kedua orang tuanya, demi aku.

“Udah gak usah dipikirin. Yakin aja sama Allah. Kita semua punya jodoh kok. Hanya saja kita gak tau kapan jodoh kita dateng. Kita gak tau kapan saat itu tiba. Yang bisa kita lakuin ya cuma berusaha sebaik-baiknya, berdoa semaksimal mungkin. Lupain aja masa lalu kita,” ucapnya sambil menyeruput es teh manis.

“Ngomong aja lo, ngomong doang gampang, kenyataannya susah! Tiga tahun, Bim. Lo bayangin aja. Lo juga pura-pura bijak padahal sakit ati juga kan?” aku mendengus kesal.

Bimo seketika terdiam saat mendengar perkataanku. Sekitar tiga menit Bimo mematung, sambil menatap gelas berisi es teh yang ada di atas meja restoran. Dia menghela nafasnya berkali-kali, sambil sesekali memainkan es batu dengan sedotan plastik berwarna putih.

“Iya, gue sakit ati. Gue akui, belajar melupakan seseorang yang kita cintai tuh susah banget. Tapi bukan berarti gak bisa kan? Apalagi gue udah jelas-jelas ditinggal kawin, mau gak mau gue move on. Dunia gue harus tetep berjalan tanpa Ratna. Gue tau itu berat. Tapi gue harus coba. Karena Ratna udah gak cinta sama gue, sama kaya Hanif sama lo. Hanif tuh banyak alasan aja buat menghindari elo. Lo sadar, Lun!”

Kini, ganti aku yang terdiam cukup lama. Aku menundukkan pandangan, memainkan kuku jari tanganku, sambil sesekali menatap Bimo yang duduk di hadapanku. Lidahku kelu. Aku kehilangan kata-kata. Aku ingin marah. Aku ingin menangis. Tapi yang dikatakan Bimo itu benar. Apalagi aku melihat foto Hanif terlihat sangat bahagia dengan rekan kerja wanitanya. Foto itu seperti pembuktian akan perkataan Bimo, bahwa Hanif mungkin sudah tidak mencintaiku lagi.

Tiba-tiba Bimo mendekati wajahku dan menatapku lekat-lekat. Aku bersyukur mataku masih tertutup oleh kacamata hitam, sehingga dia tidak mengetahui ekspresi mataku yang saat ini sedang gugup, sedih, bercampur jadi satu.

“Kita pasti bisa, Lun!”

“Iya, Bim. Semoga aja gue bisa lupain Hanif. Walau itu berat banget,” ucapku lirih.

Move OnWhere stories live. Discover now