Bab 2 Bagian 4

6 0 0
                                    

Aku melangkahkan kakiku mendekati sebuah kantor proyek yang terbuat dari kontainer bekas. Bimo, Satria, Adi dan Mas Jaka menunggu di dekat mobil dan mempersiapkan peralatan survei. Seseorang keluar dari dalam kontainer dan menyapaku.

“Mbak Luna ya? Dari Pak Bastian kan?” tanya orang itu.

“Iya, Pak. Betul. Saya dan teman-teman saya mau minta izin berkeliling di lokasi ya, Pak.”

“Oh iya, Mbak. Boleh silakan. Tunggu sebentar ya Mbak, saya ambilkan peta site plan lokasinya dulu. Sudah saya beri patokan supaya mudah kalau berkeliling,” ucapnya sembari masuk ke dalam kantor dan keluar dengan selembar kertas ukuran besar.

Aku mengambil kertas besar itu dan membukanya. Ini adalah design bangunan pabrik yang sangat besar. Setelah diberi pengarahan mengenai patokan batas-batas lokasi, akhirnya aku dan rekan kerjaku memulai survei lokasi.

Aku melangkahkan kakiku dengan perlahan. Lokasi yang merupakan bekas areal persawahan ini membuatku cukup mudah untuk berjalan. Kondisi tanah sawah yang sudah mengering tidak membuat sepatuku terlalu kotor. Beberapa foto saja sudah cukup mewakili keseluruhan lokasi, karena jenis vegetasi dan lokasinya seragam. Berbeda kalau lokasi proyeknya tidak seragam. Misalkan ada bekas sawah, ada areal bekas perumahan liar, bahkan hutan, tentu lebih sulit karena semua lokasi itu harus didokumentasikan.

Cekrek … Cekrek …

Aku mulai mendokumentasikan lokasi dari bagian pinggir lalu ke bagian tengah lokasi. Satria dan Adi tengah asyik berduaan di tengah sawah sambil mengoperasikan drone yang dibawa dari kantor.

“Udah, Lun?” tanya Satria sambil memainkan remote pengendali pesawat nirawak itu.

“Bentar lagi, Sat,” jawabku terengah-engah. Lokasi yang cukup luas membuatku kewalahan dan letih.

“Eh, Di, pegang ini dulu sebentar, gue mau liat itu apaan sih,” ucap Satria sambil melihat ke arah rerumputan dan menyerahkan remote drone kepada Adi.

“Apaan sih Sat?” tanyaku ingin tahu.

“Itu kayak ikat pinggang deh, bagus banget. Item mengkilat gitu. Kaya barang mahal. Bentar ya,” kata Satria sambil berlari kecil menghampiri sebuah benda yang mirip ikat pinggang, yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Satria terlihat membungkuk dan hendak mengambil benda itu. Namun tiba-tiba dia berteriak sangat kencang.

“Ulaaaaarrrrrrrrrrr!” Satria berlari menjauhi rerumputan itu.

Aku dan Adi juga berlarian ke arah yang berbeda.

“Adi! Drone-nya terbang ketinggian!” teriakku mengagetkan Adi yang sedang kaget juga karena melihat Satria berlari. Kami bertiga melihat ke atas, ke arah dimana drone itu terbang. Namun kami tidak menemukan sosok pesawat nirawak itu. Adi kehilangan kendali atas drone-nya. Kami bertiga kaget. Sangat sulit menemukan drone yang sudah kehilangan kendali. Apalagi jika terbang di atas ketinggian lebih dari lima ratus meter.

Tangan Adi gemetar, wajahnya pucat pasi, bibirnya terlihat memutih. Berkali-kali Adi menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal dan sesekali menyeka keringat di keningnya. Hawa di daerah Cianjur memang panas, tetapi mengingat ini adalah hari pertama dia bekerja dan sudah membuat pesawat nirawak itu hilang entah kemana, membuat keringat Adi mengucur semakin deras.

“Aduh ilang deh, mampus kita. Itu Phantom 4 Pro kesayangan si Bos pula,” ucapku.

“Maaf Mas, Maaf Mbak. Aku kaget tadi,” ujar Adi sambil tertunduk. Aku tahu dia sangat kaget dengan apa yang sudah terjadi hari ini.

“Duh gue yang salah. Gara-gara uler, kita jadi kena masalah gini, maaf banget ya, Bro,” kata Satria.

"Elu bego sih, lagi kerja malah gak fokus liat ikat pinggang. Mending kalo ikat pinggang beneran. Uler idup! Kena kan kita," sahutku menyalahkan Satria. Sekarang kami terlibat dalam masalah.

Move OnTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon