4. The One with Hiu Being Overprotective... Kind of...

Mulai dari awal
                                    

"Biarin! Napas-napas aku sendiri."

"Eits ... napas kamu sendiri gimana? Napasmu, kan, nanti yang nyium aku juga kalau kamu udah akil balig."

Nggak pake mikir dua kali, kusambar selembar napkins dan kulempar ke arahnya. Tanpa susah payah, dia menghindar dan kain yang kulempar tadi jatuh ke lantai. Omelet terakhir masuk mulutnya sambil kepalanya geleng-geleng meremehkan. Aku menggeram, lalu berdiri berniat mungut napkins tadi, tapi keduluan mas-mas berambut pirang yang berdiri nggak jauh dari meja kami.

"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanyanya dengan mulut penuh. "Dimakan tuh serealnya, jangan buang-buang makanan."

"Mau pergi cari gaun sama Vrancessa," jawabku. Merengut. "Nggak mau. Yang ngambil, kan, Kakak, kalau nggak kumakan, bukan aku, dong, yang salah."

"Nanti ayamnya mati, lho."

Aku udah nggak tahan lagi. Kusepak tulang keringnya di balik meja dengan kekuatan penuh. Tapi, dia cuma mengekeh, lanjut melahap sebatang sosis besar cuma dalam satu gigitan. Bergerak aja enggak, apalagi kesakitan. Malah aku yang meringis. Kayaknya jempol kakiku retak.

"Makan nggak serealnya," katanya dengan nada mengancam. "Kalau nggak dimakan, nggak boleh jalan sama Vrancessa, apalagi beli baju buat nanti malam. Pake aja itu dress motif Doraemon, atau Pikachu."

Tentu saja aku nggak punya dress Doraemon atau Pikachu! "Emang aku minta izin apa kok nggak dibolehin segala? Ya udah, kalau nggak boleh, nanti malem aku di hotel aja. Kan, Kakak juga yang bingung ke sana sendirian," lagi ngomel-ngomel gitu, eh mulutku dijejelin sosis, dong, ya ampun udah nggak ada harga dirinya aku lama-lama, "Blueh! Beh! Beh!"

Kali ini dia nggak ketawa kayak biasanya kalau berhasil ngerjain aku, "Istri itu kalau ngomong ada batasnya. Kalau suami nggak ngasih kamu jalan, ya, kamu nggak jalan. Kalau ada apa-apa siapa yang tanggung jawab nanti, hm?"

"Terus suami nggak ada batasnya gitu?"

"Emang aku ngelanggar batas apaan? Aku, kan, bawain kamu sereal, dengan alasan yang baik. Nyuruh kamu banyak makan biar cepet gede, emang badanmu satu setengah meter aja mesti jinjit. Harus banyak olahraga sama minum susu, siapa tahu masih bisa nambah tiga, atau lima sentimeter biar genap. Udah cepet dimakan, atau nggak boleh beli baju."

Kalimat terakhirnya itu emang kayak ngomong sama anak kecil, tapi mukanya serem banget kayak mau makan orang beneran. Alisnya, kan, tebel banget tuh, hampir nggak ada jaraknya di atas hidung, nah, kalau marah jaraknya menghilang sama sekali. Nyaliku langsung ciut. Kalau Vrancessa nggak manggil, mungkin aku udah makan sereal sambil nangis.

"Duh, pengantin baru manis banget pagi-pagi sarapan berdua," sapanya sambil berjalan mendekat. Vrancessa hari ini kelihatan segar, rambutnya diekor kuda. Kausnya agak kekecilan, pusarnya yang berhias batu zamrud berkilauan terus berusaha mengintip dari baliknya. Roknya juga sama, kayak bukan ukurannya. Kalau aku pakai kayak gitu bakal seksi juga, atau malah kayak anak TK yang belum punya rasa khawatir celana dalamnya bakal kelihatan karena roknya kependekan, ya?

"Udah sarapan?" tanya Hiu sambil berdiri menyambut dan nyium pipi Vrancessa. Waktu mereka bersisian, perbedaan tinggi mereka ideal banget. Serasi. Kalau mereka menikah, Vrancessa nggak perlu merasa terancam bakal terbunuh.

"Mau dibawa ke mana, sih? Nggak usah belanja yang aneh-aneh, ya," pesan Hiu seraya kembali duduk. "Jangan dipaksain pakai baju yang kamu pakai, nanti malah dikira orang inappropriate lagi, ngedandanin bocah terlalu seksi."

Sabar ... sabar ....

"Apaan, sih," Vrancessa tertawa kecil sambil melirikku, ekspresinya nggak enak. "Jangan kelewatan kalau bercanda. Jangan sampai suatu hari kamu nyesel karena nggak serius pada saat yang dibutuhkan."

Hiu dikasih tahu gitu cuma ngedecap aja.

"Jangan lupa nanti pukul delapan kalian udah harus nyampe sana. Kalau enggak, Anekelea bisa ngambek. Yuk, jalan sekarang, Bonnie, makannya udah selesai?"

Aku baru mau jawab, tapi keduluan. "Tunggu dia habisin serealnya dulu."

"Pasti kamu yang usil," tebak Vrancessa tepat. "Jangan diambil hati ya, Bonnie. Kamu tuh mungil, manis, seksi ... nggak usah didengerin yang bilang kamu harus tambah tinggi segala macem." Cewek tinggi itu menjauhkan mangkuk sereal dariku, lalu badannya merapat padaku. Di telingaku, dia berbisik dengan suara yang tetap bisa didengar Hiu. "Kalau Hiu godain kamu terus gini, ntar juga lama-lama dia nggak tahan sendiri."

Sambil bersihin saus di piringnya dengan selembar bacon, Hiu membuat-buat suara kentut dengan bibir tebalnya, kemudian menghabisi potongan terakhir menu sarapan yang harusnya buat tiga orang. "Kalau ada apa-apa, telepon," pungkasnya usai mengunyah. Jari telunjuk tangan kirinya menunjuk mukaku. "Kalau mamimu nelepon, jangan bilang kamu jalan-jalan tanpa aku, ngerti?"

Aku mengangguk.

"Kalau udah ada baju yang mau dibeli, foto dulu, lalu kirim ke aku. Kamu cuma beli baju yang kubilang boleh kamu beli, kalau enggak ... aku yakin Vrancessa bakal pilihin baju yang cuma bagus buat dia doang."

"Oh come on ... kamu suaminya, apa bapaknya, sih, bawel banget gitu?" protes Vrancessa bete.

Sebelum beranjak dari meja dan ninggalin kami berdua, Hiu bilang, "Kalau belanja bajunya sama kamu, aku bapaknya. Puas?"

Marrying Mr. SharkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang