Prolog

3.8K 576 69
                                    


"Sejak kecil, Mama selalu memotivasi aku supaya jadi orang sukses!"

Gadis cilik itu berhenti sejenak dan menatap ke sekelilingnya.

"Tapi sama seperti emak-emak pada umumnya, Mama aku tuh nggak pernah ngejelasin secara detil. Cuma sukses secara umum aja gitu: jadi juara sekolah, mencapai cita-cita, kaya raya tanpa pesugihan, menikah dengan pria idaman asal bukan suami orang, menjalin rumah tangga yang samawa, sukses memberikan ASI eksklusif buat anakku.... Padahal aku kan baru dua belas tahun!"

Orang-orang tertawa. Aku heran melihatnya.

"Tapi belakangan harapan Mama akan kesuksesan aku jadi lebih spesifik gitu," kata si gadis cilik. "Ini gara-gara Mama menjabat Ketua LEKONG: Lembaga Emak-emak Kompleks Cucok Nan Ghibah di RT aku."

Tawa geli bergema di antara para penonton.

"Setiap kali arisan, pasti para emak-emak selalu membanggakan anak-anaknya. Tahu kan gimana kalau emak-emak ngeghibah anak masing-masing? 'Anak aku Jeung, baru lima tahun, tapi udah juara lomba makan cimol!' kata Ibu Amel. Si Ibu Budi nggak mau kalah: 'Duh, cimol aja bangga! Anak aku lima tahun udah juara lomba makan rawit!' Si Ibu Cici panas dong; 'Huh, kalah anak ibu-ibu semua! Anakku si Bowo, pas lima tahun, udah juara makan bambu runcing! Sekarang dia malah ngemilnya piring beling, batako....' Rupanya cita-cita anak Ibu Cici jadi debus, bapak ibu."

Kamera menyorot seorang pria yang tertawa sampai terbungkuk-bungkuk.

"Akibatnya, Mama mau aku sukses mengalahkan anak-anak lain di kompleks. Lah kalau anaknya Bu Cici makan batako, aku harus makan apa? Beras plastik?"

Suara tawa meledak di studio televisi itu.

"Sampai suatu hari, Mama pernah bilang begini: 'Kiki, anak si ibu Amel juara lomba prakarya tuh. Padahal cuma bikin rumah-rumahan dari kardus gitu. Kamu jangan kalah, ya! Besok kamu bikin duplikat Candi Prambanan pakai tusuk gigi! Ini, Mama udah kumpulin tusuk gigi bekas Papa. Jigongnya masih nempel, jadi nggak usah beli lem lagi. Biar hemat...' Memangnya Mama pikir aku siapa? Roro Jonggrang?"

Orang-orang yang menontonnya terpingkal-pingkal dan bertepuk tangan. Gadis cilik itu senyam-senyum dan mengucapkan terima kasih.

Dia... lucu?

Beberapa orang yang mengantre bersamaku juga ikut tertawa. 

Dilihat dari reaksi semua orang, aku rasa gadis itu pastilah lucu. Sangat lucu. Kutarik bibirku, mencoba ikut tertawa seperti orang-orang lain ini. Begitu aku melakukannya, sosok gelap dalam kepalaku langsung mengambil alih. Bagaikan lubang hitam, sosok jahat itu langsung menyedot segenap rasa jenaka yang muncul, tak menyisakan secuil pun.

Tubuh yang membujur kaku. Darah yang menggenang di lantai. Teriakan panik orang-orang. Seruan menuduh yang kejam, 'Kamu membunuhnya!'

Kematian.

Bak asap gelap yang menyesakkan, sosok itu segera membungkus pikiranku rapat-rapat. Pandanganku mengabur jadi bayang-bayang pekat, semua indraku lumpuh tak berdaya. Dunia melebur menjadi bercak-bercak kelabu, luruh luntur oleh kegelapan. Obyek-obyek dan manusia terpelintir menjadi bentuk-bentuk abstrak.

Napasku mulai sesak.

Tidak, tidak bisa. Aku tidak bisa tertawa.

"Bapak, ibu sekalian..." si pembawa acara naik ke atas panggung dan menunjuk gadis itu. "Kiki Komika! Komedian muda tersukses se-Indonesia!"

Orang-orang bertepuk tangan dan bersuit-suit.

"Kiki, lima tahun lalu, kakak kamu Kaka juga dapat gelar yang sama," kata si pembawa acara. "Bagaimana perasaan kamu setelah bisa menyabet gelar yang sama hari ini?"

"Yah, saya bangga sih om, bisa dapat penghargaan dari MURI. Tapi..." Kiki mengangkat bahu, berlagak pasrah. "Ada sedihnya juga."

"Lho?" si pembawa acara tercengang. "Kok sedih?"

"Aku jadi yang kedua," sahut Kiki. "Padahal aku kan mau jadi yang pertama. Kalau kedua kesannya kayak pelakor gitu, om. Agak kurang sukses gitu, menurut istilah Mama. Padahal aku udah berhasil bikin duplikat Candi Prambanan itu lho, om! Agak geli-geli jijik menggugah hati, mengguncang raga, membakar sukma sih hasilnya. Om mau lihat?"

Orang-orang tertawa, termasuk si pembawa acara.

"Kiki, dengar-dengar bulan Agustus nanti, kamu sama keluarga kamu bakal bikin acara komedi di televisi, ya?"

Kiki mengangguk. "Saya, Mama, Papa, sama Kaka bakal tampil di Ketawa Ketiwi, acara lawak terbaru bikinan keluarga Komika. Jangan lupa nonton, ya!"

Orang-orang yang menonton di sekitar panggung tertawa lagi.

"Silakan, antrean berikutnya!"

Aku tersentak. Warna-warna bermekaran, obyek-obyek kabur mewujud, suara dan sosok-sosok manusia menjadi jelas. Sekonyong-konyong, semuanya kembali normal.

Aku sedang mengantre di minimarket. Antrean di depanku sudah kosong.

Kuletakkan botol obat nyamuk cair itu di atas meja kasir.

Wanita muda yang menjadi kasir hari ini tersenyum padaku. Label nama di dadanya bertuliskan 'Santi'. "Mau isi pulsa sekalian, mas?"

Aku menggeleng.

"Ini aja? Totalnya dua puluh delapan ribu rupiah."

Aku merogoh saku celana jinsku dan mengeluarkan dompet.

"Di rumah banyak nyamuk ya, mas? Makanya mas sampai beli obat nyamuk dua kali seminggu."

Aku mendongak. Apa katanya? "Umm... iya."

"Tapi obat nyamuk merk Dragon ini memang bagus, kok." Santi menerima dua lembar uang kertas dua puluh ribu yang kuserahkan padanya. "Naga aja mati, apalagi cuma nyamuk."

Naga? Aku melirik kemasan obat nyamuk itu. Dragon. Naga. Obat nyamuk untuk naga? Apa itu sebuah lelucon? 

Tidak. Tidak lucu. Jayus.

"Kembaliannya dua belas ribu rupiah." Sambil tersenyum, Santi menyerahkan bon belanja dan uang kembalian. "Terima kasih sudah berbelanja di DodoMart!"

Teori Tawa & Cara-cara Melucu Lainnya [TERBIT]Where stories live. Discover now