"Om Kuncoro? Datang awal, Om? Seperti biasanya...." Tristan mengulurkan lengan, menjabat tangannya dengan senyum miring di wajah.

"Ya.... Dedikasi dan disiplin wajib dimiliki pemimpin sejati, Tris."

"Betul sekali.... Karakter yang wajib dimiliki para karyawan" Renov menyahut, dan si sulung tertawa kecil bersama saudaranya yang lain.

"Trimakasih, Om sudah menyiapkan penyambutan yang sangat meriah untuk kami," Rania tersenyum manis, tapi ejekannya berkilat jelas di matanya yang cantik.

"Tidak ada yang lebih hebat menyiapkan hidangan rapat dari pada Om Kuncoro, Bang. Kau tahu itu? Apa makanannya, Om? Aku lapar... " Dokter itu mengamit lengan abang sulungnya dan mengerjap, melihat wajah Kuncoro berubah merah padam dengan sindiran Rania.

"Jangan dipedulikan, Om.... " Valda bersungut, mengamit lengan lelaki tua sepupu mamanya itu dan menggandengnya berjalan di belakang Tristan dan Rania. "Mereka cuma sirik!!"

Rombongan kecil itu memasuki ruang rapat dan mengambil tempat duduk di deret depan, dengan kursi-kursi mewah berlengan. Peserta rapat lain menyusul di belakang mereka sambil tak henti-hentinya berbisik dan bertanya-tanya.

Pandangan mata si Sulung beredar ke kelompok orang-orang penting yang berpengaruh di seberang ruangan. Mereka telah lebih dulu menempati sofa-sofa mewah dan saling berbincang di antara teman dan kolega dengan lembaran-lembaran berkas di tangan, gadget dan asisten yang melayani di kiri kanannya. Tristan menyunggingkan senyum saat sepasang mata jernih dari seorang pria berjenggot kelabu bersitatap dengannya.

"Om Sharman.... " Tristan berbicara melalui ponselnya, dan pria di seberang juga mendengarkan dengan ponselnya sendiri.

"Saya belum berkesempatan mengucapkan selamat datang. "

"Jangan gegabah, Nak. Kita ikuti saja rencana semula. Kalau kita sudah selesai dengan semua ini, kau bisa beramah tamah atau berkelahi denganku sekalipun. Aku akan layani. "

Tristan terkekeh, dan mengakhiri panggilannya.

Dua hari sebelumnya pria yang sama mengejutkannya dengan panggilan telepon di siang hari bolong.

Kening Tristan berkerut dalam melihat sebuah nama yang lama sekali tidak muncul di layar ponselnya. Om Sharman? Ia sudah hampir lupa kalau masih memiliki kerabat dekat dari pihak ibunya. Jika bukan karena telepon ini....

Ada apa om Sharman menelponnya di saat seperti ini?

"Kau tidak mengabariku saat ayahmu meninggal? Apa yang kau pikirkan, Tristan?!"

"Dari mana Om tahu?" Ia terkejut mendengar pertanyaan orang itu justru terkait dengan Jacob Barma.

"Bukan sumber yang kuharapkan, tapi aku bisa menjamin informasinya akurat. Kau baik-baik saja? Bagaimana dengan Tirai Emas? Aku belum mendengar sesuatu yang mengejutkan di sini, berarti belum ada gejolak yang berarti..."

"Tidak... " bagaimana ia harus menjelaskan? Ia bahkan tidak tahu harus menjelaskan apa.

"Kau mau aku pulang? Yang lain juga pasti siap mendukungmu mempertahankan posisi di Tirai Emas, asal kau meminta."

"Saya tidak yakin Om perlu kembali dari London."

"Ada yang tidak kau beritahukan padaku, Tristan?  Rencana dengan Tirai Emas?"

"Sebenarnya.... ada rapat pemegang saham akhir pekan ini."

Pamannya diam sejenak,  seperti memperkirakan apa yang akan terjadi, "Aku akan menyelesaikan beberapa hal di sini agar bisa menemanimu di sana lebih lama. Aku akan kembali ke Indonesia besok lusa."

 GREY LOVEWhere stories live. Discover now