13 - ARAKIN - Lelaki Abadi

29 6 6
                                    


Hal pertama yang aku dengar, setelah menyadari diriku belum mati, ialah suara Tabib Ro dan ketukan langkah kaki kuda.

"Anda tidak perlu khawatir, Bu. Sebentar lagi kita sampai di Ham Ranu. Kami akan menurunkan kalian berdua di sana, ya? Suami Anda pasti baik-baik saja, percayalah. Roman sudah datang--apalagi ini level Secneidar. Monster-monster itu tidak akan berkeliaran jauh. Shh.. Shh.. siapa tadi si kecil ini namanya?"

"Nava... hiks...hiks."

Aku baru sadar Tabib Ro berbicara dengan orang lain. Ada seorang wanita yang terisak dan ocehan bayi yang suaranya selembut kapas.

Mataku sudah terbuka, tapi hanya bisa melihat gelap dan bayangan samar-samar. Tabib Ro sedang menimang bayi mungil, tepat di sebelah kakiku yang terbujur kaku. Sementara di samping kepalaku, terlihat punggung wanita seumuran Ibu, menunduk dengan tangan yang berulang kali menyeka mata.

"Nava... Nava... kamu anak kuat, shh... shh..." Lengan Tabib Ro terayun ke kanan kiri. "Suami Anda tadi pandai besi, ya? Semoga keluarga Anda mendapat banyak rezeki dari Raoh, nanti. Mulai besok, peserta perburuan dari seluruh penjuru Avoraciea akan berbondong-bondong ke Eiriu. Mereka pasti akan mencari senjata."

"Terima kasih Pak. Semoga Raoh merestui. Hiks..."

"Sama-sama, Bu. Anda tenang saja, bersama kesulitan, pasti ada kemudahan." Entah kenapa kata-kata Tabib Ro membuatku ikut tenang.

Ruangan sempit ini bergoyang-goyang. Baunya apak seperti gua lembap berjamur. Pening di kepalaku rasanya semakin menusuk setiap kali lantai bergoyang.

"Arh!" aku mengerang pelan ketika kereta meloncat hingga sedikit terbang. Mungkin rodanya melintasi batu besar atau apa. Gara-gara itu, kepalaku terantuk satu kali pada tong kayu di sebelahku.

"Oh, Nak! Kamu sudah bangun? Ini Bu, Nava, sebentar..." Bayi mungil itu diam saja ketika berpindah tangan dari Tabib Ro ke Ibunya.

Bayangan Tabib Ro merangkak di atasku. "Apa kau merasa baikkan, Nak?"

Aku tidak punya kekuatan untuk menjawab. Rasanya aku memberikan respon gelengan yang pelan, tapi aku tidak yakin kalau kepalaku benar-benar sudah bergerak. Kesadaranku masih di ambang pintu.

Jari-jari lembut mengangkat kepalaku sebentar, lalu ketika diturunkan, ada bantalan yang lebih empuk di bawah kepalaku.

"Maaf kalau tempat tidur terpal ini membuatmu tidak nyaman, Nak. Sebentar, aku ada sesuatu untuk membantumu lebih segar."

Ia kemudian berdiri dengan punggung membungkuk. Sebuah peti di sekitar kakiku dibuka, dan terdengar barang berkelontang.

Tabib Ro kembali dan mengangkat tengkukku. "Ayo diminum."

Tahu-tahu suatu cairan sudah membasahi mulutku. Kental, dan rasanya benar-benar menjijikkan. Seperti jus daging ikan segar--asin dan amis. Aku memaksakan diri untuk meneguknya, daripada lidahku berlama-lama dengan rasa yang memuakkan itu.

Menjadi lebih segar apanya? Masih untung ramuan ini tidak berbau. Kalau iya, mungkin aku sudah muntah.

"Ayo, diminum semuanya." Tabib Ro terus menekan botol kaca yang dingin itu ke bibirku. Dia belum berhenti hingga tetes terakhir.

Aku terbatuk. "Sebentar, aku ambilkan air." kata Tabib Ro.

"Laaaaari! Laaaaaaari! Laaaaaaaari!" Teriakan keras menusuk telinga tiba-tiba mengisi keheningan kereta.

"Hush!" Tabib Ro menepuk sebuah sangkar burung. Terdengar suara kepakan sayap, dan--yang paling aneh--burung itu berkicau lagi, "Laaaaaari!"

"Lho, Pak! Kalau dipukul begitu nanti jalari-nya stres." Seorang laki-laki langsung berseru dari depan kereta. Tubuhnya tidak terlihat dari balik kain penutup, hanya terlihat siluetnya sedang duduk di kursi kusir.

Perburuan RomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang