2 - ARAKIN - Tiang Gantungan

107 19 22
                                    


"Bangun." Suara dengan nada dingin terdengar dari kejauhan, seperti suara angin.

Aku masih mengantuk dan mengira suara itu bagian dari mimpi.

"Bangun!"

Aku baru sadar seseorang meneriakiku ketika sol sepatu kulit menendang pantatku, sampai aku terjerembap ke samping.

Pria itu berdiri tepat di depanku, dengan teriakan yang menarik paksa kesadaranku dari alam mimpi. Aku langsung ingat di mana aku dan apa yang menungguku hari ini.

Jantungku langsung berdebar kencang. Hari ini hukumannya. Kesadaran itu mengirim rasa tidak nyaman di perutku, seperti dihimpit dinding.

"Ikut aku!" seru pria yang menendangku tadi.

Prajurit ini berbeda dengan orang yang kemarin malam. Dia lebih gagah, dengan wajah datar tanpa senyum dan suara yang dingin. Ada dua prajurit lain berjaga di pintu sel, berdiri dengan tegap, pandangan mata menuju lurus ke depan.

Aku tidak menunggu prajurit yang tampaknya lebih senior itu meneriakiku dua kali. Aku segera bangkit dengan membalikkan tubuhku dalam posisi berlutut, baru kemudian berdiri. Tanganku yang masih diikat terasa gatal di talinya dan sendi pundak begitu kaku.

Ada bau kotoran dari sisa jerami yang menempel di pakaianku. Terutama ketika aku tersungkur tadi, kurasa sempat mengenai tumpukan kotoran di sudut lantai itu.

Kedua prajurit yang berjaga di depan jeruji besi mengernyitkan hidungnya ketika aku menghampiri mereka. Tapi mereka tidak berkata apa-apa, wajahnya sama seriusnya seperti atasan mereka.

Aku digiring keluar dari penjara bawah tanah ini, melewati lorong dengan sel tahanan yang kosong. Tidak ada tahanan lain selain aku. Penjara ini hanya digunakan sebagai tempat singgah para narapidana yang dihukum mati. Kalau tidak sedang dalam kondisi perang, di mana bisa mengurung para tahanan perang, maka penjara ini kosong.

Tidak ada cahaya matahari yang menerpa pipiku ketika keluar dari penjara. Langit mendung di pagi hari ini, dengan udara dingin semalam masih tinggal bersama angin yang berhembus kencang bertiup ke arahku.

Di depan penjara, ada sebuah lapangan luas, dikelilingi oleh punggung bangunan-bangunan rapat berlantai dua. Penjara ini tidak jauh dari alun-alun dan pasar tempat aku tertangkap mencuri kemarin. Melihat dari jendela yang berjejer rapi, sepertinya bangunan itu adalah bagian belakang penginapan.

Ada beberapa orang yang mengintip dari jendela-jendela itu, dengan terang-terangan memasang wajah penasaran. Tapi lebih banyak lagi yang hadir secara langsung memenuhi lapangan. Bisik-bisik yang diucapkan oleh ratusan orang di lapangan ini terdengar keras, tetapi aku tidak bisa mengenali apa yang sedang mereka bicarakan.

Ketika pandanganku menyapu lapangan, jantungku langsung berdegup kencang melihat sebuah tali tampar besar menggantung di sebuah tiang, dengan ujung lingkaran bergoyang-goyang ditiup angin. Bergoyang ke arahku, memanggilku.

Aku menelan ludah. Sekarang pandanganku sepenuhnya berfokus pada tiang itu, yang berdiri menjulang di atas sebuah menara kayu. Ada dua prajurit yang berdiri di menara itu: satu berdiri di sebelah kanan tiang, dan satunya lagi di sebelah kiri, memegang sebuah tuas.

Prajurit yang gagah dengan suara dingin tadi membawaku mendekat ke menara kayu itu. Semakin dekat, aku melihat pula orang-orang yang menonton lebih jelas. Ada yang mendongak-dongakkan wajah dengan penasaran. Ada yang sibuk tertawa, bercanda dengan teman di sebelahnya. Namun, tidak ada yang sedih.

Dadaku seperti diremas. Apa memang kematianku membawa kebahagiaan untuk mereka? Padahal aku tidak melakukan dosa besar! Aku hanya mencuri beberapa keping uang!

Aku menggigit bibirku yang pecah-pecah. Tidak ada air mata yang keluar dari mataku, tetapi rasanya aku ingin menjerit dan menangis meminta keadilan.

Setidaknya tolong, siapa pun, kabari Ibuku. Katakan tidak perlu menunggu anaknya pulang atau mencarinya ke mana-mana. Karena setelah ini dia tidak akan ada lagi di dunia.

Tapi suaraku tertahan, mulutku bungkam. Aku hanya bisa mengikuti prajurit itu mendorongku naik ke tangga menara kayu dengan langkah kakiku yang setengah pincang.

Orang-orang yang menonton sekarang bersorak ketika aku sampai di atas menara, berdiri di hadapan tiang gantungan.

Aku berdiri di atas kotak papan eksekusi. Kalau prajurit menarik tangkai tuas, papan ini akan jatuh dan aku kehilangan pijakan. Tubuhku akan tergantung di atas tali, berputar-putar di udara setelah kehilangan nyawa.

Dengan cara seperti itulah mereka mengharapkanku mati. Tapi tidak. Aku tidak mau.

Aku tidak ingin Ibuku sedih, anaknya mati tanpa kabar. Menunggu anak satu-satunya, sendirian di rumah yang kecil dan kumuh. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku harus kabur dari sini.

Tanganku mengepal di depan badanku. Aku tidak akan mati hari ini. Aku mendongak ke atas, melihat tiang gantungan dan tali yang terikat dengan simpul kuat di batangnya.

Kurasa aku bisa melakukannya.

Tanpa sadar, aku tersenyum.

"Apa yang kau lihat?" sebuah suara terdengar jelas dan keras, meredam suara sorak-sorak penonton.

Aku menunduk, mencari sumber suara itu di bawahmenara. Seorang pemuda dengan pakaian bangsawan, dikawal oleh beberapa prajuritdi belakangnya, menatap tajam ke arahku. Menatapku dengan mata hijaunya yangberkilat seperti manik mata burung hantu. 


Next chapter : Kamis, 26 Agustus 2020*

*Kalau hari selasa jumlah total votenya mencapai lebih dari 22 orang, maka akan aku upload next chapternya di hari Rabu, 25 Agustus 2020 ^_^ (spesial buat kalian yg memang udh gak sabar ingin tahu lanjutannya).


Perburuan RomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang