Secret Confession

36 3 3
                                    

Velin kembali menanyakan soal janji yang disebut Alvin tadi saat keduanya sedang melepas apron di penghujung shift mereka hari ini. Hanya ada mereka berdua di ruangan, membuat Velin tanpa ragu-ragu mendekati Alvin yang kini sedang melapisi kemeja putihnya dengan hoodie biru.

"Vin, emang kita ada janji apa?"

Alvin mendongak sejenak. Lalu dengan tampang kecewa yang dibuat-buat, dia duduk di bangku sembari menyilangkan kedua lengan di depan dada.

"Lagu demo yang lagi aku buat. Kamu janji mau dengerin itu dan ngasih pendapat. Masa kamu lupa?"

Velin mencoba mengingat-ingat kapan dia pernah mengucapkan janji itu. Akhir-akhir ini cukup banyak hal yang menjadi beban pikirannya, hingga dia kerap melupakan hal yang tidak masuk dalam skala prioritasnya, termasuk janjinya kepada Alvin. Karena demi apapun juga, Velin sama sekali tidak ingat tentang hal itu.

"Pas kita makan di warung nasi goreng. Ingat?" tagih Alvin lagi, yang kini kembali berdiri dan menghadap Velin yang hanya setinggi pundaknya.

Velin tidak tega mengatakan yang sejujurnya. Apalagi Alvin tampak sangat mengharapkannya. Jadi Velin memutuskan untuk sedikit berbohong agar Alvin tak lagi kecewa.

"Oh.... iya, aku ingat. Yang itu, ya? Oke. Kapan?"

Dan benar saja. Alvin langsung tampak semringah.

"Sekarang aja gimana? Kamu nggak sibuk, kan?"

Dengan sekali anggukan Velin mengiyakan ajakan Alvin.

***

Hujan gerimis sudah reda saat keduanya melangkah keluar kafe. Velin sempat khawatir kalau mereka tidak akan bisa pulang saat gerimis mulai turun tadi. Tidak membawa payung adalah penyebabnya. Tapi rupanya hujan gerimis hanya berlangsung tidak lebih dari lima belas menit. Meski tidak terlalu deras, guyurannya cukup untuk membuat jalanan basah.

"Kamu suka aroma sehabis hujan, nggak?" tanya Alvin membuka pembicaraan.

Pada pertanyaan Alvin itu, Velin secara spontan menghirup aroma segar di sekelilingnya. Bukan tipikal aroma yang disukainya, kalau boleh jujur.

"Biasa aja. Aku lebih suka aroma uang yang baru keluar dari mesin ATM."

Alvin tergelak. "Ternyata kamu mata duitan juga."

"Nggak ada orang yang nggak suka aroma uang, kan?" timpal Velin santai tanpa sekalipun memalingkan wajahnya ke arah Alvin yang sedang menatapnya dengan takjub.

"I-iya sih. Tapi aku nggak nyangka kamu akan jawab gitu."

"Memangnya kenapa?"

"Biasanya cewek kan suka aroma setelah hujan," jawab Alvin polos.

Kini justru ganti Velin yang tergelak. "Itu berarti aku bukan cewek biasa, ya?"

"Iya, karena kamu unik."

Alvin tetap berjalan santai, tak menyadari rekan seperjalanannya kini terpaku di tempat. Namun itu tak berlangsung lama, karena dia akhirnya kembali ke tempat Velin masih berdiri mematung dan menggandeng tangan gadis itu.

"Ayo jalan, kenapa malah diam aja? Nanti keburu hujan lagi."

***

Ini adalah pertama kalinya Velin memasuki kediaman seorang laki-laki. Dia tak menyangka akan memasuki rumah mewah berpagar tinggi yang dilihatnya dari ujung jalan beberapa hari yang lalu. Untuk kategori kediaman yang dihuni seorang diri oleh laki-laki, rumah Alvin tergolong rapi dan bersih. Hanya ada dua kemungkinan: laki-laki itu rajin membersihkannya, atau hanya menggunakan ruang dan perabot yang diperlukan saja agar tidak perlu repot-repot membersihkan keseluruhan isi rumah.

Brand New DayWhere stories live. Discover now