You've Worked Hard

15 2 0
                                    

Christa membeku saat itu juga. Pertanyaan Ethan begitu tiba-tiba hingga dia kehilangan kata-kata untuk memberi tanggapan. Mendapat pertanyaan semacam itu dari seorang Ethan tentu tak pernah ada di dalam bayangannya. Apalagi kehadiran laki-laki itu di hidupnya lebih sering membuatnya darah tinggi dibanding berbunga-bunga. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ada sudut yang berdebar.

Sementara itu Ethan masih memandang Christa dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski masih sulit mencerna pertanyaan laki-laki itu, Christa meyakinkan diri bahwa Ethan sedang bercanda.

"Nggak lucu tahu, nggak?" ucap Christa akhirnya, lalu berdiri karena dia mulai tidak nyaman ditatap Ethan seperti itu.

Ethan segera meraih tangan Christa, menahan perempuan itu pergi. Setelah keduanya berdiri berhadapan, barulah Ethan mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya.

"Aku nggak bercanda. Aku udah suka kamu sejak kita pertama bertemu. Mau ya jadi pacarku?"

Mau tak mau Christa membalas tatapan Ethan. Debaran di sudut terjauh jantungnya menjadi semakin kencang. Kalau diperhatikan baik-baik, Ethan lumayan tampan juga sih. Christa hanya masih belum bisa menghilangkan kesan menyebalkan di diri laki-laki itu sejak mereka pertama bertemu. Dia hampir tak menyadari sisi lain seorang Ethan yang menarik akibat kesan pertama itu.

Namun, Christa masih trauma sejak Haikal meninggalkannya demi wanita lain. Bagaimana jika Ethan nanti juga akan meninggalkannya?

"Maaf, tapi... aku nggak bisa jawab sekarang, Ethan. Bisa kasih aku waktu buat mikir?"

Ethan tersenyum getir. Meski laki-laki itu berusaha menutupinya, Christa langsung tahu bahwa Ethan kecewa. Entah mengapa dia justru merasa bersalah.

"Oke. Take your time, Christa."

***

Raut wajah anak-anak murid di hadapannya menunjukkan ekspresi yang hampir sama. Ekspresi tak rela ditinggalkan oleh guru kesayangan mereka. Beberapa bahkan ada yang telah menangis terisak sejak Velin mulai mengucapkan salam perpisahannya. Velin berusaha bersikap tegar di hadapan anak didiknya itu. Begitu pula saat mereka semua memeluknya setelah Velin berpamitan untuk terakhir kalinya. Tidak ada yang boleh melihatnya menangis. Tidak juga rekan-rekan kerjanya yang juga ikutan menangis saat dia berpamitan di ruang guru.

Rasanya baru kemarin Velin mendaftarkan diri sebagai guru kontrak di TK ini, tak terasa dua tahun telah berlalu. Dia begitu menikmati profesi mengajarnya ini, hingga rutinitas bertemu dengan anak didiknya terasa seperti waktu penyembuhan dari penatnya tugas dan kegiatan di kampus. Rekan-rekan kerjanya yang kebanyakan lebih tua darinya, juga menjadi tempat curhat terbaik yang kerap memberinya wejangan terkait kehidupan. Velin memang pengajar di sekolah ini, namun dia juga belajar banyak dari orang-orang yang ditemuinya di sini.

Meski Velin sendiri tak ingin berpisah dengan orang-orang kesayangannya di TK Budi Pertiwi ini, dia tetap harus pergi karena masa kontraknya telah selesai. Memperpanjang kontrak pun tak mungkin dilakukannya, karena dia harus segera pulang kampung untuk merawat ayahnya yang sakit.

Ketegaran hati Velin mulai runtuh saat dia berjalan keluar menuju halaman TK. Alvin ternyata telah menunggunya sambil bersandar di mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Velin lalu menghampiri laki-laki itu dengan langkah gontai.

Alvin mengenakan kemeja hitam, dipadukan dengan celana jeans warna senada. Hanya sepatunya yang berwarna putih. Senyuman Alvin terkembang lebar. Berbanding terbalik dengan raut wajah Velin yang kusut bagaikan baju yang belum diseterika. Menyadari ekspresi Velin yang gelap seperti warna baju yang dikenakannya, Alvin segera meraih kedua pundak gadis itu.

"Kamu nggak apa-apa, Vel?" tanya Alvin khawatir. Kedua matanya memperhatikan dengan saksama wajah Velin. Jantung Alvin seketika mencelos saat mendapati gadis itu sedang menahan tangis. Velin menggeleng lemah sebagai balasan. Diperhatikan Alvin seperti itu, membuat matanya terasa makin panas. Sekali sentilan saja, bendungan di matanya pasti merembes keluar membasahi pipinya.

"Ya udah masuk aja, yuk. Panas," ajak Alvin sambil membukakan pintu penumpang untuk Velin.

Alvin tak langsung menyalankan mesin mobil. Dia memberi waktu bagi Velin untuk menumpahkan perasaannya. Dia yakin betul, gadis di sebelahnya ini sudah di ambang batas kekuatannya. Dia juga tidak bisa mengabaikan keadaan kedua mata Velin yang sudah berkaca-kaca sejak keluar dari halaman TK. Alvin teringat kejadian beberapa hari lalu, saat dia melihat Velin menangis di balik lemari, namun dia hanya berdiri mematung di ambang pintu. Sama seperti hari itu, kali ini Alvin kembali memilih untuk membiarkan Velin dengan kesedihannya.

Karena dirasanya kesedihan Velin tak kunjung reda, tangan Alvin lantas meraih jok belakang mobil. Karena terlalu tenggelam dalam kegalauannya sendiri, Velin terkesiap saat tiba-tiba saja Alvin menyodorkan sebuket bunga dan setoples permen warna-warni di hadapannya. Seketika dia menoleh menatap Alvin. Laki-laki itu tak hanya menyodorkan bunga dan permen, tapi juga senyuman lebarnya hingga kedua lesung pipinya tercetak begitu dalam. Pandangan Velin kembali lagi ke buket bunga, yang kini sudah ada di genggamannya. Perhatiannya seketika terpusat pada kartu ucapan yang disematkan di sana. Refleks dia membuka kartu itu, yang berisi sebuah kalimat singkat yang ditulis Alvin sendiri. Kalimat itu berbunyi "You've worked hard". Saat itulah pertahanan Velin runtuh.

 Saat itulah pertahanan Velin runtuh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Senyum Alvin berangsur sirna. Dia segera menepuk-nepuk pelan pundak Velin dengan tangan kiri, sementara tangan satunya mengelus tangan gadis itu yang masih memegang buket bunga. Tangisan Velin semakin menjadi-jadi. Apakah perpisahan selalu menyedihkan seperti ini?

"You've worked hard, Miss Velin," ucap Alvin.

illustration by yolineoo

Brand New DayWhere stories live. Discover now