Official Couple

6 2 0
                                    

"Aku kira kamu mau ngajak aku kencan."

Ethan hampir mengira dia salah dengar. Tapi tidak. Kalimat itu benar-benar terucap langsung dari mulut Christa. Walau senang perempuan itu tak lagi cuek di hadapannya, tapi perubahan sikap Christa ini masih terasa baru bagi Ethan. Apalagi terkadang Christa tak segan menyuarakan isi hatinya, seperti yang baru saja terjadi.

"Tumben."

"Tumben gimana?"

"Biasanya juga ngusir-ngusir aku."

Christa merona, dan itu justru membuat Ethan terpesona. Wanita itu lalu lanjut melihat-lihat koleksi scarf yang dipajang di sisi utara ruang kerja Ethan, tanpa menanggapi perkataan laki-laki itu.

"Ini semua kamu yang buat?"

"Iya dong. Gimana? Ada yang kamu suka?"

Christa mengambil satu yang berwarna abu-abu dengan motif batik modern. Dia selalu suka apapun yang bermotif batik. Indah dan otentik. Terpikir olehnya untuk mengubah desain interior kafenya menjadi serba batik.

"Ini cantik banget. Berapa harganya?"

Ethan mengulum senyum. Dia sudah menduga Christa akan memilih scarf yang juga menjadi favoritnya itu.

"Dua ratus lima puluh."

Christa memandang langit-langit ruang kerja Ethan seolah sedang berpikir. "Aku kan udah ngasih nomerku ke kamu. Jadi, diskonnya masih berlaku, kan?" gurau Christa.

Ethan pura-pura berpikir. Setelah dirasa cukup, dia memegang kedua bahu Christa lalu memutar tubuh perempuan itu hingga mereka berdiri berhadapan. Adrenalin di dalam diri Christa seketika meroket ketika tangan Ethan membelai lembut pipinya. Laki-laki itu bahkan memainkan rambutnya yang lupa dia cuci---seketika menghadirkan perasaan malu yang coba disamarkannya. Gerakan tangan Ethan lalu perlahan turun ke leher bagian belakang, memposisikannya sedemikian rupa hingga terasa nyaman dan... familiar. Jantung Christa berdebar kencang. Dia sangat tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dan benar saja. Ethan memajukan kepalanya, lalu mengecup bibirnya. Tangan Ethan yang bebas kini meraih dagunya, membuat kepalanya terkunci selagi laki-laki itu mengulum bibir atasnya. Christa segera meraih lengan Ethan karena tubuhnya limbung. Dan ketika sentuhan itu berakhir, Ethan tak segera menarik kepalanya. Christa yang kehabisan napas, makin sulit menghirup oksigen dengan tenang karena senyuman tipis di bibir Ethan membuatnya menggila.

Ethan memainkan rambutnya lagi, merapikan beberapa helai yang terlepas dari ikat rambut ke belakang telinga.

"Kamu nggak perlu membayar scarf itu tadi," ujar Ethan, laki-laki itu akhirnya menarik dirinya menjauh. Namun, masih tak melepaskan tatapannya dari Christa. Kedua tangannya menggenggam tangan Christa lembut.

"Kenapa?"

Ethan mengusap lembut tepi bibir wanita di hadapannya itu dengan ibu jari. "Aku memang sudah berencana ngasih scarf itu ke kamu sebagai hadiah. Dan juga," Ethan kembali mengecup bibir merah Christa, "Ini udah cukup dijadikan bayaran."

Christa menepuk lengan Ethan hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Bisa aja kamu."

"Apa ini berarti kamu nerima aku jadi pacarmu?"

Tatapan Ethan itu meluluhkan Christa. "Bukankah jawabannya udah jelas?"

"Jawab aja, ya atau nggak?" tuntut Ethan.

"Iya, aku mau jadi pacarmu."

***

"Kau beneran nggak ikut, Vel?" tanya Hana setelah mengunci laci kasir.

"Iya, Kak. Aku harus segera ke bank sebelum tutup."

Tak seperti rekan-rekan kerjanya yang lain yang langsung membelanjakan gaji mereka dengan makan malam bersama, Velin memilih mengirimkan sebagian penghasilannya untuk orang tuanya. Dan kali ini, dia tetap melaksanakan rutinitas itu walau sudah dipaksa untuk ikut.

"Ya sudah. Tapi lain kali kau harus ikut, ya!"

Velin titip pesan melalui Hana untuk karyawan lain yang sedang berganti pakaian di ruang belakang. Dia juga ingin berpamitan kepada Alvin, tapi laki-laki itu tak menampakkan batang hidungnya sejak tadi. Akhirnya karena dikejar waktu, Velin terpaksa pergi duluan.

Ketika Velin selesai dengan urusan di bank, rupanya Alvin telah menunggunya di depan kos. Senyumnya otomatis terkembang saat dilihatnya laki-laki itu menunggu di bangku pink di teras kos yang sering dipakainya duduk kalau sedang bosan di kamar.

"Acara makan-makannya udah selesai?" Velin mengambil tempat duduk di sebelah Alvin. Yang ditanya segera mendongak dan melemparkan senyum canggung.

"Belum sih. Aku pulang duluan karena mau ngedit demo lagu buat diupload ke Soundcloud. Oh ya, ini buat kamu."

Alvin menyodorkan beberapa plastik berisi makanan. Bahkan ada minuman boba yang disukainya.

"Nggak usah repot-repot, Vin. Aku jadi nggak enak." Meski begitu Velin tetap menerima pemberian Alvin.

"Kak Christa maksa aku bungkusin ini buat kamu."

Velin tergelak menyadari sikap sok percaya dirinya. "Oke. Besok aku ganti ya?"

"Nggak usah, Vel. Lagian tanpa disuruh Kak Christa aku emang mau beliin buat kamu."

"Kenapa?"

Alvin balik bertanya melalui tatapannya. Tapi lalu perempuan itu mengibaskan sebelah tangannya.

"Oh iya, Vel. Besok pengumuman kompetisi jingle. Doakan ya supaya aku juara satu."

"Pasti. Aku selalu mengharapkan yang terbaik buatmu."

Alvin mendekatkan tubuhnya ke Velin, "Terima kasih, Vel."

Velin mengangguk sambil mempertanyakan sikap Alvin yang agak aneh. Jarak mereka duduk hanya tinggal satu kepalan tangan saja sekarang. Hal itu membuat Velin salah tingkah. Benaknya kembali memutar adegan pelukan Alvin dari belakang. Sial, kenapa juga laki-laki itu harus tersenyum sekarang?

"Ada yang mau kamu omongin lagi, Vin?" Velin terkejut oleh suaranya yang masih stabil. Padahal jantungnya sudah berdebar tak karuan.

Laki-laki itu masih senyum-senyum sendiri. Velin semakin heran. Apakah dia sesenang itu karena ada orang yang mendoakan keberhasilannya?

Velin terkejut ketika tiba-tiba saja Alvin meraih kedua tangannnya. Tanpa sadar dia memutar tubuhnya hingga duduk menghadap Alvin, yang kini sedang menatap ke dalam kedua matanya. Kalau jantungnya bisa bicara, pasti dia sudah teriak minta tolong tak kuat berdetak lagi gara-gara tatapan seorang Alvin.

"Vel.... aku boleh minta tolong sesuatu? Aku punya perasaan spesial untukmu. Hmm.... perasaan yang menganggapmu lebih dari sekadar teman. Eh bukan, anu.... aku.... mau menganggapmu lebih dari teman. Anu...."

Velin menahan senyum sekaligus tawa. Tak lagi dihiraukannya debaran kacau di dalam dada karena pernyataan Alvin. Sepertinya laki-laki itu harus ditolong lebih dulu. Perlahan dia melepaskan tangannya dari genggaman Alvin, lalu mengambil pulpen dari tas selempangnya.

"Kalau dirasa sulit ngomongnya. Tulis aja pakai ini," ujar Velin sambil menyodorkan pulpen itu kepada Alvin.

Velin seketika menyesal karena tak memberikan kertas sekalian. Tapi di dalam tasnya pun tak ada kertas sama sekali. Namun, Alvin telah menemukan medianya sendiri. Diraihnya tangan kanan Velin, lalu dia menuliskan kata-kata yang sulit diucapkannya di sana.

Velin, aku boleh jadi pacarmu?

Velin tersenyum lebar saat membaca tulisan Alvin di tangannya. Sang pelaku tak berani menatapnya lagi. Laki-laki itu memandang ke arah tembok pagar kos dengan raut tegang.

Velin lalu meraih sebelah tangan Alvin, dan menuliskan balasannya di sana.

Iya, boleh.

Brand New DayWhere stories live. Discover now