Discovering the Fact

43 3 8
                                    

Christa mematut dirinya di depan cermin sekali lagi setelah memasukkan barang-barang yang perlu dibawanya ke dalam tas selempangnya.

"Rambut, sempurna. Make up, simple aja lah ya yang penting nggak keliatan kucel. Hmm semoga aku nggak kelihatan norak pakai baju ini. Oke. Saatnya pergi."

Begitulah Christa. Dibalik perangainya yang tegas sebagai pemilik Feline Cafe, dia tak ada bedanya dengan wanita lain yang gemar berdandan dan harus menyesuaikan apa yang dikenakannya dengan tempat yang ditujunya. Di hari keduanya di Seoul ini, Christa telah memantapkan hati untuk mengunjungi kafe kucing tak jauh dari hotel tempatnya menginap. Karena apa yang akan dilakukannya bukanlah agenda formal, jadi Christa hanya mengenakan dress hijau favoritnya. Di dalam tasnya juga hanya berisi dompet, handphone, dan buku agenda kecil untuk mencatat ide--kalau dia dapat ide.

Karena lokasi kafe dan hotel cukup dekat, Christa memutuskan untuk berjalan kaki. Udara Seoul hari ini tidak terlalu panas meski sekarang sedang musim panas.

Namun, belum jauh Christa melangkah keluar dari lobi hotel, dia telah dikejutkan oleh penampakan seseorang yang kini sedang berdiri di bawah pohon di depan hotel. Laki-laki itu tampak seperti sedang melakukan sesi pemotretan, tanpa adanya fotografer yang memotret dirinya.

Singkatnya, laki-laki sinting itu sedang bergaya.

Christa berniat tak mempedulikan laki-laki itu, namun saat dia berjalan melewatinya, laki-laki itu justru mengajaknya berbicara.

"Ternyata kamu nginep di hotel ini juga."

Christa pura-pura tak mendengar. Laki-laki itu tak menyerah, dan akhirnya ikut berjalan di sisi Christa.

"Mau ke mana?" tanya Ethan masih mencoba untuk menarik perhatian Christa. Dilepasnya kacamata hitam yang sedari tadi melindungi matanya. Ethan lalu menggantung kacamata itu di kerah bajunya. Sambil berjalan dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana kain yang juga dipakainya saat di pameran. Sangat khas laki-laki. Tidak akan mengganti baju sebelum kotor atau bau. Tapi bagi Ethan, itu hanya berlaku saat dia bepergian karena baju yang dibawanya terbatas.

"Peduli amat kamu mau tahu aku ke mana," balas Christa ketus.

"Judes amat sih, Kak. Pantes jomlo."

Christa mendadak berhenti. Amarahnya sudah naik hingga ke ubun-ubun. Kalau tidak sedang di muka umum, dia pasti sudah menghabisi Ethan tanpa ampun.

"Kalau diem berarti bener. Astaga kamu beneran jomlo?!" tanya Ethan lagi dengan nada suara sok dramatis.

"Mau kamu apa, sih?!" sembur Christa.

Ethan seketika terkesiap. Suara Christa barusan terlalu keras untuk disebut sebagai teriakan, hingga telinga Ethan terasa seperti ada dengungan pasca Christa menyemburkan emosinya.

"Aku belum tahu nama kamu...."

Christa mendesah. "Kamu tadi berdiri kayak orang gila di depan hotel, cuma mau nanyain itu? Bentar. Kok kamu tahu aku nginep di hotel itu?!"

Ethan terkekeh. Merasa punya senjata untuk memanfaatkan keadaan ini. "Kalau mau tahu ceritanya, traktir aku kopi dulu. Kebetulan di depan sana ada coffee shop."

"Nggak bisa. Aku harus kerja. Lagian aku nggak butuh dengerin cerita kamu."

Christa segera mengakhiri omongan basa-basi itu dan melanjutkan perjalanannya. Dia merasa lega karena akhirnya Ethan tak mengganggunya lagi.

Tentu saja laki-laki itu tak mengganggunya. Karena sekarang dia berjalan membuntuti Christa hingga gadis itu sampai di kafe kucing tujuannya.

Christa tak menyadari kehadiran Ethan karena selama berjalan dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Seperti memikirkan konsep apa yang ingin dia gali sesampainya di kafe nanti, membuat pengingat dalam otak untuk mencatat menu apa saja yang disajikan, dan memikirkan Haikal--lagi.

Brand New DayWhere stories live. Discover now