ISEY || CHAPTER DELAPAN

Mulai dari awal
                                    

"Yaudah, nggak usah pakai baju." Vian masih fokus menatap layar komputer di hadapannya. Agaknya laki-laki itu terlalu malas meladeni gadis yang berbincang dengannya dari balik pintu kamar mandi.

Cia mendecak sebal.

"Jangan lihat!" Cia memperingati Vian. Sedangkan Vian nampak acuh dengan ucapan gadis itu.

Cia mulai melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi. Ia ragu sekaligus malu. Bagaimana jika Vian melihatnya, tapi jika dia tidak mengambil pakaiannya dia akan kedinginan.

Cia menoleh ke arah Vian setiap tiga langkah, memastikan agar laki-laki itu tidak melihatnya. Awas saja jika Vian melihatnya, Cia akan membuat perhitungan dengan laki-laki menyebalkan itu. Setelah sampai di depan lemari, Cia langsung membukanya dan mengambil asal pakaiannya. Gadis itu sempat melirik ke arah Vian. Dia melihat jika Vian sangat fokus menatap layar di depannya. Bahkan laki-laki itu seolah tidak menganggap keberadaan Cia di kamar itu.

Cia berlari menuju kamar mandi setelah memastikan jika Vian tidak memperhatikan setiap gerak-geriknya. Tapi nasibnya tidak seberuntung itu. Dia terpeleset karena telapak kakinya yang masih basah.

Brukkk!!!

"Aww ...." Cia mengaduh kesakitan. Bokongnya terasa sangat sakit setelah mencium lantai dengan sangat bebas.

Vian yang mendengar suara itu sontak menoleh. Matanya melotot ketika mendapati Cia yang sudah terduduk di atas lantai dengan tubuh yang hanya dibaluti oleh sehelai handuk yang melilit dari dadanya.

Vian segera bangkit dan mendekat ke arah Cia. Memastikan apakah gadis itu baik-baik saja.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Vian yang ikut berjongkok di samping Cia.

Cia menolehkan kepalanya menatap Vian. Jika kalian tanya kapan hari yang paling memalukan bagi Cia. Jawabannya adalah hari ini. Wajah Cia memerah menahan malu. Niat awalnya agar Vian tidak melihatnya yang hanya berbalut handuk seketika hancur.

Cia buru-buru menundukkan kepalanya.

Vian paham betul jika gadis di hadapannya ini tengah menahan malu. Dia bisa melihat semburat rona merah yang begitu kentara di kedua pipi Cia.

"Bisa berdiri?" tanya Vian memecahkan keheningan.

"Bi ... bisa," jawab Cia terbata-bata.

Cia berusaha bangkit sembari memegangi lilitan handuk di dadanya. Setelah berdiri ia mengusap bokongnya yang masih terasa sakit. Vian menyodorkan pakaian Cia yang sudah dia punguti. Dengan sangat kasar, Cia merebut pakaian itu dari tangan Vian. Lantas berlari menuju kamar mandi.

"Jangan lari-lari. Nanti bukan cuma kamu yang jatuh, tapi handuk itu juga."

Wajah Cia sukses memerah karena ucapan Vian. Laki-laki gila. Bagaimana mungkin dia mengatakan kalimat itu dengan sangat santai?

Cia masuk ke kamar mandi lalu memakai pakaiannya. Beberapa saat setelah itu Cia keluar dari kamar mandi, sekarang ia sudah memakai pakaiannya lengkap. Cia berjalan menuju tempat tidur. Dia menyempatkan diri melirik ke arah Vian, laki-laki itu masih sibuk dengan kegiatannya.

Cia membaringkan tubuhnya bersiap menuju alam mimpi. Akan lebih baik jika dia tertidur lebih cepat. Dia tidak mau melihat wajah Vian setelah kejadian memalukan beberapa saat yang lalu.

Vian meregangkan tubuhnya. Ia merasakan pegal di tengkuk belakangnya. Kemudian ia melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul setengah dua belas malam. Ia mematikan komputernya lalu berjalan ke arah tempat tidur. Ia melihat Cia yang sudah tertidur dengan nyaman. Vian tersenyum ketika kejadian tadi terlintas dalam benaknya.

I SHALL EMBRACE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang