☕ 9 ☕ Rumah Mertua

205 18 2
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Jangan lupa bershalawat😉😉

اللهم صل على سيدنا محمدو على آل سيدنا محمد

.
.
.
.

"Pah!" panggil Abi sembari melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Tangannya menumpu pada kusen pintu, ingin mengintip kegiatan sang Ayah.

"Iya, Bi?" sahut Papa Dery yang ternyata tengah membaca buku di atas kasur. Tangan keriputnya menutup buku dengan lembut dan memusatkan perhatiannya pada Abi yang kini memilih untuk masuk.

"Ayo makan, makanannya udah dateng!" ajak Abi yang dibalas anggukan sang Ayah.

"Ya udah, kamu duluan aja. Nanti Papa nyusul. Papa mau beresin bukunya dulu," ujarnya pada Abi yang mengangguk pelan. Berniat pergi sesuai perintah sang Ayah. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika melihat Ayahnya kesulitan untuk bangun dari kasur.

Abi dengan lembut langsung membantu Ayahnya dan meminta sang Ayah untuk memegang tangan tangannya kuat. Sementara Abi sendiri membantu mengangkat tubuh Ayahnya yang sebenarnya tidak berat. Hanya saja penyakit komplikasi dan kelumpuhan yang diderita ayahnya membuat ruang geraknya terbatas.

"Bi, bukunya belum Papa beresin," ucap Papa Dery menghentikan langkah sang anak yang tengah memapahnya. Dia melirik ke beberapa buku yang berserakan di atas kasur. Abi pun turut melihatnya dan tersenyum kecil.

"Nanti Abi yang beresin. Papa tenang aja. Sekarang lebih baik kita makan dulu, mumpung masih hangat makanannya!" ajak Abi. Papa Dery pun mengangguk pasrah dan memilih untuk menuruti ucapan putranya.

"Humaira mana?" tanya Papa Dery sambil berjalan tertatih dibantu Abi dan juga tongkat yang menopang tubuhnya.

Meski Humaira bukanlah menantu yang sejak awal dikenalkan oleh Abi, Papa Dery tetap dengan senang hati menyambut Humaira. Hatinya seakan mengatakan bahwa Humaira adalah orang yang tepat untuk putra tunggalnya.

Abi yang ditanya seperti itu pun menghela napasnya pelan dan membuang wajahnya. Masih merasa sedikit mengganjal dengan interaksinya dengan sang istri tadi.

Namanya juga laki-laki, bukan? Jadi, maaf saja jika Abi tidak bisa menjaga rumahnya dengan baik. Abi sudah berusaha keras, tetapi hasilnya tetap saja seperti itu.

"Lagi siapin makan sambil ngedumel," jawab Abi kesal karena tadi sebelum memanggil ayahnya ia terkena semprotan Humaira yang marah karena hampir seluruh alat makan kotor dan berkerak sehingga membuat Humaira jijik melihatnya.

Perdebatan pun tentu tak dapat dihindari, dengan Abi yang terus-menerus ngeles dan mengeluarkan segela macam alasan basi bagi Humaira yang kepalang emosi membuat adu mulut terjadi sengit di antara mereka.

Abi sejujurnya tidak marah terkena damprat dari kemarahan Humaira. Hanya saja ia selalu menggoda dan menggombal saat Humaira marah tadi. Selain elakan Abi yang membuat Humaira mendidih, tingkah Abi yang masa bodoh juga membuatnya mendidih.

Bagi Abi, dampratan Humaira adalah nikmat. Kapan lagi ia bisa mendengar suara Humaira selain saat bertengkar, mengingat Humaira sangat pendiam dan dingin dengannya. Jadi, Abi berpikir bahwa debat adalah cara yang tepat untuk memikat Humaira. Atau lebih tepatnya, membangun interaksi di antara mereka.

Humaira yang masih berada di dapur pun tengah menetralkan emosinya. Emosi dalam jiwanya meletup-letup kuat, ingin segera disemburkan.

Sementara itu, tangannya sibuk mencuci piring dan langsung mengeringkannya. Mungkin jika ada orang yang masuk dan mendengarkan kegiatan Humaira di dapur, yakinlah, pasti orang itu mengira ada perang piring di dapur karena Humaira yang tengah marah itu membanting-banting piring dan membersihkannya dengan kasar. Bukannya tidak suka dengan pekerjaannya, Humaira hanya sedang merutuki nasibnya yang jauh dari kata baik.

I Love You, Pak Dosen! (REWRITE) Where stories live. Discover now