((13))

3.9K 519 99
                                    

Bujang datang tepat waktu di rumah Pak Iwan. Sebuah mobil Toyota Anvanza telah terparkir manis di depan rumah Keke. Bujang yakin, inilah mobil yang akan dibawa ke acara Wisuda Keke di kota, tepatnya di Pekanbaru.

"Masuk, Bang!"

Keke muncul, dia sudah memakai kebaya pink dengan bawahan kain songket, wajahnya sudah dipoles. Tapi bawaannya tidak bersemangat.

Bujang masuk ke rumah, dia sendiri memakai baju batik, baju yang sama ketika acara sunatan Bayu adiknya Keke.

"Buatkan kopi, Bu!" Seru Pak Iwan.

"Iya," sahut ibu Keke.

"Tunggu bentar, tantenya Keke belum datang."

"Ini yang membuat Keke kesal, Yah. Kita harus masuk aula jam delapan tepat, Tante Silvi ini tidak pernah berubah, lelet minta ampun." Keke mengomel, dia memakai sepatu tinggi tumit. Sesekali menggerutu karena tak nyaman dengan benda itu, dia terbiasa memakai sandal jepit dan sepatu kets.

"Tenang saja, Bujang bisa sampai dalam waktu satu jam setengah," hibur Pak Iwan. "Iya, kan, Jang?"

"Bisa, kalau ngebut."

"Assalamualaikum."

Mereka serentak melihat ke arah pintu masuk. Silvi, adiknya ibu Keke, wajahnya mirip tapi kulitnya agak gelap.

"Kok lama, Tan? Janjinya kan setengah enam pagi, ini udah jam enam," kata Keke pada Silvi yang kerepotan menggendong bayinya.

"Ini, Aulia susah dibangunkan."

"Kan bisa tidur lebih cepat," jawab Keke.

"Kau coba saja nanti, saat kau punya bayi, bisa tidak, bayimu disuruh tidur cepat," jawab Silvi tak kalah ketus.

"Sudah, ayo! Kita langsung berangkat." Ibu Keke menengahi. Keke dan Silvi masih mempertahankan raut kesal.

"Habiskan kopimu, Jang."

Bujang mengangguk.

Keke duduk paling depan di samping Bujang, ibunya, Pak Iwan dan Bayu duduk di tengah. Sedangkan Silvi dan dua anaknya duduk paling belakang.

"Nanti kalau kamu sudah kerja, belikan ayah mobil kayak gini ya, Ke."

"Ijazah saja belum Nerima, Yah."

"Ayah bilang, kan, nanti."

"Ayah kan punya banyak kebun sawit, kalau butuh kali, bisa kok beli mobil."

Ibu Keke menyikut sang suami, lalu berbisik, "jangan ajak dia bicara sekarang, dia masih marah saja bawaannya."

***

Prosesi wisuda berlangsung khidmat. Hanya dua orang yang dibolehkan masuk ke aula, ayah dan ibu Keke. Sedangkan yang lain melihat melalui monitor berlayar besar yang di pajang di kanan kiri lapangan.

Keke rasanya tak betah dengan sepatunya yang membuat kakinya sakit. Dia sendiri heran, kenapa wanita merasa cantik saat menggunakan sepatu tinggi tumit itu, padahal rasanya sangat tersiksa.

Acara prosesi selesai, Keke lulus dengan IPK 3,42. Cukup tinggi, walaupun tidak cumlaude. Keke tak begitu peduli dengan nilai itu, karena banyak seniornya yang menganggur padahal mendapatkan IPK tinggi.

"Pegang tangan Keke, Bu. Nanti ibu hilang." Keke mengeraskan suaranya, suara bising paduan suara itu cukup mengganggu baginya.

Ibunya menurut, dia memegang tangan Keke erat.

Keke tersentak, di sana, Kevin bersama ke dua orangtuanya tengah berfoto bahagia, bukan itu yang menganggu Keke, tapi gadis berambut panjang yang bergayut manja di lengan Kevin. Keke tau pasti, gadis itu bukan adik Kevin karena Kevin anak tunggal. Dia juga bukan Sofi, selingkuhan Kevin. Bisa dipastikan gadis itu pacar baru Kevin saat ini.

Keke mendadak muak. Jadi kemaren itu Kevin hanya bermain-main minta kembali, dan kenyataannya dia bisa memiliki pacar baru dengan gampang. Alangkah jahatnya laki-laki itu.

"Bu, Keke ke toilet dulu, ya, ibu ingatkan di mana posisi keluarga kita tadi?"

Keke berbicara tanpa melihat ibunya, dia merasa matanya mulai panas.

"Baik," sahut ibu Keke tanpa curiga.

Keke berjalan tergesa-gesa menghindari kerumunan orang-orang yang bersuka cita berfoto bersama.

Keke hapal betul di mana lokasi yang aman untuk melepas tangisnya. Ketika mulai sepi, Keke melepas sepatunya dan menjinjing benda itu di tangannya. Dia menyelinap ke lorong pemisah gedung rektorat dan gedung pustaka.

Sampailah Keke di sebuah gedung yang masih baru dan belum berfungsi, gedung itu paling jauh dan menghadap ke taman rumput yang asri.

Keke berjongkok, tangis yang ditahan itu akhirnya lepas. Berulangkali dia meyakinkan dirinya bahwa dia sudah Move on, dia sanggup sendiri tanpa Kevin. Tapi melihat Kevin begitu mudah menemukan penggantinya, dia cemburu. Hatinya sakit.

"Menangis lagi, Ke?"

Keke terkejut, ternyata dia tak sendiri. Pria berbaju batik dan berusia tiga puluh delapan itu ada di sana memegang sebatang rokok yang asapnya masih mengepul dari mulutnya.

"Bang Bujang? Kenapa di sini?"

"Menghindari keramaian, sama sepertimu," jawab Bujang santai. Dia terlihat bosan.

Keke mendekat, bulu mata palsu yang mengganggu dicopotnya dengan paksa.

"Kenapa? Kenapa Abang tak suka keramaian, pasti ada alasan."

"Kenapa? Kamu menangis sendiri di hari yang seharusnya kamu bahagia?" Bujang balik bertanya.

"Cukup saya yang tau."

"Jawaban kita sama."

Mereka diam sesaat. Kemudian ide gila timbul begitu saja di otak Keke.

"Apa menurut Abang saya cantik?"

"Cantik," jawab Bujang, dia bahkan tak menatap Keke sama sekali, matanya lebih tertarik pada pohon pucuk merah.

"Abang butuh istri?"

"Pertanyaan apa itu, Ke?"

"Saya yakin Abang butuh istri."

"Kamu mulai ngawur."

"Saya akan katakan pada ayah, bahwa saya menerima perjodohan Abang dengan saya."

Bujang tertegun. Dia memandang Keke tak percaya.

End versi wattpad

***

Versi novel, atau lanjutannya akan di publish Di Karya Karsa dan KBM app. Sucsribe dulu semua cerita aku di sana ya. Sampai jumpa di sebelah.😊😊😊

Bujang Lapuk Where stories live. Discover now