4

5.4K 888 101
                                    

Jangan nunda-nunda membacanya ya, si Bujang nangkring di wattpad cuma 15 hari.

Vote n komen yes.

***
Luqman memisahkan kayu yang sudah dipotong-potong dan siap untuk diolah menjadi bahan untuk membuat perabot. Semua orang tau, bahwa Bujang pada hakikatnya bukan orang miskin, dia punya hutan sendiri yang didapatkan dari warisan keluarga.

Orangtua Bujang sudah meninggal, ayahnya meninggal saat dia berumur enam tahun, sedangkan ibuny meninggal sepuluh tahun yang lalu.

Bujang anak tunggal, tidak memiliki kerabat dekat karena ibunya juga terlahir tunggal. Bujang pernah bercerita pada Luqman bahwa dia pernah menyesali diri karena tak mampu mewujudkan keinginan terakhir ibunya, yaitu memiliki cucu. Bagaimana ada cucu, istri saja tidak punya.

Rumah Bujang dibangun di tengah-tengah hutan miliknya, alasannya agar dia tidak kesusahan membawa kayu ke gudang. Namun, walaupun terpencil dari desa, akses ke sana bisa dilewati kendaraan roda empat.

Luqman pada hakikatnya tak jauh beda umurnya dengan Bujang, hanya saja rambutnya cepat beruban dan tubuhnya tak se-perkasa sahabatnya itu.

Bujang keluar dari rumah kayunya, rambut gondrongnya masih basah karena baru saja selesai mandi. Dia memakai kaos tanpa lengan yang lebih mirip dengan singlet, dipadukan dengan celana jins pudar.

"Catnya sudah kering?" tanya Bujang mengamati meja pesanan Keke. Luqman menyapukan telapak tangannya di permukaan meja, lalu mengangguk.

"Sudah, kapan diantar?"

"Siang ini," jawab Bujang mengamati bon di tangannya. "Setelah ini kita harus menyelesaikan pesanan yang lain."

"Ah, tak rugi kau bertemu dengan gadis nyasar itu."

"Dia bukan nyasar, tapi memang sengaja ke sini." Bujang duduk di potongan kayu, lalu mengeluarkan korek api dari kantong celananya, dia memang perokok berat.

"Lihat siapa yang datang!" seru Luqman saat deru motor berhentu tepat di depan pagar kayu Bujang. "Aku yakin dia ke sini mencarimu," goda Luqman.

"Tentu saja, dia pembeli dan aku penjual," jawab Bujang membuang rokoknya dan menginjaknya. Melayani pembeli sambil merokok baginya tidak sopan.

"Ah, kau selalu serius tak bisa diajak bercanda," jawab Luqman sambil mengangkat meja itu ke tempat yang teduh.

Keke kali ini memakai baju kaus Gembrong bewarna kuning, celana pendek di atas lutut, khas Keke yang tak pernah memakai rok. Kakinya beralaskan sandal jepit bewarna hitam.

Sejenak Keke mematut Bujang yang berjalan ke arahnya, dia jadi berpikir, apa istimewanya laki-laki matang itu selain dermawan, sehingga ayahnya begitu menyukainya.

Bujang memiliki perawakan tinggi besar, kulitnya sawo matang rambut gondrong dan sedikit ikal, cambang dan jenggot tumbuh liar di wajahnya. Belum lagi bulu-bulu kasar yang mengintip sedikit dari singletnya.

Keke tak menemukan keistimewaan apa-apa. Biasa saja.

"Meja saya sudah siap?" Keke mengubah ekspresinya menjadi biasa, dia tak ingin Bujang melihat tatapan menilainya.

"Sudah, nanti siang kami antar."

"Boleh saya lihat dulu? Jadi kalau ada apa-apa bisa langsung diperbaiki sebelum diantar."

"Silahkan! Ikut aku!"

Keke mengangguk, dia mengikuti Bujang, punggung lebar dan otot liat, menandakan dia pekerja keras dan suka membawa beban berat. Tapi bagi Keke, itu bukanlah sebuah keistimewaan. Rasanya terlalu berlebihan jika ayahnya menjodohkannya dengan pria yang usianya jauh di atasnya itu.

***

Versi lengkap ada di karya karsa

Bujang Lapuk Where stories live. Discover now