ISEY || CHAPTER ENAM

Start from the beginning
                                    

Cia memutar bola matanya ketika melihat Aini yang tersenyum menatap Vian yang mulai menyantap sarapannya. Sedangkan Cia hanya menatap jengkel ke arah Vian.

Setelah sarapan, keluarga yang memiliki anggota baru itu berkumpul di ruang keluarga, mereka menunggu Cia untuk turun. Karena Cia harus pindah ke rumah Vian hari ini. Cia sempat bertanya kenapa Vian datang pagi sekali, dan Vian menjawab jika siang nanti dia harus latihan basket bersama timnya.

"Vian bisa bantuin aku nggak?!" teriak Cia dari lantai dua. Semua orang yang tengah berbincang saling menoleh ketika mendengar teriakan Cia. Vian yang merasa dipanggil segera bangkit dari duduknya.

"Vian bantuin Cia dulu, Bun," pamit Vian pada Aini. Vian mulai mencoba membiasakan dirinya memanggil kedua orang tua Cia dengan panggilan 'ayah' dan 'bunda', seperti yang Aini minta. Karena terdengar aneh jika Vian memanggilnya 'tante' dan 'om', sedangkan Vian adalah menantu di rumah itu.

Aini mengangguk menatap Vian. Setelahnya laki-laki itu mulai menjauh.

Laki-laki berpostur tinggi itu berjalan menaiki tangga. Sedangkan Cia telah menunggunya di depan kamar.

"Bantuin angkat koper aku ya, berat soalnya." Cia masuk ke dalam kamarnya, disusul oleh Vian di belakang. Vian sempat mengamati suasana kamar Cia. Kamar dengan nuansa putih serta beberapa furnitur berwarna cokelat kayu.

Vian memalingkan pandangannya menatap dua buah koper ukuran besar di hadapannya. Matanya membola menatap koper itu.

"Bawa barang yang penting aja. Baju sama buku kuliah, selebihnya nggak usah," ucap Vian sembari menatap ke arah Cia.

Cia menatap dua koper itu, lalu pandangannya beralih ke arah Vian. "Semua barang ini tuh penting," ucap Cia sembari menunjuk dua koper besar itu.

"Kayak nggak bakal balik ke sini lagi aja," gumam Vian.

"Oh, jadi kamu udah ada niat buat pulangin aku ke sini nanti?"

"Nggak tau." Vian mengangkat bahunya acuh. Ia menghela nafas, lalu berjalan mendekati koper.

"Bawanya satu-satu aja, nan—" ucapan Cia terhenti ketika ia melihat Vian mengangkat dua koper besar itu sekaligus.

"Woahh..." ucap Cia tanpa sadar.

Cia menyusul Vian yang sedang menuruni anak tangga. Gadis itu menatap Vian dengan tatapan kagum. Tapi detik berikutnya ia memukul kepalanya mencoba menyingkirkan pikiran itu.

Semua barang-barang yang akan Cia bawa telah berada di dalam mobil Vian. Gadis itu berpamitan pada orang tuanya.

"Ingat sama status kamu, perkataan Vian yang harus kamu turuti mulai sekarang," bisik Aini pada putri sulungnya di sela-sela pelukan mereka. Cia mengangguk paham, tapi ada perasaan aneh di dalam hatinya ketika ia mendengar ucapan bundanya itu.

Setelah berpamitan, mereka segera meninggalkan kediaman orang tua Cia. Mobil sedan berwarna hitam itu melaju membelah jalanan. Di beberapa titik mereka terjebak macet. Tapi semua itu tidak masalah bagi Cia, karena yang sangat mengganggunya saat ini adalah laki-laki yang tengah menyetir di sebelahnya. Pasalnya sejak mereka meninggalkan rumah, laki-laki itu seakan lupa bagaimana cara untuk berbicara. Hal itu membuat Cia sangat canggung jika terus seperti ini.

"Aku mau beli es krim," ucap Cia setelah ia melihat sebuah mini market yang baru saja mereka lewati. Vian tidak merespon, laki-laki itu masih fokus pada jalanan di depannya.

"Kamu dengerin aku nggak sih?" tanya Cia yang mulai kesal. Vian hanya melirik Cia sekilas lalu ia kembali fokus pada jalanan.

"Kita berhenti di mini market selanjutnya," ucap Cia. Gadis itu menyandarkan punggungnya pada sandaran jok. Tidak lama, ia melihat sebuah mini market. Cia tersenyum girang tapi setelahnya senyumannya mudar. Ia menatap Vian sebal. Sebab bukannya berhenti, Vian semakin mempercepat laju mobilnya.

I SHALL EMBRACE YOUWhere stories live. Discover now