Shilla menopang dagu dengan sebelah tangan, mencoba tetap terjaga dari godaan kantuk yang menyerang.

Ia telah menghabiskan sepanjang malam untuk menghapal rumus-rumus turunan matematika untuk ulangan harian jam kedua. Lalu sepertinya, enggak ada hal yang lebih menyebalkan dibanding harus ulangan dadakan biologi setelah mengerjakan soal angka-angka yang super susah itu.

Jangan lupakan juga insiden berpapasan dengan Cakka yang sedang menghindari hukuman tadi pagi. Semuanya terasa begitu chaos dalam kepala Shilla. Meski sebenarnya, ya, biasa-biasa saja.

Untung saja dia masih punya waktu istirahat karena guru biologi−Bu Rini, sedang mengambil kertas ulangan yang lupa dibawa dari ruang guru. Kalau enggak, kepala Shilla mungkin sudah mengepulkan asap saking panasnya.

Sementara itu, Erika melihat Shilla dengan pandangan enggak suka dari bangkunya.

"Shilla, lo mengganggu pandangan gue!"

Merasa dapat teguran, Shilla berbalik dan mendapati Erika yang duduk di belakangnya memasang tampang masam.

"Lo bertingkah seperti baru pulang kerja dengan membawa beban yang begitu banyak," lanjutnya dengan suara agak keras supaya Shilla mau merespons.


"Oh, tenagaku terlalu berharga untuk menanggapi ocehan Erika," batin Shilla, lalu berbalik lagi, sama sekali enggak berniat membalas ucapan Erika.

Sebab merasa enggak akan mendapatkan jawaban, Erika mendatangi meja Shilla.

"Shilla!" tegurnya gemas. "Lo udah merangkum materi presentasi minggu depan? Ingat ya, presentasi itu penting banget. Kalau sampai nilai kita jelek, bukan lo aja yang merugi. Gue bakal jadi orang yang paling kecewa di kelompok kali ini."

Shilla masih diam karena enggak merasa kalau perkataan Erika harus dijawab.

"Eh, kalau ditanya itu jawab!" bentaknya sambil menggebrak meja.

Satu kelas otomatis menyoroti. Shilla yang paling enggak suka menjadi bahan perhatian terpaksa menghela napas berat. Ada-ada saja tingkah Erika ini.

"Kapan lo dewasa dan enggak bersikap macam cewek-cewek antagonis di sinetron, sih?" Shilla sudah muak dengan semua sikap Erika yang enggak jelas. Memang benar

kata Ify−yang kebetulan juga termasuk dalam kelompok Bahasa Indonesia mereka−kalau seseorang sudah iri, susah bagi mereka untuk berhenti.

Untuk melerai situasi yang kian panas, Ify yang menjadi teman sebangku Shilla pun terpaksa maju. Habisnya ... Shilla malas pake banget berdebat sama cewek macam Erika yang suka iri. Cewek itu merasa kalau harusnya dia yang terpilih untuk menjadi ketua kelompok, bukan malah Shilla.

"Erika, maaf ya, lo pernah diajarin sopan santun, enggak?" Sebenarnya, Ify juga enggak mau ikut campur. Tapi, please, dia butuh ketenangan sebelum menghadapi ulangan Biologi yang bentar lagi bakal dimulai.

"Kalau bertanya itu baik-baik. Lagian, yang terpilih jadi ketua kelompok, kan, Shilla. Bukan berarti karena di kelompok sebelumnya lo jadi ketua, jadinya lo punya hak mendikte Shilla."

"Udahlah, Fy." Shilla melirik malas. "Biarin aja Erika ngomong semau dia."

Erika enggak tahu apakah ucapan Shilla tadi bermaksud memuji atau menghina, tapi dia jadi kesal banget. Apalagi kalau mengingat Shilla sudah mulai berbicara lagi sama Cakka di pelajaran olahraga tadi pagi. Erika merasa kalau dirinya hanya dianggap seolah-olah cuma ngengat bego yang enggak perlu dipedulikan.

"Kalau gue yang terpilih, gue pasti bisa menjamin nilai kelompok kita!" desis Erika sengit. Hal itu membuat Shilla enggak tahan buat enggak mendongak lagi dan menatap balik mata Erika.

Di Antara Hujan [Terbit]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora