DUA

534 28 1
                                    

"In the middle of my chaos,

there were you."

Shilla melirik jam tangan, lalu memekik panik. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Terburu-buru ia mengambil handuk dan seragam putih abu-abu yang tergantung di kapstok. Setelah jam pelajaran olahraga, Shilla harus selalu mandi kalau enggak mau dijauhi sepanjang hari karena bau keringat.

Sebenarnya dia takut kalau lama-lama di kamar mandi sekolah. Mungkin karena suasana sudah mulai sepi dan enggak punya teman mengobrol. Lagian enggak mungkin, kan, dia mengobrol sama bayangan pas lagi mandi. Hih.

Selesai mandi, Shilla langsung membereskan semua perlengkapannya dan bergegas pergi.

Mata pelajaran selanjutnya sudah dimulai beberapa saat yang lalu, koridor jadi sepi.

Shilla berjalan sendiri dengan santai, tanpa takut akan dibayangi guru piket.

Bukannya tanpa alasan, kalau bukan karena anak kesayangan guru pun, dia pasti bakalan terkena omelan guru piket sebab terlambat masuk kelas.

Awalnya, karena suasana koridor terlalu sepi, Shilla sama sekali enggak menyadari ada orang di belakang. Sampai tiba-tiba suara di belakang terdengar makin jelas.

Drap, drap, drap!

Shilla berhenti berjalan. Siswa lain melongok dari jendela kaca rendah. Tepat di belakangnya, seorang cowok tengah berlari dengan rambut acak-acakan dan seragam yang enggak kalah berantakan juga. Namun entah mengapa, tampangnya jadi seperti bintang film action−panas dan berkeringat. Mereka enggak sengaja bersitatap dua detik, setelahnya cowok itu mengedipkan sebelah matanya dan menyapa.

"Hai Shilla!" sapa Cakka, sambil tetap berlari.

Kalian boleh saja bilang ini berlebihan, tetapi buat Shilla, semesta melambat ketika Cakka menubruknya dengan manik cokelat cerah yang selalu dia hindari.

"Hei ..." balasnya lebih seperti gumaman.

Shilla terlalu kaget, sebab mereka bertingkah enggak saling mengenal sebelumnya. Mereka pernah ketemu beberapa kali semenjak semestanya mulai berantakan, tapi enggak pernah mengobrol sama sekali. Jadi ketika Cakka melewatinya begitu saja, Shilla rasa itu memang hal yang wajar. Ini bukan drama-drama di mana saat pemeran saling menabrak dan pemeran cewek kena masalah karena pemeran cowok itu. Tapi tumben saja, Cakka menyapanya. Lebih anehnya lagi, dia tersenyum!

"Cakka! Berhenti!"

Oh, pantas saja Pak Tris si guru piket enggak terlihat bergentayang sedari tadi, rupanya dia mengejar Cakka. Wajar saja cowok itu lari tebirit-birit, pasalnya kalau sampai tertangkap dia bakalan dapat masalah besar. Sementara Shilla masih melihat punggung tegap Cakka dari jauh.

"Seharusnya dia ikut lomba lari aja. Larinya lebih kencang dibanding juara lomba lari cepat tahun kemarin," gumam Shilla.

Tiba-tiba, Cakka berhenti berlari. Dia menoleh ke belakang, seolah tahu kalau ada sepasang mata yang turut mengikutinya. Shilla cepat-cepat memalingkan wajah karena malu. Setelah itu, dia kembali tertegun menyaksikan aksi kejar-kejaran guru piket dan murid bengal.

***

"Musuh terbesar adalah sahabat yang kamu anggap baik."

Seperti hari senin yang lain, suasana kelas enggak lebih menyenangkan daripada kasur di rumah. Hari minggu kemarin, berlalu sangat cepat tanpa pernah bisa dirasakan dengan sungguh-sungguh khasiatnya bagi seluruh Pelajar.

Di Antara Hujan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang