ENAM

53 6 5
                                    

 "Kalau kali ini inginmu hanya singgah kemudian pergi lagi,

maka tidak usah kembali saja sekalian."

Kamu datang lagi di suatu hari, lalu pergi lagi, datang lagi esoknya, kemudian bepergian lagi entah ke mana. Sayang, aku menerima kamu singgah, tapi kenapa dalam waktu yang selalu tidak menentu? Tidak lama, tidak juga sebentar.

Kalau kali ini inginmu hanya singgah kemudian pergi lagi, maka pergilah saja sekalian.

Aku akan mencoba melihat ke arah lain.

Akan kusembuhkan buta ini dengan cara melihat ke luar sana. Aku lebih dari sadar kalau masih banyak laki-laki lain yang jauh lebih pengertian daripada kamu.

Ya, aku yakin bisa melakukan itu kalau kamu tidak seberharga ini.

Seandainya rasa yang kumiliki tidak sedalam ini. Namun kabar buruknya, aku tidak sanggup. Kalah. Payah. Noob. Setelah melewati dua puluh empat bulan bersama kamu, aku sudah paham. Siklus takkan pernah berubah.

Kamu baru mengabaikanku selama dua hari saja sudah terasa layaknya dua tahun. Terlalu lama. Aku seperti sudah kehilangan berpuluh-puluh tahun lamanya, padahal usiaku pun belum menyentuh angka tujuh belas. Kenapa kita harus segila ini, Sayang?

***

Ini adalah masalah besar. Sangat besar. Sepertinya hal ini akan terdengar berlebihan untuk kalian. Tapi, apa mungkin Shilla benar-benar harus melewati kelas XII IPA-3 dengan santai? Bukannya dia kelewat pemalu, sampai-sampai berjalan sendiri saja merasa minder, atau takut melewati segerombolan cowok kelas XII IPA-3 itu. Shilla hanya mengkhawatirkan seorang cowok berseragam basket yang berdiri di depan kelasnya. Terlalu malu untuk sekadar berpapasan.

Uh, kalau bukan karena Bu Mul meminta tolong untuk mengembalikan kamus bahasa inggris yang dia pinjam dari anak kelas XII IPA-3, Shilla enggak akan mau melewati tempat ini.

Ah, andaikan cowok itu enggak berdiri membelakanginya di sana, mungkin semuanya akan terasa lebih mudah.

"Duh Cakka, ngapain di sana? Pergi dong!"

Entah mengapa, sejak kejadian di perpustakaan Shilla jadi mati-matian menghindari Cakka. Ia melirik jam tangan, kebiasaannya kala merasa gelisah. Sudah pukul 11:20, yang berarti sudah lebih dari enam menit ia berdiri mematung. Masalah yang lebih parah dari itu, lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Mampus!

Segerombolan cowok lainnya ke luar dari kelas di depannya memakai seragam basket yang sama. Mereka lalu melakukan tos ala bro-broan dan enggak terlihat seperti akan beranjak dalam waktu dekat. Situasinya semakin buruk. Shilla merasa benar-benar harus segera pergi dari sini. Memilih nekat masuk kelas Cakka sekarang bukanlah pilihan yang tepat, apalagi ada Ozy di sana. Tetapi kalau harus menunggu mereka bubar, Shilla benar-benar akan kehabisan waktu. Maka dari itu, dengan sigap Shilla berbalik arah dan berjalan cepat sebelum Cakka menyadari keberadaannya.

"Eh!" seruan Cakka mendadak membuat langkah Shilla macet. Jangan bilang kalau Cakka yang memanggilnya? Shilla sangat mengenal suara itu, enggak mungkin ia salah dengar. Terlalu malu untuk berpaling, Shilla memutuskan untuk menunggu. Ia pede saja kalau Cakka akan menyusulnya.

Satu detik ....

Dua detik ....

Tiga detik ....

Empat detik ....

Lima detik ....

Kenapa enggak terjadi apa-apa?

Di Antara Hujan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang