TIGA

121 12 2
                                    

"Bagiku kamu istimewa,

melebihi apa yang mampu digambarkan kata."

Kotaku sedang dilanda gerimis ketika jalan hidup kita ditakdirkan untuk sebuah temu yang mengubah segalanya. Kala itu, matamu yang pertama kali berbicara. Menembus pertahananku secara tiba-tiba, bagaikan lusinan bom atom yang meledakkan dimensi. Segala prinsip yang kubangun selama ini, runtuh dalam sekejap. Padahal, perjumpaan kita begitu sederhana. Tidak sedramatis kisah-kisah yang diceritakan para Pujangga.
Meski begitu, bagiku kamu istimewa melebihi apa yang mampu digambarkan kata.

Jangan tanya mengapa, karena aku belum menemukan jawaban tepat untuk pertanyaan itu. Logikaku seolah mati. Salahkan saja semuanya pada jantung yang berdebar kencang saat tenggelam dalam senyumanmu. Meski aku tahu, senyum kamu kala itu hanya basa-basi normatif.

***

"Kita enggak bisa melambatkan atau mempercepat waktu.

Waktu itu bergerak konstan."

November merupakan bulan di mana hujan acapkali bertandang. Seperti sore ini, saat ribuan tetes air tanpa ampun menghantam tanah-tanah kering tak berdosa.

Shilla baru saja menyelesaikan tugas piket menyapu ketika hujan sudah terlanjur lebat. Sampai tiga puluh menit berlalu, ia masih berdiri di selasar depan koperasi yang agak jauh dari tempat parkir. Mencoba menghindari bias-bias hujan yang dingin mengenai tubuh. Namun, sesekali mengulurkan tangan untuk merasakan sensasi segar yang menyenangkan.

Kalau boleh jujur, Shilla enggak begitu suka hujan. Meski ia suka aroma petrichor selepas hujan yang selalu membawa serta perasaan damai.

Shilla melirik jam di pergelangan kiri. Sudah hampir jam dua sore. Lelah berdiri, ia lalu memutuskan duduk di bangku panjang sambil menatap rintik hujan lurus-lurus. Memerhatikan setiap tetes yang jatuh dengan lekat. Tadinya ia bersama Ify, tapi cewek itu sudah pulang beberapa menit yang lalu. Rela menerobos hujan demi enggak ketinggalan drama korea kesukaannya yang tayang jam tiga sore di saluran TV Cable.

Hanya tersisa beberapa orang termasuk Shilla yang masih menunggu hujan reda, karena enggak memiliki payung ataupun kendaraan pribadi. Sebenarnya kali ini Shilla membawa motor, tetapi karena tadi pagi datang terlambat, jadinya Shilla terpaksa harus parkir agak jauh dari pintu masuk karena parkiran sudah penuh.

Sempat terlintas di benak, kalau menerobos hujan lebih baik, ketimbang harus terjebak beberapa jam lagi di sekolah yang nyaris kosong ini.

Namun lagi-lagi Shilla hanya bisa mengembus napas berat. Kenyataannya ia terlalu takut menembus hujan kali ini. Terlalu lebat dan disertai petir yang terus menyambar tanpa ampun. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang, hanyalah menunggu reda sambil menghitung berapa lama waktu berharga yang terbuang.

Sambil menunggu, suara gelak tawa beberapa cowok menghiasi pendengarannya.

Ada satu suara yang terdengar renyah di telinga. Dengan penasaran Shilla menoleh ke arah lapangan basket.

Ada beberapa cowok sedang bermain basket dan bola kaki di tengah-tengah hujan yang semakin lebat. Mereka terlihat gembira tanpa beban, meski seragam putih abu-abu yang menempel di badan sudah kuyup.

Saat itu juga, Shilla melihat satu-satunya cowok yang selalu ia kagumi sejak kelas sepuluh. Cowok yang malah tertawa keras saat tersungkur di tengah lapangan dan wajahnya terkena cipratan air yang menggenang.

"Hahaha! Cak, lo kenapa sampe nyusruk gitu jatohnya?"

"Eh, gue enggak suka dipanggil Cak!"

"Cakka, awas jatoh!"

Di Antara Hujan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang