DELAPAN

39 6 2
                                    

I didn't choose you, my heart did.

Setelah mereka yang kutinggalkan jauh di belakang sana, aku kena imbasnya. Dapat balasan yang lebih dari sekadar setimpal. Kamu yang pergi. Dari titik ini, yang bisa kulakukan hanya diam membisu. Tidak ada kata yang sanggup mewakili perasaanku.

Aku selalu merindukanmu, dan ini terasa begitu menyesakkan. Kupikir, rindu hanya bereaksi pada seseorang yang telah ditinggalkan lama. Namun, sama halnya seperti cinta, rindu tidak mengenal waktu. Bertambah terus, tidak mau kalah sampai berujung temu.

***

Katanya, setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka dari itu ketika Shilla lagi-lagi mendapat nilai 60 di mata pelajaran Biologi, dia enggak sedih-sedih banget. Dia bukan Einstein, Habibie atau siapapun orang cerdas di dunia yang bisa menghapal fungsi dan organ sistem eksresi dalam waktu beberapa menit.

"Ya, tapi gue harus belajar," putus Shilla saat jam pelajaran terakhir, matematika, selesai. Saat ini pun Shilla enggak mengerti cara menurunkan fungsi trigonometri dan sebagainya itu. Sepertinya sekarang ini Shilla butuh tenaga ekstra keras untuk mengejar pelajaran. Ia mendesah. "Benar-benar harus belajar."

Ify yang mendengarnya lantas kaget, "Lo mau belajar apa lagi?"

"Belajar ini," kata Shilla sambil menunjuk buku teks Biologi miliknya yang putih bersih. "Kayak pelajar biasa."

"Ngapain lo belajar biologi, sedangkan lo pemenang debat bahasa indonesia? Jurusan sastra udah terbuka lebar kali buat lo."

"Menang debat pun enggak banyak berguna kalau nyatanya gue bego di pelajaran jurusan sendiri."

Ify berhenti berkomentar. Seperti Shilla yang biasanya. Susah diajak berdebat. Dia lagi-lagi pamit pulang lebih dulu karena enggak mau ketinggalan serial drama koreanya meski hujan kembali turun. Sementara itu Shilla memutuskan untuk bersemayam di kafe dekat sekolah. Tempatnya nyaman dan jauh dari gangguan. Harga minuman favorit Shilla di sana juga terjangkau kantung anak SMA.

Shilla memilih duduk di dekat jendela yang menghadap ke jalan raya karena tempat itu memberi ruang untuk konsentrasi. Dengan minuman hangat di sisi kanan, handphone sisi kiri, dan kedua telinga yang tersumpal headset, Shilla sudah siap belajar. Tadinya sih begitu.

Tapi ada cowok yang tiba-tiba datang, duduk di hadapannya, lalu mengamatinya.

Shilla melihat ke arah cowok itu dengan tatapan kaget, lalu mencabut headsetnya.

"Ya?"

"Hai, kita ketemu lagi," cengir Cakka seolah mereka sangat amat akrab. "Kalau hujan enggak boleh pakai headset, bahaya," katanya lagi.

Dulu waktu masih pacaran Cakka sering banget mengingatkan dan menegur Shilla soal ini dan itu. Seperti jangan lupa sarapan, jangan mandi kemalaman, enggak boleh ngomong kasar, sampai hal-hal remeh seperti enggak boleh pakai headset atau earphone waktu hujan petir yang sebenarnya hampir semua orang juga tahu kalau itu berbahaya.

Enggak bisa dipungkiri, saat ini Shilla agak speechless. Kalau dulu, Shilla akan menanggapi teguran Cakka sebagai angin lalu. Tapi sekarang, dia enggak tahu harus bereaksi seperti apa. Walaupun dalam hati luar biasa senang karena sudah lama enggak dikasih perhatian sama Cakka, Shilla yang introvert enggak bisa seekspresif Erika atau selantang Ify dalam menggambarkan perasaannya.

Pada saat-saat seperti ini, Shilla cenderung memilih diam. Dia bakalan berpikir matang-matang, memaksa otaknya untuk memilih sikap apa yang akan dia tunjukkan terhadap lawan bicaranya. Kadang Shilla juga lelah karena sifatnya ini, orang-orang jadi malas bergaul sama dia karena dianggap terlalu cuek.

Di Antara Hujan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang