Wanita itu merancau, tangisnya pecah. Abraham mengambil inisiatif membimbing Alessa menuju sofa yang terletak tak jauh dari mereka. Keduanya duduk saling berhadapan dengan kepala Alessa masih bersandar di dadanya, sementara Abraham tak berhenti mengusap-usap bahunya. Menit-menit berlalu dibiarkan hening, hingga keadaan Alessa sudah lebih baik, barulah Abraham membuka suara.

"Khawatir dan menyesali sesuatu itu wajar, Nak, tapi jangan biarkan semuanya berlarut-larut. Biar bagaimanapun, Tuhan sudah mengatur semua yang berjalan di dunia ini. Sekarang Grandpa bertanya, bila kau terus menangis dan menyesal seperti sekarang apakah semua akan berubah? Apakah Alex dan Louis tetap baik-baik saja?" Terdiam beberapa detik, Alessa lantas menggeleng pelan. Napasnya masih terdengar tak beraturan. "Kau sekarang tahu, 'kan, bila yang kau lakukan hanya berujung sia-sia? Lalu, mengapa kau tak mencoba melakukan hal yang lebih berguna, menelepon orang terdekat atau sekertaris Alex misalnya?"

Seperti disihir, tangis Alessa langsung berhenti. Wanita itu menegakkan tubuh dan mengusap kedua pipi basahnya bergantian, lantas mengambil napas sedalam mungkin dan bangkit, mendekati telepon rumah tak jauh dari sofa ruang tamu. Selesai menekan dan mengingat-ingat nomor pribadi Gwen, Alessa menempelkan telepon di telinga sambil menggigiti kuku jarinya. Belum ada tanda-tanda panggilannya diangkat, hingga bunyi telepon tersambung berhenti, Alessa terus berusaha menghubunginya sampai beberapa kali.

"Bagaimana?"

Abraham berjalan menghampiri. Alessa menoleh kemudian menggeleng pelan dengan netra berkaca-kaca. "Tidak diangkat," sahutnya.

"Tenangkan dirimu. Mungkin ia sedang ada urusan lain." Berdiri di sisi cucunya, pria paruh baya itu mengelus punggung Alessa penuh kelembutan. Memutar otak, Abraham lantar berujar seraya mengerutkan kening, berpikir. "Coba kau hubungi Maxime, mungkin ia bisa melacak posisi Alex saat ini."

Alessa mengangguk-angguk, kemudian menerima ponsel yang Abraham sodorkan dan sudah disambungkan panggilan kepada Maxime. Di dering ke empat, telepon diangkat. Suara bass Maxime mampu menghantarkan sedikit kelegaan bagi Alessa dan Abraham.

"Ya, Sir? Ada yang bisa saya bantu lagi?"

"Uhm ... Maxime, ini Alessa. Apakah kau masih di jalan? Bisakah aku meminta bantuanmu?"

"Aku memang masih di jalan, tapi apa yang bisa kubantu, Alessa?"

Alessa menggigit bibir bawahnya, lalu melirik kakeknya yang mengangguk, menyuruhnya melanjutkan ucapan. Wanita itu lantas menarik napas dan melontarkan kalimat, "Aku ingin meminta bantuanmu untuk melacak keberadaan Alex. Bisakah kau melihat keadaannya saat ini?"

Terdengar suara gemerusuk di seberang panggilan, sebelum suara Maxime kembali terdengar. "Aku akan menghubungimu jika sudah menemukan posisi Alex."

"Terima kasih, Max!"

"My pleasure."

Senyum Alessa terbit tanpa dikomando. Abraham yang melihatnya ikut menarik sudut bibir.

"Sudah lebih lega sekarang?"

"Ya, sedikit."

Abraham mengangguk paham dan menerima ponselnya kembali. Pria itu menuntun Alessa agar duduk di sofa lagi.

"Sembari menunggu kabar Maxime, sebaiknya kau makan dahulu. Grandpa yakin, kau belum mengonsumsi apa pun seharian ini," ujarnya, tak melepaskan tatapan dari mata abu-abu cucunya.

"Alessa tidak lapar, Grandpa," tolak Alessa. Sebelum sang kakek mengeluarkan ceramah panjang, ia melanjutkan, "Alessa sempat makan roti saat dalam perjalanan ke mari. Sekarang, yang Alessa inginkan adalah cerita Grandpa. Bagaimana bisa Grandpa mengenal bahkan bekerja sama dengan Maxime?"

CHASING Over the LIMITS [COMPLETED]Where stories live. Discover now