Prolog

51 9 1
                                    


Entah sudah yang ke berapa kali aku menghela nafas. Duduk termangu di balkon rumahku, sambil menatap gemercik air yang kian turun membasahi bumi. Sejak 7.200 detik yang lalu, aku meresapi hujan  sore ini.  Secangkir cappocino dan sepotong red velvet yang menemaniku  pun sudah mendingin. Percayalah, jika orang selalu mengaitkan hujan dengan kenangan, maka tidak denganku. Ada harapan yang terus membuncah setiap hujan itu turun. Aku menanti kedatanganmu, aku akan menagih tiap janji yang kau ucap itu. Kemudian, kita menikmati hujan bersama.

Menyenangkan bukan, jika kau menikmati Rahmat Tuhan dengan orang yang kau cintai? Ah, aku tidak sabar melakukannya. Namun, lagi-lagi semesta belum berpihak pada kita. Atau mungkin, hanya padaku?

5 tahun yang lalu kau berjanji padaku, kau akan datang lagi menemaniku menikmati senja, menari di bawah guyuran hujan, mengajakku berkelana menyusuri alam, atau hanya sekedar jalan-jalan menikmati pemandangan kota dengan menggunakan motormu, kemudian kita bercanda tawa di tengah hiruk pikuk kendaraan yang berlalu-lalang, kebisingan yang seakan menjadi melodi tersendiri bagi kita.  Tapi lagi-lagi semuanya hanya sekedar angan.

Nyatanya, setelah 3 tahun berlalu kau sama sekali tidak berkabar. Apa kau melupakanku? Kau melupakan janjimu? Ataukah aku yang terlalu bodoh karena  masih bertahan menanti kedatanganmu kembali? Apa aku masih terlalu naif, jika harus percaya dengan semua  perkataanmu?  Dengan mudahnya mulut manismu berucap janji tapi tak kunjung ditepati.

Aku lelah merindu, begitu menyesakkan. Tapi harapanku tidak pernah mati, harapanku akan tetap tumbuh seperti diberi pupuk tiap harinya.

"Ra, kamu ngapain disitu? Sudah mau maghrib, udara malam tidak baik untuk kesehatan. Ayo masuk!" Lamunanku terhenti saat mendengar suara lembut itu. Ya, itu ibuku, satu-satunya manusia yang berjiwa malaikat untukku. Aku tersenyum.

"Iya Bu" kemudian aku beranjak, membereskan cangkir dan piring kecil yang entah kapan sudah kosong. Kemudian ibu merangkul ku setelah mengunci pintu balkon.

"Mau dimasakin apa malam ini?" Tanya nya

"Terserah ibu saja, aku bantu masak ya?"

"Memangnya kamu tidak sibuk?" Aku menggeleng. Setumpuk skripsi membuatku jarang menemani ibu memasak, namun kali ini aku ingin menghabiskan waktuku bersama ibu. Kali ini saja, aku ingin terbebas dari skripsi yang membuat kepalaku pusing.

"Yasudah ayo, let's go kita masak!" Ujar ibu dengan semangat. Aku pun menyahut dengan semangat.

Malam ini begitu menyenangkan, setidaknya aku sedikit tenang, sibuk memasak dan bercerita hal-hal lucu bersama ibu membuat bebanku sedikit berkurang. Ah ya, ibu memang paling hebat. Selain menjadi malaikat, ibu juga bisa menjelma menjadi sahabatku.

Haii, i'm come back 🥳
Semoga kalian suka cerita baru aku kali ini ya. Dan  semoga kalian betah  🤪

EUNOIA Where stories live. Discover now