23#Isyarat

131 47 55
                                    


“Kamu bukan anak tunggal, sayang.”

Kata-kata Ayah Ellan yang satu ini jadi pukulan terbesar untuk Ellan sendiri. Air mata keluar lagi, tapi Ellan berusaha menutup mulutnya agar tangisnya tak mengganggu Fariz–yang sebenarnya mungkin saja tak mendengar tangisan Ellan karena hingga menjelang subuh, ia belum juga terbangun.

“Ke-kemana Kakak Ellan, Ayah?” Ellan berusaha keras untuk bisa mengeluarkan sebuah kata-kata, walaupun sulit ditengah sesenggukannya.

“Dia… sudah pergi bersama Ibu kamu. Nama dia Dandelion Jazlyn Azhari. Dia cerdas, cantik, dan lemah lembut. Dia berbeda denganmu yang tidak suka tertata. Dia lebih teratur dan perfectionist. Sedari kecil, Ayah tahu dia sangat berbeda dibanding anak lain. Tapi, luar biasa jenius. Seperti Ibumu. Ayah sayang dia, seperti apa pun dia,” suara Ayahnya mulai bergetar, “tapi, pihak kepolisian gak pernah menemukan mayat dia. Atau mungkin mayat dia tidak teridentifikasi.”

“Tapi… kenapa… Ellan gak ingat dia sama sekali?” Ellan menunduk, berbisik. Tak kuat. Ia sendiri bingung kenapa orang berharga dan sepenting itu bisa ia lupakan? Kalau alasannya adalah trauma, bukankah seharusnya ia juga melupakan Ibunya?

“Ayah… juga gak tahu. Ayah sempat bingung dan mencoba menanyakan psikis kamu ke psikiater. Tapi, dia sendiri hanya menjelaskan, mungkin karena trauma atau ini keinginan kamu sendiri untuk melupakan dia. Ayah sama sekali gak tega membahas Dandelion di depan kamu. Ayah pikir, ini adalah yang terbaik. Setidaknya, melupakan dia akan membuat kamu lebih bahagia. Walaupun, kamu gak bisa melupakan Ibu kamu. Dan Ayah pikir, suatu saat kamu sendiri yang akan mempertanyakan keberadaan dia. Disitu baru Ayah bisa cerita.”

Ellan menekan pelipisnya yang sakit sambil menangis. Ayahnya memeluknya erat, membiarkan Ellan membasahi baju Ayahnya.

Ellan bingung dan masih bergelut dengan pertanyaan yang sama. Apa yang membuatnya melupakan keberadaan Dandelion? Bahkan kepingan kenangan tentang Dandelion sama sekali tak pernah ia ingat, kecuali malam itu, dalam mimpinya. Astaga… apa yang…

Bagaimana Grimm bisa mengetahui hal ini? Apa… Dandelion masih hidup?

Ellan melepaskan pelukan Ayahnya, “Ayah, gimana kalau ternyata Dandelion masih hidup? Gimana kalau ternyata entah bagaimana caranya, dia berhasil selamat dari kebakaran itu? Ayah… Ayah kenapa gak nyari Dandelion?”

“Ayah benar-benar udah nyari Dandelion bertahun-tahun ini. Ayah nyari dia kemana-mana. Bahkan perusahaan Ayah sempat berada pada titik kritis karena Ayah udah hampir gila nyari Dandelion, mengesampingkan pekerjaan. Ayah masih berpikiran dia masih hidup. Semua cara udah Ayah lakuin, tapi dia sampai sekarang gak ketemu.” Wajah Ayah Ellan tampak frustasi kali ini. Wajahnya yang selalu tampak bahagia seperti tak ada beban di depan Ellan nyatanya hanya topeng. Ketika ia melihat wajah Ayahnya, kali ini Ellan bisa menyimpulkan bahwa Ayahnya adalah laki-laki paling tegar yang pernah ada. Berpura-pura bahagia di depan Ellan agar Ellan tak ikut sedih.

“Kalau saat ini Dedel masih hidup, Ayah ingin sekali bertemu dengannya. Entah karena dia melupakan keberadaan kita dan itu yang membuat Ayah kesulitan ketemu dengan dia. Atau… karena dia memang bersembunyi, gak mau kita temui. Ayah gak tahu.”

Ellan diam sebentar. “Ayah, Ellan yang akan menemukan Kak Dedel. Ellan janji.”

Ellan mengepalkan tangannya. Kalau memang bertemu Grimm harus mempertaruhkan nyawanya, itu tak apa. Asalkan ia bisa bertemu Dendelion.

Atau mungkin bahkan… Dendelion adalah Grimm? Tidak, tidak mungkin.

Entahlah, Ellan masih tak ingat.

*Grimm, aku akan menemukanmu.

~~~~~

"Om sejujurnya gak suka Fariz terlibat lagi dengan kasus besar seperti ini." Ayah Fariz menyandarkan tubuhnya ke sofa rumah sakit. Ia mengenakan jas putih dan kantung matanya sangat kentara membesar. Matanya sedikit sembab. Pasti ia sangat khawatir pada Fariz, "ini salah Om. Dari dulu seharusnya Om mencegah Fariz berhubungan dengan polisi. Om sayang sekali sama Fariz, seperti anak sendiri."

Detective Vs PsycoWhere stories live. Discover now