10#Snow White?

172 49 1
                                    


“Fariz. Apa lo pernah ketemu dia sebelumnya?” Ellan membuat langkah kaki Fariz terhenti.

Fariz menghela napasnya.

“Enggak,” Fariz menutup matanya sejenak, kemudian perlahan ia buka dan kali ini ia menatap kedua bila mata Ellan lurus, “tapi… gue pernah berada di permainan yang sama. Dan gue gagal nemuin dia.” Fariz perlahan melepaskan genggaman tangannya dari Ellan.

“Lo… pernah nanganin kasus dia dulu?”

“Iya. Tapi waktu itu… gue cuma anak biasa yang suka main teka-teki untuk nemuin pendongeng. Dan… gue gak tahu kalau permainan gue dulu bisa menghilangkan nyawa orang.” Fariz masih menatap Ellan dalam, “Lan, lo percaya gue kan?”

Ellan mengangguk.

“Apapun yang terjadi kedepannya, mungkin bisa bikin lo ragu sama gue. Tapi, gue udah menyiapkan diri seandainya lo berbalik nyerang gue.”

“Kenapa gue nyerang lo? Gak akan terjadi. Kita dipihak yang sama dan gue percaya sama lo.”

“Lo jangan bilang kalau lo berada dipihak gue. Lo berada di jalan yang menurut lo benar. Kalau seandainya gue salah, serang gue. Lanjutin semuanya dan ungkap kebenaran.”

“Lo… ngomong apa? Kenapa lo ngomong gitu? Gue gak ngerti.” Ellan menautkan alisnya, mulai tidak mengerti arah pembicaraan ini.

“Ah, bukan apa-apa. Lupain aja. Yuk kita wawancara.” Fariz tersenyum singkat dan melangkah lebih dulu.

“Ah gue lupa. Bentar Fariz, gue mau nanya Pak Wahid dulu.” Fariz terpaksa menghentikan langkah kakinya kembali. Saat ia berbalik, Ellan sudah berlari masuk kembali ke kelas. Akhirnya, Fariz membuntuti Ellan saja.

Ellan melangkah menghampiri Pak Wahid yang terlihat bersiap-siap hendak pulang dan mulai membersihkan tempat ini.

“Maaf Pak. Ada yang mau saya tanyakan,” kata Ellan ramah.

“Ada apa lagi?”

“Ehmm… itu, apa bapak liat lukisan di sana? Ada lukisan bergambar siluet peri. Apa bapak tahu siapa yang membuatnya?”

Pak Wahid menoleh ke arah tempat yang Ellan tunjuk. Ia kemudian melangkah dan melihat lukisan itu. Ia mengangkat lukisan itu dengan tangan kirinya dan menelitinya. “Tidak ada namanya. Biasanya saya meminta anak-anak untuk menuliskan nama di ujung lukisan ini karena saya biasanya akan memberi nilai pada akhir semester setelah semua lukisan terkumpul,” jelas Pak Wahid.

“Apa bapak gak liat siapa yang duduk di sini?”

“Saya tidak pernah memperhatikan murid saya saat sedang mengajar. Lagipula, kenapa kamu bertanya?” Pak Wahid menaikkan sebelah alisnya.

“Ah-ehm bukan Pak. Soalnya lukisannya bagus. Mungkin saya bisa meminta pelukisnya untuk menggambarkannya lagi untuk saya.” Ellan nyengir lebar sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Ah, yasudah kalau begitu saya pamit pulang Pak. Terima kasih.” Ellan tersenyum.

Ellan melangkahkan kaki keluar kelas. Fariz yang sedari tadi bungkam akhirnya angkat bicara saat mereka melangkah menuju ke ruang BK, “Lo kayaknya udah mulai terbiasa sama pekerjaan ini. Tapi, kalau lo pinter, lo mungkin udah ngambil kuas lukis yang ada di situ.”

Ellan menoleh ke samping, tepat Fariz melangkah bersamanya. “Sebelum lo nyuruh sih, gue udah ambil. Tada!” Ellan tersenyum lebar sambil menunjukkan sebuah kuas lukis yang diujung bulu-bulunya masih terdapat bekas cat berwarna hijau untuk mewarnai latar belakang lukisan Tinkerbell itu. Ellan memegangi kuas itu dengan tisunya.

“Wahhh gak salah gue milih lo jadi partner.” Fariz mengacak pelan jilbab putih Ellan. “Tapi… dia udah tahu kalau lo partner gue. Apa… lo gak papa?”

Detective Vs PsycoDonde viven las historias. Descúbrelo ahora