22#Rasa Sakit

128 48 27
                                    


Ellan membuka matanya perlahan. Tidurnya tak nyenyak hari ini, terutama ketika tadi pagi ia melihat kepala Beril tepat di halaman depan rumahnya.

Masih pukul 8 malam. Ellan mengerjap, menatap langit-langit kamar dan daerah sekililingnya. Ia tersenyum tanpa sadar. Saat ini, ia berada di atas kasur Fariz. Astaga, apa yang Ellan pikirkan? Bukankah seharusnya ia khawatir atau gelisah? Sekarang, justru ketika kesadarannya benar-benar kembali, ia malah tersenyum seperti orang gila. Tidak, ada yang salah dengan dirinya.

Tapi, ngomong-ngomong, kenapa rumah ini justru sepi sekali? Padahal, yang ia harapkan adalah melihat sosok bermata tajam itu mungkin sedang duduk di samping ranjangnya sambil membaca berkas-berkas kasus. Oke, ini gila. Jelas, Ayah Ellan tidak akan mengizinkan Fariz berduaan dengan Ellan. Apalagi di kamar dan dalam keadaan Ellan tidak sadarkan diri.

Ellan benar-benar sudah gila. Ia harus berhenti memikirkan hal aneh yang tidak masuk akal seperti ini.

Ellan duduk di samping kasur, menggosok-gosok matanya, kemudian perlahan membuka pintu kamar dan keluar dari ruangan unik dengan foto mayat di dinding itu–walaupun, entah kenapa saat melihat foto-foto itu tidak lagi membuatnya takut, terutama ketika memikirkan bahwa kamar itu adalah milik Fariz. Dan, saat Ellan benar-benar ada di diluar kamar, rumah ini sangat sepi, seperti tak ada orang.

Ellan melangkah menuju keluar rumah, terlihat Ayahnya yang sibuk menelepon–ntahlah mungkin orang kantornya. Maklum saja, Ayahnya adalah pemimpin sebuah perusahaan properti yang cukup maju, jadi ia sibuk, walaupun ia masih berusaha pulang tepat waktu agar bisa makan malam bersama dengan Ellan setiap hari–kecuali ada rapat yang sangat penting, mungkin akan pulang sedikit terlambat. Yang Ellan lihat, wajah Ayahnya tampak khawatir.

Ketika Ellan benar-benar sudah berada di depan Ayahnya, Ayahnya langsung meminta izin untuk menutup telepon. Wajahnya tetap khawatir, “Sayang, kamu udah gak papa?” Tanya Ayahnya.

“Udah gak papa, Yah. Ellan cuma kelelahan dan Ellan tidur terlalu lama, jadi udah gak papa. Yang lainnya kemana? Kok sepi? Fariz mana? Ayahnya belum pulang?”

Ayahnya menghembuskan napas pelan, lega. Tapi kemudian wajahnya berubah serius, “Ellan, jadi gini. Kamu jangan panik dulu ya.”

Perasaan Ellan mulai tidak enak, tapi ia masih berusaha untuk tetap tenang walaupun memasang wajah penuh tanda tanya. “Kenapa sih, Yah?”

“Fariz masuk rumah sakit.”

Deg!!

Ellan melotot sebentar, apa ia salah dengar, “Ayah… jangan ngomong sembarangan.”

“Ayah serius, Fariz masuk rumah sakit tadi siang.”

Kaki Ellan lemas seketika.

“Ayah gak mau bangunin kamu karena Ayah tahu kamu sakit. Niat Ayah, setelah kamu bangun baru ke rumah sakit.”

“Ayah… tolong antar Ellan ke sana sekarang…”

Ayahnya mengangguk.

Apa yang terjadi? Fariz, lo kenapa lagi…

Ellan langsung berlari di lorong rumah sakit ketika perawat memberitahu nomor ruangan Fariz. Saat ia berada dekat dengan ruangan Fariz, terlihat Ayah Fariz yang wajahnya tampak kacau. Ellan menghampirinya perlahan dan Ayah Ellan menyusul.

Ayah Fariz yang menyadari kehadiran Ellan menengadah, kemudian berusaha tetap tersenyum walaupun Ellan tahu ini berat. Ellan tampak sangat cemas, ia gemetaran. "Om, Fariz di dalam? Dia gak papa kan?"

Senyum kecil terbit di wajah Ayah Fariz, tapi wajahnya tetap cemas, "Iya, dia gak papa. Untungnya dia langsung di bawa ke sini dengan cepat. Tapi, dia masih belum bangun beberapa jam setelah operasi."

Detective Vs PsycoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang