17#Buku Catatan Kosong

155 48 3
                                    


"Apa kamu mengenal saudari Adela?"

"Hah? Eh-ehm Adela... iya kenal. Pas SMP selalu satu kelas," jawab gadis di ujung sana. Clay.

Wawancara melalui telpon dimulai. Di depan Clay tentu saja ada seorang psikolog yang akan mendeteksi kebohongan Clay, kemudian memberitahu bila Clay berbohong dengan mengirimi pesan singkat ke Ellan. Ellan bertugas selalu memberitahu pada Fariz.

"Sedekat apa kalian berdua?"

"Gak terlalu dekat. Adela itu pendiam."

"Apa kamu tahu hubungan antara Raya dan Adela?"

"Mereka setahu saya sempet pacaran. Tapi, putus gak tahu kenapa."

"Bagaimana dengan Ansel dan Adela?"

"Maaf, apa Adela punya suatu hubungan dengan kematian mereka? Tapi, Adela sudah meninggal 4 tahun lalu."

"Jawab saja pertanyaan saya."

"Ehm... kalau sama Ansel kayaknya mereka sahabatan. Sering bareng, sama Belinda juga. Dan kebetulan, Ansel dulu sempat akrab juga sama Raya. Tapi gak tahu kenapa mereka semua terpecah. Saya gak dekat sama mereka."

"Bagaimana dengan saudara Beril? Apa ia punya hubungan dengan mereka semua?"

"Beril cuma di kelas B dan sahabat saya sejak SMP. Gak ada hubungan apa-apa sama mereka."

"Bagaimana Adela bisa meninggal?"

"Gak jelas kenapa dia meninggal, ada yang bilang dia bunuh diri loncat dari atas balkon rumah sakit, ada yang bilang dia... matinya gak wajar. Tapi, banyak yang menduga dia bunuh diri. Alasannya lebih masuk akal, karna katanya patah hati putus sama Raya, ada yang bilang juga karena dia putus asa ngeliat wajahnya yang hancur habis disiram air keras sama preman."

"Wajah Adela hancur?"

"Iya, tapi untungnya sempat diselamatin, gak sampai tewas. Heboh banget beritanya di sekolah. Sayangnya, habis operasi dia bunuh diri, katanya. Intinya dia gak masuk sekolah jadi gak tahu ada apa sama dia."

Fariz menoleh ke arah Ellan. Dari matanya saja, Ellan mengerti apa yang ingin dikatakan Fariz padanya. Ellan hanya meberi isyarat 'dia jujur' dengan gerakan bibir tanpa bersuara.

"Baiklah, kembali pada hari kematian Raya. Saya ingin menanyakan ulang mengenai hal ini, kemana anda pada pukul 3?"

"Eh? Pukul 3... kemana ya... oh itu pas bolos sama Beril di kantin Bi Inah."

"Sekali lagi saya tanya, kemana anda pada pukul 3?"

"Bolos sama Beril."

"Jangan bohong!" Fariz meninggikan suaranya. Bersamaan dengan itu, terdengar suara gebrakan meja di sana. Sepertinya Pak Reyhan berusaha memberikan tekanan agar Clay mau membuka mulut.

"I-iya... saya sedang bolos."

"BOHONG! Kamu jangan menyembunyikan fakta! Kamu tahu apa konsekuensi bila menyembunyikan fakta? Bisa saja kamu dicurigai sebagai tersangka atau pelindung tersangka. Dan tentu saja hukuman berupa kurungan akan kamu terima. Apa kamu mau dipenjara?" Geretak Fariz. "Kalau kamu terus seperti ini, kamu tidak akan bisa pulang dan akan terus-terusan berada di ruangan itu, di bawah tekanan. Kamu mau seperti itu?"

Clay tak menjawab, ia bungkam.

"Saudari Clay?! Jawab saya!!"

Hening di ujung sana, tak ada jawaban. Fariz menghela nafas gusar. Ia terlihat mulai dikuasai emosi sekaligus putus asa. Semuanya tergambar jelas dari wajahnya yang bertambah kusut. Tidak biasanya ia seperti ini, karena biasanya ia adalah orang yang paling berkepala dingin yang pernah Ellan kenal. Bahkan di saat genting pun ia masih bisa fokus dan berpikir tenang. Entah apa yang terjadi dengan Fariz saat ini. Sepertinya, ia mulai lelah dengan semua ini.

Detective Vs PsycoWhere stories live. Discover now