Anak laki-laki itu menatap sungai yang mengalir deras di bawah nya dengan nanar. Jemari tangan kurusnya mencengkeram erat besi pembatas jembatan. Anak itu tau sungai itu lebih dalam dari tinggi badannya. Dia pernah berenang disana bersama beberapa temannya. 'Teman'. Huh? Kata itu menghadirkan senyum kecut di bibir yang sudutnya robek dengan darah kering masih terlihat. Kata itu asing bagi anak bertubuh ceking itu, karena baginya mereka adalah anak-anak yang kebetulan sama-sama dipelihara untuk dipergunakan sekehendak hati oleh majikan mereka.
'Aku harus melompat sekarang sebelum mereka tau aku menghilang.' Pikiran itu menguatkan niat anak laki-laki dengan mata amber dengan chroma hijau yang tidak biasa untuk anak berkulit kecoklatan sepertinya. Bocah itu yakin sungai itu pasti mampu menenggelamkannya terlebih dengan arus yang deras setelah hujan kemarin sore.
Sekarang atau tidak sama sekali.
"Hei bocah! Apa yang sedang kamu lakukan?!"
Dari sudut matanya, anak laki-laki itu dapat melihat seorang wanita berbaju terusan biru tua sedang mengendarai sepeda berteriak kearahnya. Dengan mata melebar seakan tau apa yang hendak bocah itu lakukan, wanita itu mengayuh sepedanya dengan lebih cepat.
"Jangan lompat! Jangan lompat!" Ancam wanita itu.
Sialan! Seharusnya tidak ada yang melihatnya melompat dari jembatan ini. Tapi anak laki-laki itu tidak punya waktu lagi. Terlebih wanita tengah baya cantik itu sudah semakin dekat. Karena itu alih-alih menjawab pertanyaannya, anak laki-laki itu justru melompat terjun ke sungai di bawahnya.
"Byuuuuuurrrrrrrr......"
Tubuh cekingnya terasa sakit saat kulitnya menghantam permukaan sungai. Seharusnya tidak ada rasa sakit. Karena itulah anak laki-laki itu memilih menenggelamkan diri. Dia hanya tinggal diam saat tubuhnya tenggelam, tanpa berusaha untuk berenang. Anak itu tau inilah cara terbaik untuk meninggalkan dunia ini daripada dimanfaatkan orang yang memperlakukannya lebih parah dari hewan.
Saat rasa sesak mulai memenuhi dadanya, anak itu berpikir bahwa rencana nya sudah berhasil. Tapi beberapa detik kemudian, sepasang tangan memeluk badannya dengan erat dan menariknya. Anak laki-laki itu berusaha meronta untuk melepaskan diri. Tapi sepasang lengan itu memeluknya dengan erat seperti capit kepiting yang susah dilepaskan.
"Uhhuuuuk... huukkk.... Hukkkk..."
Anak itu terbatuk begitu kepalanya kembali muncul ke atas permukaan sungai. Udara yang tiba-tiba masuk ke sistem pernafasannya membuat bocah itu seakan tersedak. Meskipun begitu tangan yang seperti capit itu tidak melepaskannya begitu saja. Tubuh anak itu justru perlahan ditarik menuju tepi sungai. Tangan itu baru melepaskan tubuh kurusnya setelah mereka berada di atas batu besar di pinggir sungai.
Meskipun berbadan mungil, Wanita itu dengan mudah membaringkan tubuh bocah laki-laki itu ke atas batu besar dengan permukaan pipih. Setelah batuknya selesai dan akhirnya dapat kembali bernafas normal, anak itu pun membuka mata dan memandang ke sekeliling. Ranting dan dedaunan yang tertiup angin tepat di atasnya itulah yang membuat anak laki-laki itu menyadari bahwa usahanya telah gagal.
"Yaaaaah! Bocah!" Suara melengking itu membuat anak laki-laki itu menoleh dan mendapati wanita bergaun biru yang tadi dilihatnya di jembatan. "Sudah dibilang jangan lompat! Kamu malah lompat!"
Mata amber dengan chroma kehijauan anak laki-laki itu menatap tajam wanita yang sudah menyelamatkannya. Tapi wanita cantik itu justru menjitak kepalanya dengan gemas. Meski setelahnya wanita itu menghela nafas panjang dan mengacak-acak rambut basah bocah laki-laki itu. Itu adalah sikap hangat pertama yang pernah diterima sang bocah sepanjang ingatannya.
"Nama?" Tanya wanita itu sambil duduk di samping sang bocah.
"Kai." Jawab bocah itu singkat.
"Umur?"
"12"
"Yaaah! Bocah!" Wanita itu kembali berisik dan menjitak kepala sang bocah. "Aku yakin kamu bahkan belum disunat. Berani-beraninya kamu bunuh diri!"
Meski jitakan wanita itu sama sekali tidak terasa sakit. Tapi tetap saja hal itu membuat sang bocah mecebik karena diperlakukan seperti anak-anak. Wanita itu sama sekali tidak tau apa yang bisa dilakukan seorang Kai meskipun dia baru berusia 12 tahun.
"Kenapa kamu ingin bunuh diri, bocah?" Tanya wanita itu lagi, setelah berhasil menenangkan diri. Wanita itu kelihatannya menyadari bahwa Kai tidak akan bicara apapun jika tidak ditanya. Karena Kai dibesarkan dengan aturan itu.
"Aku harus mati atau orang lain akan mati." Jawab Kai kecil sambil menghindari pandangan mata coklat hangat yang terlihat begitu penasaran itu.
Selama beberapa saat wanita itu terdiam. Kai kecil pun mengembalikan pandangannya dan melihat wanita itu tersenyum memandangnya. Saat tangan kurus wanita itu terulur, Kai dengan reflek melindungi kepalanya dari kemungkinan mendapat jitakan ketiga. Tapi wanita itu kini justru menepuk-nepuk lembut kepala Kai.
"Kamu tidak tinggal bersama kedua orang tuamu."
Itu bukan pertanyaan tapi Kai mengangguk. Senyum dan kehangatan seorang ibu yang ditunjukkan wanita itu membuat Kai terpesona. Mungkin kalau Kai memiliki ibu normal, dia akan mendapatkan tepukan hangat seperti ini. Alih-alih pukulan dan tendangan yang mengharuskannya bertahan dan membalas.
"Dengar. Apapun masalahmu. Kamu tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupmu." Kata wanita itu sambil menatap langsung ke dalam mata Kai Kecil. "Sang Pencipta lah yang memberimu kesempatan untuk hidup di dunia ini. Hanya dia yang berhak menentukan kapan dan dimana kamu mati."
"Tapi jika aku tetap hidup, maka orang lain akan mati karena aku."
"Itu artinya Sang Pencipta sudah menetapkan waktu orang lain itu habis. Orang itu pada akhirnya akan mati saat itu juga, baik karena mu atau hal lain." Wanita itu terdiam sejenak seakan mencari kata-kata yang tepat. "Kalaupun itu terjadi benar-benar karena mu. Itu berarti sang Pencipta sudah menetapkan mu sebagai alat atau jalan bagi Malaikat maut menjemput orang itu."
Meskipun baru berusia 12 tahun, Kai kecil adalah anak yang cerdas. Kata-kata penuh makna wanita itu pun dengan mudah dimengerti nya. Hal itu mampu mengurangi rasa benci Kai pada dirinya sendiri karena terlahir dengan 'bakat' yang begitu disukai si 'Don'.
Tanpa aba-aba, wanita itu tiba-tiba memeluk tubuh kerempeng Kai. Pelukan seorang ibu yang tidak pernah di dapat Kai sejak bocah itu dapat mengingat. Kehangatan yang diberikan wanita itu dapat dirasakan hingga ke relung hati Kai.
"Berjanjilah padaku bahwa kamu tidak akan berusaha bunuh diri lagi." Ucap wanita cantik itu setelah melepaskan pelukannya. "Kamu hanya beberapa tahun lebih tua dari anakku. Jadi seperti harapanku pada anakku agar dia bisa tumbuh besar dan menikmati hidupnya. Aku juga berharap kamu bisa bertahan hidup apapun masalah yang kamu hadapi. Kamu mau berjanji padaku untuk tidak pernah mencoba bunuh diri lagi 'kan?"
Kai terdiam sesaat sebelum kembali mengangguk. "Janji." Suaranya terdengar serak bahkan untuk telinga Kai sendiri. "Terima kasih sudah menolongku. Biarkan aku membalasnya."
Kai dibesarkan di lingkungan yang mengajarkan bahwa apa yang kamu terima harus kamu balas dengan sama banyaknya atau lebih. Baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk. Jika kamu diberi makan, kamu harus menuruti orang yang memberimu makan. Jika kamu dipukul kamu harus bertahan dan menyiapkan pukulan balik yang tidak kalah kuatnya.
"Well, aku tidak menolong mu untuk mendapat balasan. Tapi kalau kamu memaksa..." Wanita itu tersenyum. Kemudian melepaskan kalung dengan liontin berlian berbentuk oval dari lehernya. Wanita itu menekan bagian atas liontin itu hingga terbuka. Foto seorang pria dan gadis kecil manis ada di masing-masing sisi liontin itu. Wanita itu menunjuk foto gadis kecil dengan rambut diikat di kedua sisi kepalanya. "Ini anakku. Suatu saat jika kamu bertemu dengannya dan dia dalam keadaan berbahaya, aku ingin kamu menolong dan melindunginya."
Kai memandang foto gadis dengan tanda lahir kecil di ujung mata kanannya itu. Ingatan Kai sangat tajam. Karena itulah dengan mudah wajah gadis kecil itu terekam di otaknya. Kai pun mengangguk.
"Aku janji akan selalu menolong dan melindunginya."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
YOU ARE READING
The RED Code
RomanceMerah adalah lambang cinta. Tapi Merah juga menandakan kemarahan. Merah adalah warna indah sang mawar. Tapi Merah juga adalah warna darah. Anandira Putri Wiguna adalah calon pewaris bisnis Wiguna Group. Cerdas, tangguh, ulet, rajin dan tidak kenal k...
