PART 15 : LAKI-LAKI YANG BAIK UNTUK WANITA YANG BAIK

71 3 4
                                    


Segera kubuka tutup botol dan meneguk air mineral dari dalamnya. Terus terang, aku kaget. Selain Mama dan Mas Yudha, tak ada yang tahu tentang perasaan terpendamku kepada lelaki yang sekarang menjadi suami Violet itu. Kekalahan bukanlah hal yang membanggakan untuk diumumkan. Gengsiku terlalu tinggi. Jadi aku bungkam, menyimpannya rapat-rapat dari dunia.

“Mas Yudha yang bilang? Dia bilang apa padamu? Kapan? Seingatku aku selalu bersama kalian,” cecarku. “Aku berpisah dengan kalian hanya saat salat. Apa saat itu?” Aku mengeluh kesal. “Kenapa dia harus memberitahukan itu kepadamu?”

“Bukan dia yang memberitahuku.”

“Lalu siapa?”

“Kau.”

“Ha?” Aku melongo. Beberapa saat kemudian kedua tanganku membekap mulut. “Apa… aku mengigau saat tidur?” Ya ampun! Meracau apa aku tadi? Sungguh memalukan!

Narendra mendecak, mengurangi kecepatan, lalu menoleh ke arahku. “Caramu menatap dia yang memberitahuku.”

Caraku menatap Mas Yudha? Oh iya, di kamar tadi, saat Mas Yudha menggendong bayi itu, aku tenggelam dalam lamunan. Saat itu, Narendra mengawasiku. Entah sejak kapan.

“Aku tidak habis pikir, kau menyukai suami saudaramu?” Narendra memperhatikan jalan di depan kami. Sesekali memutar kemudi sedikit.

“Tidak. Bukan begitu,” tukasku, masam. “Aku lebih dulu mengenal Mas Yudha daripada Violet. Mas Yudha teman mainku dan adik-adikku semenjak kami semua masih anak-anak. Rumahnya di seberang rumahku. Aku yang lebih dulu menyukai Mas Yudha. Tapi, Violet datang dan mengacaukan segalanya. Violet baru pindah ke rumah kami saat aku berusia 16 tahun.”

Mendadak seleraku pada roti hilang. Kegusaran mulai menguasai hati. “Kenapa Mas Yudha lebih menyukai Violet? Dia bahkan nggak lebih cantik daripada aku. Rambut sebahunya juga nggak hitam, tapi cokelat. Kulitku juga lebih putih.”

“Rambut Mbak Violet cokelat sebahu?” Mata Narendra melebar. Lantas ia mengamatiku dengan tatapan penuh selidik. “Apa itu sebabnya kau tidak menyukai Viani? Aku sering melihatmu memandang rambut Viani dengan muka seperti hendak makan orang.”

Kutarik sudut kanan bibirku, menyunggingkan senyum sinis. “Ya, benar. Rambutnya, juga namanya. Mirip. Aku benar-benar tidak suka. Wajar kan aku tidak menyukai Viani, karena dia mirip dengan wanita yang mengambil orang yang tadinya kuharapkan?”

Narendra terdiam sejenak. “Bu Rosa, aku pernah mendengar bahwa laki-laki yang baik akan berjodoh dengan wanita yang baik. Wanita yang baik akan berjodoh dengan laki-laki yang baik. Begitu pun sebaliknya bagi orang-orang yang kurang baik. Berjodoh dengan orang yang mirip dengan mereka.”

Aku menoleh cepat ke arahnya. “Maksudmu?”

“Sepertinya Mas Yudha orang yang baik. Mungkin demikian juga dengan Mbak Violet.”

“Lalu aku? Nggak baik, gitu?” seruku meradang. Berani benar dia.

“Kalau kuberi tahu pendapatku, nanti kamu baper lagi. Nangis lagi.”

Aku cemberut. Daguku berkerut. Kubuang napas kasar.

“Jadi menurutmu, aku akan berjodoh dengan laki-laki yang tidak baik, begitu?”

“Kalau tidak ingin seperti itu, ya jadilah wanita yang baik.” Ia menoleh ke arahku, mengulaskan senyum sesaat, lalu kembali fokus dengan jalan. Mobil kami telah keluar dari tol.

Aku mendengkus sebal. Dadaku sesak. Rasanya aku ingin mencekik Narendra.

Perjalanan selanjutnya diisi dengan diam. Kubuang pandanganku ke luar jendela. Kedua lengan kulipat rapat di depan dada. Muka ditekuk, bibir melengkung ke bawah, dahi berkerut. Narendra membiarkan.

Mungkin sudah lima belas menit kami bungkam, ketika ia kembali bicara. “Kau lebih suka ayam bakar atau sate?”

“Kenapa memangnya?” sahutku judes. Aku masih dongkol karena menurutku dia mendoakan aku berjodoh dengan laki-laki yang tidak baik.

“Aku ingin membayar janjiku untuk mentraktirmu.”

“Nggak usah.”

“Sate saja, ya, kalau begitu.” Ia memutar kemudi ke kiri, menepikan mobil ke warung sate di tepi jalan.

“Nggak mau. Ayam bakar saja,” celetukku.

Narendra memutar kembali kemudi ke kanan, urung parkir di depan warung sate. Terus melaju hingga kemudian menepi di depan kedai ayam bakar.

Air liurku seketika terbit membayangkan hangat dan gurihnya ayam bakar yang dipadu dengan nasi hangat. Perutku langsung keroncongan.

***

“Kata Pak Wira, kau dan Rendra kemarin sore ke Tangsel untuk keperluan pribadi,” Gufron menegurku dengan muka masam. Ia langsung menyejajari langkahku begitu aku menginjakkan kaki di lantai dua. “Apa kalian berdua menginap bersama?”

“Astaga! Ya enggaklah!” seruku, heran dengan prasangkanya. “Kami menjenguk saudaraku yang melahirkan, lalu makan malam bareng. Hanya itu.”

“Jadi, akhirnya anak itu berhasil mengajakmu makan malam.” Gufron mendengkus gusar.

“Ada apa sih, Fron? Apa hakmu untuk marah?” Aku mengerutkan dahi.

“Ya karena aku kenal kamu lebih dulu, Rosa. Aku sudah deketin kamu duluan. Sejak lama. Anak baru itu nggak sopan tiba-tiba menikung jalanku.”

Langkahku terhenti tepat di depan ruangan kami. Kupandang Gufron dengan mata terbelalak. Kadua tanganku spontan memegang kedua pipi dan mulutku agak terbuka.

Astaga! Kata-kata yang sama denganku tadi malam.

Aku lebih dulu mengenal Mas Yudha daripada Violet. Mas Yudha teman mainku dan adik-adikku semenjak kami semua masih anak-anak. Rumahnya di seberang rumahku. Aku yang lebih dulu menyukai Mas Yudha. Tapi, Violet datang dan mengacaukan segalanya.

“Rosa… kenapa?” Gufron bertanya heran. Mungkin tak mengerti mengapa aku memandangnya dengan terperangah.

“Oh, enggak. Nggak apa-apa.” Lekas kubalikkan tubuh dan menuju meja kerjaku. Kukeluarkan laptop dan pura-pura sibuk, agar Gufron tak lagi mengganggu.

Benar Gufron yang lebih dulu mengenalku, juga lebih dulu mendekatiku. Akan tetapi, bila harus memilih di antara Gufron atau Narendra, maka aku akan memilih Narendra. Narendra jelas lebih baik daripada Gufron.

Apa itu berarti Violet memang lebih baik daripada aku?

Iya, sih. Violet tidak pernah menyakiti orang karena iri. Sedangkan aku, memelihara perasaan iri kepada Violet sekian lama. Bahkan Narendra pun tidak luput dari sikap semena-menaku.

Kalimat Narendra tentang orang berjodoh dengan yang mirip dengan dirinya kembali terngiang.

Aduh, apa berarti, aku bisa saja berjodoh dengan Gufron? Iih, tidak mau!

Kelebatan pikiran itu membuatku tersengal. Amit-amit! Aku tidak mau berjodoh dengan Gufron. Aku ingin mendapat imam yang baik dan alim, seperti Mas Yudha.

Kalau begitu, apakah berarti aku juga harus alim?

Kupandangi bayanganku dalam layar laptop yang sedang menampakkan warna hitam. Wajah cantikku dengan rambut hitam bergelombang yang dijepit satu di belakang.

Kusentuh rambutku. Tanpa jilbab, jelas penampilanku tidak sesuai syariat. Pria alim mungkin akan berpikir berkali-kali sebelum memilihku.

Bila menginginkan jodoh yang baik, apa aku perlu memperbaiki diri dulu?

Sejenak aku termangu. Lalu meraih ponsel dan membuka marketplace. Mulai berselancar di antara toko-toko jilbab. Banyak sekali pilihan. Aku bingung. Tak terasa menit demi menit berlalu dan aku masih saja sibuk membandingkan jilbab demi jilbab. Lebih dari satu jam berlalu sudah. Akhirnya, setelah sedikit mual karena terlalu banyak melihat berbagai macam model dan warna jilbab, kucoba memesan dua model yang tampak menarik di foto. Satu warna merah dan satu warna cokelat susu.

Kusandarkan punggung. Aku belum terlalu yakin dengan langkah ini. Tetapi, aku ingin mencoba. Sebenarnya aku juga belum yakin bisa membuka hati kepada pria lain selain Mas Yudha. Akan tetapi, bijaksanakah untuk memutuskan terus sendiri?

Ponselku berdenting. Ternyata dari karyawan front office, Nina.

Nina : Bu Rosa, ada tamu.

Aku : Siapa?

Nina : Katanya ayahnya Bu Rosa.

Aku tersentak. Ayah?

Tergopoh-gopoh aku keluar ruangan. Setengah berlari menuruni tangga. Bagaimana Ayah tahu di mana kantorku?

Saat menyusuri tepi lobi, aku hampir menabrak Narendra dan Angga yang keluar dari lorong menuju pantri.

Tak ada waktu berbasa-basi. Aku harus segera membawa Ayah pergi sebelum membuat keributan.






ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now