PART 8 : DUA KEINGINAN

94 2 0
                                    

Saat Honda Verza merah hitam yang kami tumpangi berbelok memasuki pelataran sebuah restoran di jalan Thamrin, aku merasa separuh nyawaku telah melayang.

Narendra memarkir kuda besinya, lalu mematikan mesin. Di belakangnya, aku masih membeku. Meringkuk sambil mencengkeram ranselnya.

Ia melepas helm full face-nya, lalu bermaksud memutar tubuh. Sulit, karena aku masih memegang ransel di punggungnya erat-erat. Bahkan kedua kakiku masih menjepit badan motor.

“Bu Rosa, kita sudah sampai,” Akhirnya ia hanya menolehkan kepala. Memandangku lewat ekor mata, karena kepalanya juga cuma bisa separuh menoleh.

“A-aku tahu,” jawabku. Perlahan, kulepaskan jemariku yang lembap dari ranselnya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya. Kini ia bisa setengah memutar tubuhnya setelah ranselnya kulepaskan.

Aku tak menjawab. Bibirku agak bergetar.

Tidak. Aku tidak baik-baik saja, Narendra.

Kuturunkan kaki kiriku ke tanah. Lalu perlahan bergerak turun dari boncengan motor. Kaki-kakiku terasa lemas, hingga aku nyaris jatuh.

Narendra sigap menangkap lenganku. Menopangku agar tak jatuh.

“Aku nggak apa-apa.” Kutepis tangannya.

“Wajahmu pucat.” Ia memandangku khawatir.

Ya bagaimana tidak pucat? Aku baru saja naik roller coaster di jalanan.

“Sudahlah. Klien kita menunggu,” ucapku. Kulepas helm dan mulai berusaha merapikan rambut bergelombangku yang sepunggung dengan jemari, tanpa melepas jepitnya.

Enak bagi Narendra. Rambut hitamnya yang lemas dan licin mudah sekali dirapikan. Ia hanya perlu mengusapnya sekilas. Aku jadi iri.

Pasangan suami istri yang menjadi klien kami telah menunggu di dalam restoran. Sebenarnya, mereka klienku. Aku telah bertemu dengan mereka dan mulai membahas proyek ini sebelum Narendra masuk ke JRB. Proyek ini sempat tertunda karena Pak Gustav pergi ke luar negeri selama satu bulan.

Pasangan berusia tiga puluhan itu berdiri menyambut kami. Kuperkenalkan Narendra sebagai rekan kerjaku yang baru.

Setelah memesan minuman, segera kubuka laptop dan memperlihatkan desainku di AutoCAD ke hadapan klien.

Bu Miriam langsung memandang dengan penuh binar. Sedangkan Pak Gustav justru mengerutkan kening.

“Maaf, desain ini tidak sesuai dengan keinginan saya,” Pak Gustav berucap lugas.

“Tapi ini bagus banget,” ujar Bu Miriam, menatap layar laptopku. Mengagumi setiap jengkal rancanganku.

Narendra bangkit dari kursinya, lalu berjalan memutari meja. Kini ia berdiri di belakang kursi suami istri tersebut, ikut mengamati desain dalam layar. Layar laptopku memang menghadap klien, sehingga bagian belakangnyalah yang menghadap ke tempat dudukku dan Narendra.

Sebenarnya, kemarin Narendra telah memintaku untuk menceritakan isi dari meeting pertama dengan klien ini. Apa saja keinginan mereka, agar ia bisa ikut memikirkan desain yang sesuai. Namun, aku menolak mentah-mentah. Kukatakan bahwa aku sudah memikirkan desainnya. Ia hanya tinggal ikut, duduk manis dan memperhatikan. Belajar dari cara kerja dan desainku.

Kini, suami istri yang menjadi klien kami bertengkar cukup sengit. Istrinya ingin memakai desainku. Sedangkan suaminya menolak keras.

Bagaimana, ya, agar Pak Gustav mau menerima desainku? Aku harus meyakinkannya bahwa rancanganku itu bagus. Aku tak ingin kehilangan klien.

“Maaf, Pak Gustav. Bangunan dengan gaya modern seperti ini sedang tren. Saya yakin, Bapak tidak akan kecewa dengan hasilnya,” bujukku. “Setelah bangunannya jadi, saya yakin Bapak akan suka.”

“Saya rasa tidak, Bu,” tukas Pak Gustav. Ia menghela napas. Tampak kesal. Setelah mengacak rambut belakangnya sejenak sambil melirik layar laptop, ia beralih menatapku. “Maaf, Bu Rosa. Saya putuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita. Saya akan mencari jasa biro arsitek yang lain saja.”

Hatiku mencelus kecewa. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Aku harus berusaha meyakinkannya. “Tapi, Pak Gustav—”

“Maaf, kalau boleh tahu, permintaan Bapak dan Ibu saat meeting pertama kemarin seperti apa, ya?” Narendra memotong. Kontan aku melotot ke arahnya.

Bu Miriam berpaling kepada Narendra yang berdiri di belakangnya. “Saya ingin rumah dan perabot modern minimalis. Ya seperti desain Bu Rosa ini.” Telunjuk ramping berkuku panjang wanita itu menunjuk ke layar laptop.

Kuangkat dagu ke arah Narendra. Bangga dengan pujian dari Bu Miriam.

“Tapi saya dari awal kan ingin rumah yang klasik. Saya ingin mengisinya dengan barang-barang antik.” Pak Gustav menukas dengan kening berlipat. “Gambar Bu Rosa jelas tidak sesuai dengan barang antik yang ingin saya beli.”

“Kalau ingin beli barang antik, ya beli saja,” sahut istrinya.

“Tapi ditaruh di mana? Desain ini tidak memberi tempat untuk barang antikku.” Pak Gustav menggerutu.

“Pak, Bu, maaf.” Aku angkat bicara. “Bapak ingin model klasik, berarti mengarah ke gaya mediterania, sedangkan Ibu ingin gaya modern. Dua hal yang bertolak belakang. Akhirnya, saya memilih yang paling tren saat ini, yaitu modern minimalis.”

“Atau kita bisa memakai desain eklektik,” usul Narendra. Ia berjalan kembali ke kursinya, mengeluarkan kertas dan pensil dari ranselnya dan mulai menggambar. Suami istri itu berpandangan, lalu melongok ke arah gambar yang tengah dibuat Narendra.

Aku? Kesal, tentu saja. Namun, juga ingin tahu. Aku sendiri lebih menyukai gaya modern.

“Dengan eklektik, kita dapat mengombinasikan gaya klasik yang Bapak inginkan dengan gaya modern yang Ibu inginkan,” Narendra menjelaskan.

Pak Gustav mengerutkan kening. “Apa berarti ada tempat untuk meletakkan perabot antik saya?”

“Insya Allah ada, Pak. Kita bisa mengatur letaknya diserasikan dengan furnitur modern yang diinginkan Ibu.”

“Saya ingin memajang pigura-pigura foto keluarga di dinding,” Bu Miriam memberitahu.

Narendra mencatat permintaan itu di dalam notes bersampul hitam.

“Saya ingin memasang lampu kristal. Bisa?” tanya Pak Gustav.

“Tentu, Pak.” Setelah mencatat lagi, ia berkata dengan mantap. “Kami akan merevisi desain ini, Pak. Mohon tunggu desain perbaikannya. Iya kan, Bu Rosa?”

Aku cuma menghela napas dan memaksakan senyum kecut.

Pak Gustav memandang istrinya. Ketika Bu Miriam mengangguk, lelaki itu ikut manggut-manggut. “Baiklah. Saya akan menunggu hingga desain barunya selesai.”

“Baik, Pak. Terima kasih atas kesempatannya.” Narendra mengulurkan tangan, yang kemudian dijabat oleh Pak Gustav. Tanpa semangat, kuulurkan tangan ke arah Bu Miriam. Yah, paling tidak, wanita ini tadi menyukai desainku.

“Seharusnya kau tidak ikut campur.” Aku memarahi Narendra begitu kami cukup jauh meninggalkan meja tempat meeting, berjalan berdampingan menuju pintu keluar restoran. “Kini mereka malah memilih desainmu. Padahal aku merancang itu semalaman. Kau lancang! Sungguh, aku ingin membuatmu didepak dari JRB.” Aku bersungut-sungut geram.

“Kalau aku tidak turun tangan, kita akan kehilangan klien itu.” Narendra membela diri.

“Aku sudah akan meyakinkannya,” tukasku.

“Aku nggak yakin Bu Rosa bisa meyakinkan Pak Gustav. Jelas-jelas dia berkata akan membatalkan dan mencari biro arsitek lain.”

Aku mendengkus kesal. Kami telah tiba di pintu keluar. Aku berbelok ke kiri dan melangkah setengah mengentakkan kaki ke arah tempat parkir mobil.

“Kau tak membawa mobil.” Suara Narendra menghentikan langkahku.

Oh, iya. Aku datang membonceng Narendra. Aku pun berbalik. Partnerku masih berdiri tegak di depan pintu, memandangku.

Kuhampiri dia. “Tapi jangan ngebut lagi. Kali ini kita nggak buru-buru, kan?”

“Kau takut?”

Aku terdiam. Mengakui kelemahan di depan orang lain jelas bukan gayaku.

Narendra mengangkat kedua alis.

Oh, baiklah. Aku tak yakin jantungku mampu bertahan bila harus mengulang naik roller coaster jalanan lagi. “Hm… sedikit,” jawabku.

Ia menyunggingkan senyum. Entah apa maksudnya. Kuayun langkah mendahuluinya ke arah pelataran parkir sepeda motor.

“Kenapa sih suami istri tapi keinginannya kontras begitu?” gerutuku. “Dari awal meeting pertama, mereka berantem karena perbedaan keinginan.”

“Namanya juga dua kepala.” Narendra menanggapi gerutuanku.

“Terlalu banyak perbedaan, tapi menikah. Apa nggak rentan? Banyak pasangan yang bercerai, kau tahu?”

Termasuk orang tuaku.

“Berarti sebagai arsitek, tugas kita menjaga agar mereka tidak bercerai gara-gara desain rumah,” jawab Narendra, setengah berkelakar.

Pelataran parkir tampak sepi. Ini memang masih jam kerja.

“Aku akan membuat revisinya semirip mungkin dengan desainmu,” Narendra berkata sembari mengangsurkan helm. Mungkin ia ingin menghibur. Aku masih manyun.

“Pastikan jangan terlalu banyak mengubahnya,” tukasku. “Serahkan hasilnya padaku dulu. Aku mau memeriksanya.”

“Iyaa, Senior.”

Yah, paling tidak, desain yang aku buat semalaman itu masih terpakai sebagai dasarnya.

***

Aku baru masuk ruanganku kala denting ponsel terdengar. Anjani dan Gufron tampak sibuk di depan laptop masing-masing.

Sambil mengenyakkan tubuh ke kursi empuk berlapis kulit sintetis hitam, kubuka pesan WhatsApp yang baru saja masuk itu. Nama yang tertera membuatku menarik punggung dari sandaran kursi dan duduk tegak.

Mas Yudha : Assalamualaikum, Rosa. Alhamdulillah, baru saja Violet melahirkan putri pertama kami di RSIA Putra Dalima.

Tertegun, aku merasa seolah ruang di sekitarku mendadak hampa. Anjani dan Gufron yang ada di meja-meja sebelah seakan menghilang. Cukup lama, aku hanya terdiam. Kemudian, dengan jemari yang berat seolah digantungi bongkahan batu kuketik jawaban yang aku tahu seharusnya dilakukan orang normal.

Aku : Selamat, ya.

Mungkin orang lain akan menyertakan doa semoga menjadi anak yang sholehah, sehat dan seterusnya. Akan tetapi… aku tak sanggup mengetik lebih dari ini. Sesuatu terasa perih di dalam dada.

Mas Yudha : Terima kasih, Rosa.

Kuketuk-ketukkan telunjuk ke layar ponsel. Ada hal lain lagi yang sewajarnya aku lakukan. Namun… aku tak ingin melakukannya.

Aku : Kau tak mengharapkan aku ke sana, kan, Mas?

Mas Yudha : Aku dan Vio akan senang bila kau mau datang menjenguk keponakanmu, Rosa.

Kuhela napas sesak.


























ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz