PART 12 : MENGALAHKAN LUKA

74 3 0
                                    

“Bu Rosa.”

Suara lelaki memanggil namaku.

“Bu Rosa, bangun.”

Aku mengerjap. Sesaat tak mengerti ada di mana.

Kukucek mata. Lalu, terlihat seraut wajah dengan rambut gondrong hingga ke leher, rahang tegas kehijauan bekas dicukur, dan sepasang mata hitam yang tajam.

Kedua mataku yang tadinya enggan dibuka sontak terbuka lebar. Menatap orang itu tak berkedip.

“Narendra?”

Ia tertawa kecil melihatku bingung. “Kita sudah sampai.”

Kutegakkan dudukku yang merosot di kursi, memandang sekeliling. Oh, aku di mobil. Perlahan aku mulai ingat kejadian sebelum aku tertidur.

Kulihat kami sedang parkir di tepi jalan. Di samping kiri kami terlihat bangunan rumah sakit bernuansa putih dengan kombinasi cokelat keemasan dan kuning. Tulisan logam besar di bagian atas bangunan mengonfirmasi bahwa kami berada di tempat yang benar.

Segera kulihat pantulan wajahku di kaca spion. Astaga! Kacau banget. Rambut semrawut, tertarik ke sana-sini. Jauh dari kata rapi. Lalu, meski alhamdulillah mata panda tadi sudah hilang, tetapi kini digantikan oleh muka bantal.

Aku menoleh ke arah Narendra. Tak urung, aku merasa malu dengan penampilanku saat ini di depannya.

Narendra meletakkan kedua tangan di kemudi dengan santai. Tak banyak bicara ataupun berkomentar.

Segera kuraih tas kulitku dari kursi belakang. Kukeluarkan tisu basah yang selalu kubawa, dan kuseka setiap jengkal wajah dengan cermat.

Kukeluarkan sisir merah muda dari dalam tas, lalu melepas jepit rambutku. Rambut hitamku yang bergelombang tergerai kusut.

Duh, sungguh bukan hal yang nyaman untuk berpenampilan sekacau ini di depan seorang lelaki. Meskipun dia juniorku, tetap saja, ini memalukan.

Selesai menyisir dan memasang jepit kembali, aku membuka ritsleting kecil di dalam tas dan mengeluarkan lipstik warna merah. Kulirik Narendra. Jujur, tidak enak hati dan tidak nyaman bercampur menjadi satu. Narendra juga melirikku, tapi tak bicara apa-apa. Maka buru-buru kupoles bibirku tipis-tipis—karena kalau tebal nanti dikira habis makan orang berhubung lipstik yang kubawa berwarna merah menyala.

Setelah mematut diri sekali lagi di kaca spion dan memastikan bahwa penampilanku sudah elegan, kutarik napas panjang dan membuka pintu mobil.

“Kau tak bawa apa-apa?” Suara Narendra menghentikan gerakanku.

Aku menoleh, dan memandangnya tak mengerti.

“Biasanya kalau menjenguk ke rumah sakit, orang membawa buah tangan.”

“Oh iya, Benar. Ayo kita cari dulu.” Kututup kembali pintu mobil dan Narendra menyalakan mesin.

Di toko perlengkapan bayi, kukatakan kepada penjaga toko agar memberiku kado untuk bayi baru lahir perempuan. Dia menyodorkan seperangkat baju dalam kardus. Ada yang berwarna merah muda, hijau dan kuning. “Mau warna apa, Bu?”

“Terserah saja,” jawabku tak acuh. “Tolong dibungkus kado.”

Sementara itu, Narendra yang berdiri di dekatku iseng melihat-lihat sepatu bayi.

Penjaga toko berjilbab putih itu mengembalikan kardus berisi baju bayi yang berwarna merah muda dan kuning ke rak. Lantas mengambil kertas kado biru muda bergambar kartun bayi untuk membungkus kardus yang berisi baju bayi hijau.

“Eh, tunggu. Saya mau yang pink saja,” ujarku. Menurutku, anak perempuan akan tampak manis dalam balutan warna pink.

Ya ampun, untuk apa juga aku memikirkan anak mereka tampak manis?

Sekarang, di sinilah aku, berjalan pelan di lorong rumah sakit sambil menggenggam erat kado berpita merah.

“Apa Bu Rosa baru kali ini menjenguk bayi baru lahir?” bisik Narendra yang berjalan di samping kananku.

“Tentu saja enggak. Teman-temanku sudah banyak yang punya anak,” jawabku. Yah, teman-teman seumuranku memang mayoritas telah menjadi ibu. “Memangnya kenapa?”

“Kau tampak sangat tegang.”

Oh, benarkah?

Bukan masalah bayinya, Narendra. Namun, siapa orang tua bayi ini.

Rumah sakit ini didesain sangat nyaman dengan nuansa putih berkombinasi kuning. Setelah melewati lobi, kami memasuki area kamar inap. Di tengah area ini terdapat sebuah kolam ikan yang dikelilingi pagar besi. Kamar-kamar berderet di sepanjang tepi bangunan, mengelilingi kolam yang cukup panjang tersebut. Suara gemericik air memberi efek menenangkan. Ya, menenangkan bagi orang lain, tetapi tidak bagiku.

Di depan kamar dengan nomor yang disebutkan Papa tadi siang, aku berdiri diam. Narendra memandangku dengan alis terangkat. “Nggak masuk?”

“Tentu saja masuk,” jawabku, masih berdiri diam sambil mencengkeram kado. Seperti ada suara dug dug dug di dalam dadaku.

“Aku tunggu di sini.” Narendra menunjuk bangku besi berukir yang terdapat di depan kamar.

“Iya.”

Kutarik napas panjang, lalu mengetuk.

“Masuk.” Suara yang sangat kukenal terdengar dari dalam.

Gagang pintu kutekan ke bawah, lalu aku masuk dengan langkah anggun dan dagu sedikit terangkat. Aku ingin menunjukkan kepadanya—kepada mereka—bahwa hidupku baik-baik saja.

Duduk di ranjang pasien, Violet memandangku dengan heran. Aku memang datang tanpa mengabari terlebih dahulu. Wajah oval kecilnya tampak lebih chubby. Mungkin efek kehamilan. Ia mengenakan piyama pasien biru muda. Sedetik kemudian mata cokelatnya berbinar. “Rosa!”

“Papa menyuruhku datang,” ucapku, sedikit angkuh.

Detak high heels terdengar jelas beradu dengan lantai di setiap langkahku menghampirinya. Entah apakah aku sengaja membuatnya berbunyi sekeras itu. Setelah cipika-cipiki sekadarnya, kusodorkan kadoku. “Untukmu.”

“Wah, makasih, ya.”

Kuedarkan pandangan. Ruangan ini cukup luas, dengan kamar mandi dalam. Di pinggir ruangan terdapat sofa yang menempel ke dinding. Kuputuskan untuk membawa langkahku ke sana dan duduk dengan anggun, alih-alih duduk di kursi di samping tempat tidur.

Violet menyibak selimut yang menutupi kakinya, lalu turun dari ranjang, dan berjalan pelan menghampiriku. Ada yang membuatnya kurang nyaman. Jahitannya, mungkin.

Pelan-pelan, ia duduk di sampingku. Wajahnya tampak agak kuyu, mungkin lelah begadang menjaga bayi. Di tangan kirinya masih menempel benda plastik berwarna merah muda. Meski begitu, ia tampak bahagia.

“Kau sendirian?” tanyaku, setelah yakin tak ada orang lain di ruangan itu. Kamar mandi juga sepi tanpa suara apa pun dari dalamnya. “Mas Yudha ke mana?”

“Mas Yudha ke minimarket.” Ia mengamati setelan formal yang masih melekat di tubuhku. “Kau langsung dari kantor?”

“Begitulah.”

Mataku tertumbuk pada boks bayi di tengah ruangan. Tertegun. Ada gelenyar nyeri terasa.

“Kau mau melihat Velya?” Violet menawarkan. Kurasa ia melihat ke arah mana tatapanku terpaku.

“Tidak. Tidak usah.” Aku menolak cepat. Meski sebenarnya ada penasaran yang membuncah. Seperti apa wajah bayi itu? Mirip siapa? Apakah mirip ayahnya?

Kemudian aku dan Violet terdiam. Ia tampak berusaha mencari bahan obrolan. Tak mudah. Karena sikapku yang dingin dan tertutup.

“Kurasa aku pulang sekarang saja,” ucapku, lalu meraih tas kulit merah yang tadi  kuletakkan di sebelahku.

“Oh, kenapa buru-buru?”

“Nanti macet.” Aku beralasan.

Saat aku bangkit, tiba-tiba ia memelukku. “Aku senang kau datang, Rosa. Terima kasih.”

“Ehm, ya… sama-sama,” jawabku canggung.

Terdengar suara gagang pintu ditekan. Daun kayu tersebut terayun membuka dan memunculkan sosok itu dari baliknya. Lelaki dengan rambut belah tengah dan mata segelap malam.

Aku menatap nanar ke arahnya.

Ia yang teristimewa bagiku di masa lalu. Dan mungkin… hingga kini belum terganti.


ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now