PART 14 : INTEROGASI

73 4 2
                                    


Suara azan terdengar.

“Sudah magrib. Ke sinikan Velya, Mas.” Violet mengulurkan kedua tangan.

Mas Yudha membawa bayinya menghampiri sang istri. Binar bahagia kulihat jelas pada wajah keduanya. Sungguh membuatku iri. Aku juga ingin memiliki suasana yang seperti itu.

“Maaf, apa Rendra muslim?” Mas Yudha yang telah mengoper bayi itu—siapa tadi namanya? Velya?—bertanya sambil mengarahkan mata kepada lelaki gondrong di kursi tunggal.

“Iya, Mas,” jawab Narendra.

Suami Violet tampak lega. “Kalau begitu, mari aku tunjukkan letak musala.”

Narendra mengangguk, lalu mengikuti Mas Yudha ke pintu.

“Rosa, kau ikut ke musala atau salat di kamar saja?” Suara Violet menyadarkanku yang masih termenung mengamati kedua lelaki itu.

“Oh, iya. Tunggu, aku ikut.” Kuambil kantong berisi mukena merah jambu berbahan parasut dari dalam tasku, lalu beranjak menghampiri Mas Yudha dan Narendra yang berdiri di pintu menungguku. Perasaanku mengatakan lebih aman bila aku mengawasi mereka berdua. Aku tak ingin ada pembicaraan yang tidak pada tempatnya. Atau mungkin membocorkan rahasia kelemahanku satu sama lain.

Pembicaraan semisal bahwa aku nakal saat anak-anak atau bahwa aku sewenang-wenang kepada junior. Meskipun itu benar. Haha.

Setelah menutup pintu kamar, Mas Yudha memandu kami menyusuri selasar. Kami berjalan memutari kolam ikan yang panjang tersebut. Ternyata musala terletak di seberang, agak ke belakang. Musala itu tidak begitu besar, tetapi nyaman. Cukup banyak juga yang salat di situ.

Sekembalinya dari musala, Mas Yudha melongok ke dalam kamar sebentar, lantas kembali menutup pintu. “Velya sedang menyusu. Kurasa kita ngobrol di sini saja, Rendra. Rosa, kalau kau, boleh masuk.”

“Enggak, ah. Aku di sini saja,” tolakku. “Mau lihat ikan.” Kubalikkan badan menghadap ke kolam. Berdiri memegang pagar besi yang membatasi teras dengan area kolam. Sementara Mas Yudha dan Narendra duduk di kursi besi berukir berukuran panjang tempat juniorku tadi duduk menunggu.

Kupandangi ikan yang berenang hilir mudik di dalam kolam. Terlihat cantik, warna-warni. Di ujung kolam, ada patung yang mengalirkan air ke kolam menyerupai air terjun mini. Gemericiknya menyejukkan perasaan.

“Sudah lama kerja di JRB?” Kudengar suara Mas Yudha bertanya, sementara seekor ikan koi bersisik oranye cerah dengan kombinasi belang putih melintas di depanku. Berenang lincah di permukaan air.

“Baru, Mas. Belum ada setahun. Sebelumnya aku magang dan freelance.”

“Kau masih muda sepertinya.”

“25,” jawab Narendra.

“Sorry, Rendra sudah berkeluarga atau belum?”

Mataku melebar. Oh, iya. Aku tak pernah berpikir ke arah situ. Memang status pernikahan karyawan baru pasti tercantum di Curriculum Vitae mereka, tetapi aku tak pernah peduli dengan status orang. Kecuali Gufron, karena dia terus menerus mengejarku sejak aku baru masuk JRB. Padahal, saat itu ia masih beristri.

Dan, kali ini, seharusnya aku mengecek status Narendra. Jangan sampai ternyata aku bepergian dengan suami orang. Jadi, kupertajam telinga untuk menangkap percakapan di belakangku.

“Belum, Mas.”

Napas lega tanpa sadar terembus dari bibirku.

Hei, jangan lega dulu. Memang dia bujangan, tapi bagaimana kalau ternyata pacar orang? Viani?

“Di Jakarta, ngekos?”

Dih, Mas Yudha ngobrolnya jadi kayak interogasi calon mantu. Seolah dia ayahku. Atau kakakku? Yah, sejak dulu dia memang seperti seorang kakak bagi aku dan adik-adikku.

“Enggak, Mas. Aku tinggal bersama ibu dan adikku.”

Oo begitu…. Aku manggut-manggut.

Obrolan terus berlangsung, dan aku tetap berdiri memandang ikan—meski indra pendengaranku saat ini lebih siaga daripada indra penglihatanku.

Sayang, waktu terlalu cepat berlalu dan kami harus pulang bila tidak ingin kemalaman. Aneh memang. Kemarin-kemarin, aku menolak keras untuk datang. Tetapi setelah bertemu mereka, aku ingin tinggal sedikit lebih lama.

Kendati selalu berpikir bahwa aku membenci mereka berdua karena menjadi penyebab patah hatiku, tetapi tak kusangka aura familier dua sosok yang pernah tumbuh besar bersamaku itu membuka bilik rindu di sudut hati.

Malam telah menyempurnakan gelapnya. Lampu-lampu di tepi jalan juga teras-teras rumah yang kami lalui telah dinyalakan. Meski lalu lintas cukup ramai, tetapi syukurlah tidak macet.

Kupandangi sinar-sinar lampu itu sambil mencuil roti yang kuambil dari kantong plastik minimarket di kamar Violet. Roti yang tadi Mas Yudha beli. Aku lapar. Gado-gado yang hanya kumakan setengah saat makan siang tadi sudah tak terasa jejaknya. Air mineral dalam botol yang aku letakkan di dasbor bergetar dan sesekali bergoyang seiring dengan guncangan mobil. Sementara itu, rasa manis dari roti cokelat memanjakan lidah dan perutku.

“Apa tadi kau belum makan siang?” Suara lelaki yang sedang mengemudi di sebelahku terdengar setelah cukup lama kami berdiam dalam kesunyian.

“Makan,” jawabku, menoleh memandangnya. “Tapi sedikit.” Kuulurkan rotiku. “Mau?”

“Tidak.”

Jadi, kutarik kembali rotiku dan mulai mencuilinya lagi. Hening kembali mendominasi. Mobil merahku kini memasuki Tol Alam Sutera.

“Narendra.”

“Hm?”

“Terima kasih sudah mengantarku. Kurasa aku pasti akan kesulitan bila harus mengemudi sampai ke Tangsel dalam kondisi mengantuk berat dan sakit kepala seperti tadi.”

“Menurutku kau tidak akan sampai dengan selamat. Jalanmu saja oleng.”

Kurasa dia benar. Saat berjalan keluar dari kantor tadi, aku merasa bumi seolah bergoyang-goyang. Kepala dan mataku terasa sangat berat. Setelah bangun dari tidur pulas di mobil tadi, barulah kepalaku terasa ringan dan segar. Sakit kepala pun hilang.

Ayla solid red-ku melesat menyusuri jalan tol yang lurus. Di kanan kiri yang terlihat adalah lahan kosong yang gelap. Lampu mobil menjadi penerangan utama yang membimbing jalan kami. Di kejauhan tampak kerlip lampu dari mobil-mobil lain.

“Mbak Violet itu kakakmu atau adikmu?”

“Bukan dua-duanya,” jawabku, sambil mengunyah roti. “Kami seusia.”

Narendra mengalihkan matanya dari jalan dan menatapku dengan sebelah alis terangkat. “Kalian tidak seperti anak kembar. Sama sekali tidak mirip.”

Aku tertawa kecil. “Memang kami tidak kembar. Malah kami berdua sama sekali tidak ada hubungan darah. Ibu kandung kami berbeda. Begitu pun ayah kandung kami.”

Ia kembali memandang jalan di depan. Baguslah, aku takut kami menabrak kalau sopirnya meleng. Sesekali, ia melirikku lewat sudut mata. Tampaknya masih mencerna keterangan yang kuberikan.

“Ibuku menikah dengan ayah Violet.” Akhirnya kuberikan konklusi yang lebih mudah dimengerti.

Narendra manggut-manggut kecil. Ia mempercepat laju mobil untuk mendahului sedan di depan. “Sebagai saudara tiri, kalian tampak rukun.”

“Ah, enggak juga. Dulu kami sering bertengkar.” Dengan tak acuh, kumasukkan secuil roti manis ke dalam mulut. “Banyak hal yang tidak kamu tahu tentang aku, Narendra.”

“Hal apa, misalnya? Bahwa kau menyukai Mas Yudha?”

Roti dalam mulutku mendadak salah jalur. Makanan dari tepung terigu itu tampaknya bukan masuk ke kerongkongan, malah nyasar ke tenggorokan. Alhasil aku terbatuk-batuk.

Sebelah tangan Narendra meraih botol air mineral dari dasbor dan mengangsurkannya kepadaku. “Berarti ucapanku tepat sasaran.”










ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now