PART 4 : KENAPA HANYA AKU YANG TAK DISAYANG?

91 5 2
                                    


“Hey!” seruku kepada orang yang menabrakku. Namun, orang itu terus berlalu tanpa menoleh. Melihat posturnya, ia lelaki dan masih belia.

“Dasar sembrono,” gerutuku sambil memegang bahuku yang lumayan sakit akibat tubrukan keras barusan.

Sudah sembrono, tak tahu adab pula. Bahkan berhenti untuk minta maaf saja tidak.

Kulanjutkan langkah ke arah minimarket sambil terus menggerutu.

Siang ini terasa muram. Ayam bakar dengan sambal gurih dan lezat pun tak dapat mengusir kesepianku kala harus menyantapnya sendirian di sudut warung.

***

“Viani ternyata pintar. Menyenangkan bicara dengannya,” Anjani bercerita, sementara aku duduk di hadapan laptopku yang menyala, di ruang kerja kami. Ia bersandar di mejaku. “Kami makan siang dan membahas banyak hal.”

Padahal biasanya Anjani makan siang bersamaku. Kuhela napas yang sedikit sesak.

Ternyata Viani sama saja dengan Violet. Datang ke dalam kehidupanku dan merebut duniaku.

“Viani bilang dia punya ide brilian,” Anjani masih melanjutkan. “Dia akan menggambarnya dulu untuk ditunjukkan kepadaku. Aku nggak sabar ingin melihatnya.”

“Memangnya kau nggak apa-apa kalau yang kalian ajukan adalah desainnya? Bukan desainmu?” tanyaku.

“Yah, kalau memang lebih bagus desain dia sih aku nggak apa-apa. Tapi kurasa kami akan  mendesain bersama. Gabungan.” Anjani menjawab enteng. “Besok siang rencananya kami akan maksi bareng lagi. Ada banyak hal yang perlu kami rundingkan.”

Kuembuskan napas kasar lalu bangkit berdiri. “Aku mau bikin kopi.”

Seandainya orang lain, mungkin aku akan bergabung saja untuk makan siang bersama mereka. Tetapi Viani membuatku tidak nyaman.

Di pantri, kulihat Viani tengah menunjukkan selembar kertas kepada Angga. Mereka mendongak saat aku mendekat dan mengangguk kecil. Kubalas sekadarnya.

“Aku akan mengajukan sketsaku ini kepada Bu Anjani. Untuk proyek kami,” Suara Viani menyapa telingaku. Ceria dan penuh semangat.

“Bagus ini,” Angga menanggapi.

“Wah, benarkah?”

Aku menahan dengkusan. Jelas, Viani bangga mendapat pujian dari Angga. Kucoba mengabaikan mereka dan melangkah mengambil gelas, lalu mengisinya dengan air panas. Bubuk kopi yang bercampur dengan gula segera menghitamkan air itu seiring dengan adukan sendokku.

“Semoga Bu Anjani akan menyukai desainku ini.” Suara manis wanita itu kembali terdengar.

“Menurutku Bu Anjani akan menyukainya, Viani. Bagus, kok.”

“Tahu nggak, Mas Angga. Aku berharap desainku bisa diajukan pada klien.”

Aku terus mengaduk.

“Semoga bisa, ya, Vian”

“Pasti menyenangkan sekali jika klien menyukainya.” Viani masih terus dengan harapannya.

Kuletakkan kopiku di meja pantri yang terbuat dari multipleks dengan nuansa putih, tepat di sebelah Angga. Lantas, aku mengambil gelas baru untuk kuisi air dingin dari dispenser.

“Kau mau kopi, Vian?” Suara Angga menawarkan.

“Tidak. Aku mau teh. Yuk, bikin minuman dulu. Lalu, beri masukan rancanganku, ya, Mas. Barangkali ada yang kurang.”

Mereka berdua meninggalkan kursi dan menuju rak gelas. Kertas yang sejak tadi diributkan tergeletak begitu saja di meja, sekitar dua puluh sentimeter dari gelas kopiku berdiri.

Aku mendekat. Menatap gambar di kertas itu. Rapi dan cantik. Khas Viani. Rancangan hunian dengan gaya bangunan Jepang. Tadi ia sangat berbunga-bunga. Begitu membanggakan gambar ini. Seolah ini desain terhebat di dunia.

Jemariku terulur dan… menyenggol gelas kopiku hingga terguling. Cairan hitam beraroma kafein itu mengalir di permukaan meja, merambat ke arah kertas Viani. Ujung putih kertas mulai tersentuh dan—

Kertas itu tiba-tiba ditarik, diangkat ke udara. Aku terkesiap. Mendongak dan mendapati Narendra berdiri di sampingku, memegang kertas Viani. Matanya menatapku.

“Desainku!” Viani terpekik, lalu tergopoh-gopoh menuju Narendra. ”Rusakkah?”

“Hanya kena ujungnya. Sedikit. Gambarnya masih aman.” Narendra menenangkan, menunjukkan kertas di tangannya kepada si empunya.

“Alhamdulillah.” Viani menerima kertas itu dengan penuh syukur, nyaris menimangnya seperti bayi. “Makasih banyak, Mas Rendra.”

Angga yang baru datang—sambil membawa sendok di sebelah tangan—memandang genangan hitam di meja pantri. Lalu menoleh padaku. “Bu Rosa pasti tidak sengaja, Vian.”

“Iya, tentu saja,” Viani mengangguk. “Aku yang ceroboh meletakkan desainku sembarangan. Aku tahu Bu Rosa nggak sengaja.”

Aku menelan saliva. Hatiku berdenyut.

“Aku cari Karman dulu,” ucap Angga. Lantas pergi mencari sang office boy untuk membereskan kekacauan yang kubuat.

“Maaf untuk kertasmu. Aku duluan, ya,” ucapku serak, yang dijawab anggukan oleh Viani. Ia masih berdiri memegang kertas desainnya.

Kulangkahkan kaki meninggalkan pantri. Segelas air dingin tergenggam erat dalam rangkuman jemariku. Detak pantofel beradu dengan lantai terdengar di belakangku. Jemariku mendadak dingin. Aku bisa menebak siapa yang mengikutiku. Sialnya, aku juga bisa mengira apa sebabnya dia membuntutiku.

Kuputuskan menghentikan langkah di anak tangga terbawah. Tidak akan bagus bila ia membuntutiku sampai ke ruanganku. Aku tak ingin ada yang mendengar percakapan kami.

Membalikkan tubuh, kutatap wajahnya dengan judes. “Kenapa kau mengikutiku?”

“Aku tahu kau sengaja.”

“Ikut aku.” Kutinggalkan tangga, batal naik ke lantai dua, melangkah cepat ke sayap kiri bangunan. Di situ ada teras kecil yang jarang dilalui orang.

Angin menerpa tubuh kami begitu pintu kaca itu kubuka. Narendra mengikutiku keluar, lalu menutup pintu. Di depan kami kini terhampar rerumputan dan beberapa pohon perdu. Kulipat lengan di depan dada. Memandangnya, meski tak tahu harus berkata apa.

Akhirnya ia yang membuka percakapan. “Sebenarnya, apa yang membuat Bu Rosa tidak menyukai Viani?”

Aku menghela napas berat. “Entahlah.”

“Aku tanya Viani. Katanya, sebelum masuk ke JRB Arsitek, ia belum pernah bertemu dengan Ibu sama sekali. Juga tidak kenal.” Mata kanan itu menatapku penuh selidik. Yang kiri juga, dari sela-sela poni. “Kalau begitu, kenapa?”

Aku berdeham sejenak. “Narendra, sebenarnya, kau ini apanya Viani? Pacarnya? Kalau iya, tahukah kau bahwa di JRB Arsitek tidak mengizinkan suami istri bekerja bersama dalam satu kantor? Salah satu dari kalian harus keluar.”

“Viani adik tingkatku saat kuliah.”

Aku mendengkus kecil, mencemooh. Apa benar hanya adik tingkat biasa?

“Tolong jangan ganggu dia tanpa alasan yang jelas.”

Nyeri. Perlindungan Narendra kepada Viani mengingatkanku pada proteksi Mas Yudha kepada Violet. Kukerjapkan mataku yang sedikit berkabut.

“Mengenai proyek tender butik besok, jika memang aku tidak kau perbolehkan mengajukan rancanganku, bolehkah aku melihat desainmu dulu sebelum acara?” Suaranya melunak.

“Tidak,” ucapku lirih, sedikit sengau. Masih terpengaruh dengan perasaan sedih barusan.

Tanpa bicara lagi aku membuka pintu kaca dan masuk ke dalam. Hatiku seolah teremas perlahan.

Kenapa hanya aku yang tidak dibela?

Kenapa hanya aku yang merasa tidak disayang?

***

“Aku nggak bawa motor hari ini. Numpang mobilmu, ya, Rosa.” Anjani menjajari langkahku menuruni tangga. Kuanggukkan kepala.

Aku tak keberatan Anjani menumpang. Senang malah. Kadang, aku merasa kesepian.

Begitu menginjakkan kaki di lobi, kulihat Viani tengah berbincang riang dengan Narendra di depan pintu masuk. Gadis ini periang, berbeda dengan Violet.

Anjani melangkahkan kaki mendekati mereka berdua. “Viani, besok kita bahas desainmu tadi. Ada yang ingin kutambahkan. Juga pemberian ornamennya terlalu banyak.”

“Baik, Bu.” Viani menjawab penuh semangat. Ia tampak gembira karena desainnya diperhatikan.

Anjani menoleh ke arahku. “Besok kau ada tender, ya? Bareng Rendra, kan?”

“Iya.” Kusipitkan mata ke arah lelaki yang berdiri di sebelah Viani. “Narendra, selama tender ataupun bertemu klien perseorangan, kau harus tampil rapi. Pakai celana bahan. Jangan jeans.” Kupindai ia dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Setrika kemeja dan celana panjangmu hingga licin. Lalu jenggot dan cambang, cukur saja. Jangan berantakan begitu.”

Narendra mengusap cambang di rahangnya. Rambut-rambut kecil yang  menyembul itu sebenarnya membuatnya tampak macho.

“Lalu poni itu.” Aku menunjuk ke arah helaian rambut yang menutupi sebagian mata kirinya. “Lakukan sesuatu pada poni itu. Aku ingin dua matamu kelihatan semua. Orang sewajarnya punya dua mata.”

“Apa ketawa?” Aku mendelik karena ia mengeluarkan tawa kecil. “Aku nggak mau tahu, ya, Narendra. Pastikan besok kau menyingkirkan poni itu.”

Kutarik Anjani untuk mengajaknya berlalu. Meninggalkan pasangan itu. Viani terbengong-bengong memandang aku dan Narendra bergantian.

“Apa kau nggak kelewat galak pada Rendra?” tanya Anjani saat kami sudah masuk mobil.

“Nggak apa. Lebih rapi kan lebih bagus.” Aku berdalih, sembari memutar kemudi melintasi pelataran kantor dan berbelok keluar gerbang. Saat itu, di dekat gerbang, aku melihat sosok ber-hoodie hitam tengah berdiri memandang ke arah mobilku. Atau mungkin hanya perasaanku saja?

ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now