PART 9 : KEBENARAN TERKADANG MENYAKITKAN

84 2 0
                                    

Perlahan, kuketik balasan yang aku yakin membuat Mas Yudha kecewa.

Aku : Maaf, Mas. Aku sibuk.

Mas Yudha : Nggak harus sekarang. Kapan pun kamu sempat. Dateng aja ke rumah. Kamis pagi insya Allah Vio sudah keluar dari rumah sakit.

Layar ponsel kutatap lesu. Justru aku sangat menghindari datang ke rumah itu. Rumah yang dulu kuharap akan menjadi rumahku.

Dengan gerakan lemah, kuletakkan ponsel ke meja.

“Lesu amat. Proyeknya nggak dapet?” Suara Anjani membuatku menoleh.

“Dapet, kok,” Kuusahakan menyusun seulas senyum.

Ponselku kembali berdenting. Lelaki yang lain ternyata.

Narendra : Bu Rosa, aku mau survei lokasi yang rencana akan dibangun proyek untuk tender kita berikutnya. Mau ikut?

Ah, iya. Aku belum meninjau lokasi. Juga belum mulai membuat desain di AutoCAD. Baru merencanakan di kepala dan coret-coret di kertas setelah membaca petunjuk dari penyelenggara tender. Tender pembuatan gedung kantor itu dilaksanakan Rabu pagi. Masih cukup waktu.

Aku : Aku ikut, Narendra. Tunggu aku, aku turun sekarang.

Siang telah mulai bergulir menjadi sore. Angin sepoi sungguh menyejukkan badan yang lengket setelah berkutat dengan panasnya Jakarta di siang hari. Kali ini Narendra tidak ngebut, jadi aku bisa menikmati semilir angin sembari mendinginkan hati yang gundah.

Aku lebih banyak berdiam diri di belakang Narendra. Tak bicara sepatah kata pun. Tenggelam dalam lamunan.

Kau harus datang. Bagaimanapun, Violet itu saudaramu. Seperti ada suara yang muncul di dalam kepala dan mengganggu nuraniku.

Tidak. Aku menggeleng. Dia bukan saudaraku.

Lahan kosong seluas 510 meter persegi itu ditumbuhi rerumputan. Berbekal buku sketsa, notes, pensil dan alat ukur kami merambah tempat itu. Membuat catatan dan tak lupa memotret keadaan sekitar.

Setelah selesai, kututup buku notesku. Surveinya sudah cukup. Aku harus segera mengeksekusi desainku. Bergegas aku berbalik dan berjalan menuju motor.

“Bu Rosa,” Kurasakan tangan hinggap di bahu kananku, menahan langkahku.

Aku menoleh dengan gusar. Dan ia menarik tangannya. “Ada apa?”

“Selokan.” Ia menunjuk ke bawah. Dekat kakiku.

Oh, ya ampun! Aku lupa kalau ada selokan yang memisahkan lahan kosong tersebut dengan jalan. Nyaris saja aku terperosok. Padahal saat datang tadi aku melompatinya. Mungkin, konsentrasiku sedang pecah. Fokusku hanya pada motor yang terparkir, desain yang ada di kepala, juga bayi Mas Yudha dan Violet.

“Dari tadi Bu Rosa diam saja. Tumben.”

Biasanya aku bawel, begitu? Yah, mungkin bawel mengomelinya.

“Ada yang sedang kupikirkan.” Eh, untuk apa aku memberitahunya? “Maksudku desain tender.”

“Kita akan mengerjakannya bersama, kan?” tanya Narendra sambil menyimpan alat ukur yang telah selesai dia pakai.

Aku menggeleng. “Nggak perlu. Biar aku saja.”

“Kenapa begitu? Mengerjakan berdua akan lebih baik.” Ia memprotes. “Akan muncul lebih banyak ide untuk saling melengkapi.”

“Aku tak ingin berdebat, Narendra. Ayo, pulang.”

Tapi bukan Narendra namanya kalau menerima begitu saja keputusanku. Ia terus merecoki aku. Ingin ikut mengerjakan. Sedangkan aku ingin bekerja sendirian.

Ini sudah cangkir kopi ke tiga. Dan desainku belum juga selesai. Lelah. Tapi aku harus memaksa diri. Aku ingin sekali memenangkan tender ini. Ponselku terus menerus berdenting dan berdering, tetapi aku abaikan. Aku tahu itu Narendra. Dasar cowok ngeyel!

Penyelenggara tender kali ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang konsultan IT. Tendernya tertutup dan mengundang hanya tiga biro arsitektur yang mereka pilih. Exotic, AO dan JRB.

Kantor yang nyaman dan membuat betah. Itu permintaannya. Mudah saja. Desain modern dan rapi adalah yang terbaik.

Aku sangat ingin menang tender. Terakhir aku mendapatkan klien yang bukan rumah tinggal sederhana adalah tahun lalu. Sudah cukup lama.

Jadi, kuseduh kopi ke lima dan bekerja dengan penuh semangat, meskipun kantuk terus menyerang.

Akibatnya, saat tender, wajahku kusut dengan kantong mata panda kehitaman. Narendra tiba lebih dulu di lokasi acara. Menatapku masam saat aku datang. Benar-benar masam. Kurasa dia marah. Biarlah.

Saat presentasi, aku menyajikan desain kantor yang modern dan elegan dengan gaya futuristic. AO mempresentasikan desain kantor tertutup dengan kubikel, sedangkan Exotic mengajukan desain vintage dengan perabot antik yang berkesan rumah.

Dua pria dan satu wanita berkacamata—panitia tender—saling berbisik dan berembuk.

“Pada dasarnya, kami menyukai desain yang Bapak dan Ibu ajukan. Yang pertama adalah desain bergaya vintage dari PT. Exotic dan posisi kedua desain modern futuristic dari JRB. Hanya nuansa refresh-nya masih kurang.

“Pak, bolehkah kami mengajukan desain cadangan kami?” Arsitek AO angkat bicara.

“Oh, tentu. Silakan. Makin banyak pilihan makin baik untuk kami.”

Arsitek AO mulai mempresentasikan desain cadangan mereka. Kali ini mereka mengusung kantor dengan model kafe. Unik, sih.

Ketiga panitia tender kembali saling berbisik.

“Apa ada lagi?” Panitia tender yang berkacamata bertanya.

“Maaf, Pak, Bu. Bolehkah saya mempresentasikan desain saya sebagai back up design dari JRB?” Tiba-tiba Narendra yang duduk di sebelahku angkat bicara.

Aku terkejut. Tak membayangkan bahwa ia juga membuat desain.

“Tentu, silakan.”

Narendra mengeluarkan laptopnya, lalu membuka AutoCAD dan program 3ds max. Animasi ruang kantor dengan nuansa alam tergambar di layar. Di beberapa titik terdapat tanaman hijau. Beberapa ruang diberi dinding kaca yang membuat tampak luas dan elegan.

“Hm, unik,” celetuk salah seorang panitia, lalu kembali berunding dengan kedua rekannya. Mereka sempat meminta izin berpindah tempat untuk berunding.

Dan, di luar dugaan, mereka memilih desain Narendra dengan alasan nuansa alam akan memberi refreshing dan penyegaran bagi karyawan-karyawan mereka yang harus memeras otak menghadapi problem dan program. Tetapi mereka menghendaki sedikit perubahan detail yang perlu Narendra lakukan agar kesan formal dari kantor tidak sepenuhnya hilang.

Perwakilan Exotic tampak kecewa, tetapi mereka dengan sikap ksatria mengucapkan selamat dan mengulurkan tangan kepada Narendra dan aku.

Aku berjalan cepat penuh amarah menuju tempat parkir. Narendra mengikutiku. Aku mengabaikannya.

Sesampainya di samping mobilku, ia mendahuluiku dan berdiri di depan pintu mobil bagian pengemudi.

“Apa yang membuatmu marah?” tanyanya. Tak ada jejak senyum ataupun keramahan di wajahnya. Aku yakin, wajahku pun tak kalah tegang.

“Karena kau diam-diam membuat desain sendiri,” sahutku, dengan kedua tangan di pinggang. Suaraku meninggi. “Karenamu, desain yang kukerjakan selama dua hari terbuang sia-sia.”

“Aku sudah berusaha mengajakmu membuat rancangan bersama. Tapi kau mengabaikanku.” Ada kilatan dalam matanya. Seolah dia juga marah. Kenapa dia marah? Di sini aku yang dirugikan.

“Minggir, Narendra. Aku tak ingin bicara denganmu. Tempo hari kau mengubah desainku. Dan, hari ini, kau totally menyingkirkan desainku.” Kudorong dia lalu membuka pintu mobil. Sesak bergumpal-gumpal di dalam dada.

“Kenapa kau begitu egois?” Pertanyaannya membuatku urung masuk ke dalam mobil.

“Aku egois? Kau yang menikam senior dari belakang!”

“Hal seperti ini tidak akan terjadi bila kau mau memberiku kesempatan untuk bekerja sama denganmu. Kau memikirkan dirimu sendiri. Bukan untuk JRB.”

“Lancang sekali kau. Itu tidak benar!”

“Bu Rosa, tahukah kau kenapa kau gagal mendapatkan klien? Itu karena kau mendesain sesuai dengan keinginanmu, bukan keinginan klien. Sifat aku-mu mendominasi.”

Aku masuk mobil dan membanting pintunya. Beraninya dia mengkritisi seniornya.

Kulajukan mobil dengan kasar meninggalkannya. Kekalahan telak dari kubu sendiri sungguh menyakitkan. Tadinya kukira aku akan kalah dari Exotic. Tak kukira justru kalah oleh Narendra. JRB menang, tapi bagiku, aku kalah.

Ayla solid red kupacu kencang meninggalkan lokasi tender. Meninggalkan Narendra. Menggelegak, itu yang terasa di dada. Jam kerja, lalu lintas tidak begitu padat, sehingga aku dapat melaju tanpa hambatan.

Lampu merah menyala. Aku mengerem mendadak hingga decitan ban terdengar. Ucapan-ucapan Narendra yang menusuk hati terngiang-ngiang di benak.

Kalau dipikir ulang, klien-klien yang berhasil aku tangani memang yang tidak begitu rewel dan menyukai desain modern. Sedangkan klien yang kuat kemauannya dan menyukai gaya selain modern kerap lepas dari genggaman.

Kendatipun apa yang ia katakan benar, tetap saja kata-kata Narendra terasa menyakitkan. Kebenaran yang menampar keras.

Air bening bergulir dari sepasang mataku yang memanas. Kuusap cepat. Air mata itu tak mau berhenti. Aku jadi sibuk menyekanya dari mata dan pipi.

Bunyi klakson mobil terdengar beberapa kali dari arah belakang.

Menyebalkan! Apa mereka tidak tahu kalau lampu merah? Kuusap lagi cairan bening yang menuruni pipi.

Suara ketukan dari kaca jendela di sebelahku membuatku menoleh, dan bersirobok dengan sepasang mata elang yang menatapku dari lubang helm fullface merah hitam.

Ah, sial! Sejak kapan dia ada di samping mobilku? Apa dia melihat kalau aku menangis?

Menyebalkan!



ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang