PART 2 : MATA-MATA YANG DIMATA-MATAI

119 4 4
                                    

Sebenarnya, selain rambut dan nama, mereka tidaklah terlalu mirip. Viani lebih cantik daripada Violet, wajahnya putih berseri-seri. Sedangkan Violet berwajah oval kecil dan manis—mirip Papa.

Mata kedua wanita itu juga berbeda. Viani memiliki mata hitam lebar, sedangkan Violet bermata cokelat sendu. Hmm… tetapi sejak menikah dengan Mas Yudha, mata yang dulu selalu redup itu kulihat makin lama kian bersinar. Ck, kurasa dia bahagia. Yah, siapa yang tidak bakal bahagia kalau hidup dengan Mas Yudha?

Dari tempatku berdiri, di lorong, tepat di depan jendela lebar ruangan para karyawan baru, kulihat Viani tertawa kepada Angga. Meja kerja mereka bersebelahan. Meja Viani berada di tengah antara meja Narendra dan Angga.

Jemariku terangkat, hingga ujung-ujungnya menyentuh kaca lebar di hadapan. Mengamati adegan di dalam. Entah apa yang lucu? Hih, kenapa cewek berambut sebahu itu tertawa terus? Sebal! Rasanya seperti sedang menertawakan nasibku yang patah hati ini.

Oke, itu mungkin hanya sentimenku semata. Perasaan sentimen yang muncul karena gadis di depan sana memiliki nama dan rambut yang mirip dengan Violet. Membuatku gemas ingin membuat dia didepak dari perusahaan. Bagaimana ya caranya?

“Ehm.”

Suara dehaman membuatku terlonjak. Cepat aku memutar tubuh dan hampir menabrak dada lelaki yang berdiri tepat di belakangku.

“Apa ada yang bisa kami bantu?” ia bertanya dengan nada datar.

Aku gelagapan, tetapi mencoba memasang wajah dingin. Narendra berdiri sambil memegang segelas kopi di tangan kanan. Aroma cairan hitam itu begitu wangi di udara. Rambutnya yang hitam lurus gondrong menutupi setengah mata. Bagian bawah rambut terjulur hingga ke leher. Sebenarnya kemeja biru tuanya cukup rapi, tetapi celana jeans yang ia kenakan tampak kusut bagaikan belum disetrika. Mata kanannya yang tidak tertutup rambut menyorot tajam ke arahku. Sebenarnya, yang kiri juga, di sela-sela poninya yang kepanjangan.

“Hem… tidak ada. Aku hanya lewat,” jawabku, memasang ekspresi es.

“Mbak Rosa mau ke mana lewat sini?” Ia menunjuk lurus ke depan, ke arah belakangku.

Kenapa memangnya?

Kuputar tubuh, dan tertegun menatap tembok. Jiaah, aku lupa bahwa ruangan karyawan baru ada di lorong buntu. Ini ruangan terakhir. Tidak ada toilet, pantri atau apa pun di ujung sana.

Wajahku terasa panas. Malu menyergap, yang kemudian berubah wujud jadi marah karena ketahuan dan butuh mempertahankan diri. Kutarik napas panjang, lalu perlahan kembali menghadap kepada pria gondrong itu.

“Narendra,” ucapku serak. “Jangan bersikap seolah-olah kau memata-matai aku.”

“Aku? Memata-matai?” tirunya.

Aku merasa tersindir. Apa secara satire dia ingin mengatakan bahwa akulah yang memata-matai orang?—Viani.

“Bila Mbak Rosa ada perlu dengan salah satu dari kami, kenapa tidak masuk saja?”

“Panggil aku ‘Bu Rosa’. Aku ini seniormu, bisa dibilang atasanmu. Tolong hormat sedikit pada senior. Jangan sok akrab,” tukasku angkuh. “Aku tidak ada perlu dengan salah satu dari kalian.”

Kulangkahkan kaki—kupastikan langkahku anggun, bermaksud melewatinya untuk segera berlalu dari tempat ini.

“Viani enak diajak ngobrol. Bu Rosa bisa coba bicara dengannya.”

Langkahku langsung terhenti. Bibirku merapat tegang.

Dari sudut mata, kulihat ia memandangku. Dapat kubayangkan betapa merah padam mukaku. Tanpa bicara lagi, kuayun langkah menjauhinya. Detak sepatuku menggema kala aku bergegas menyusuri lorong pendek itu lantas berbelok ke kanan dan menyeberangi lobi.

Pintu toilet wanita kudorong dengan kasar membuat Anjani yang tengah memasukkan pemulas bibir ke dalam pouch ungu tua di depan kaca lebar wastafel menoleh kaget.

Aku juga kaget. Tak kusangka ada orang di dalam toilet. Aku hanya asal saja masuk ke situ. Pikiranku sedang tidak berada di tempat yang benar.

“Astaga, Rosa! Ada apa?” Seruan muncul dari bibir Anjani yang merah menyala baru dipulas. “Kau seperti dikejar hantu.”

“Tidak ada,” jawabku, sedikit terengah. “Hanya kebelet.” Lalu, kulangkahkan kaki seanggun mungkin memasuki bilik terdekat.

Di dalam, aku hanya terdiam. Aku tidak merasa ingin buang hajat. Dari tadi memang tidak. Kutepuk jidat dengan gemas. Bodoh sekali lari ke toilet. Kenapa bukan menaiki tangga ke lantai dua lalu kembali ke ruanganku saja tadi? Ya karena tadi aku khawatir Anjani dan Gufron ada di ruangan—kami bertiga menempati ruang yang sama—dan menangkap gelagat anehku.

Eh, tapi ternyata ke toilet pun bertemu dengan Anjani.

Di luar, detak high heels terdengar menjauh. Lalu derit pintu dibuka dan ditutup. Kuembuskan napas lega. Anjani sudah pergi.

Kubuka pengunci pintu bilik dan keluar. Berdiri menatap bayanganku dalam kaca wastafel yang panjang. Mata hitamku yang bulat dengan bulu-bulu lentik di sekitarnya tampak resah. Keringat terlihat merembes di dahi. Rambut hitam bergelombangku yang biasanya rapi sedikit kusut. Mungkin karena gerakan jalan cepat setengah lari barusan.

Sial. Aku merasa seperti kucing yang tertangkap basah tengah mengintai ikan. Aku merasa lelaki itu memata-mataiku—saat aku sedang memata-matai Viani. Haha, ini aneh.

Kubuka jepitan panjang hitam dengan hiasan manik putih dari kuncir satuku hingga rambutku terurai ke punggung. Lalu perlahan kurapikan dengan jemari dan kupasang jepit lagi. Aku tak membawa sisir.

Aku membungkuk di depan wastafel, memercikkan air dingin untuk menyeka keringat di dahi. Lantas kukeringkan dengan tisu yang kuambil dari kotak yang tertempel di dinding toilet.

Menghela napas, kupandangi bayanganku sekali lagi. Napasku telah kembali teratur, tak lagi berpacu bak balapan kuda.

Bahkan di tempat yang jauh dari rumah, jauh dari Papa, bayangan Violet tetap saja menghantuiku.

***

Aku sudah meringkuk menikmati pulau kapuk ketika Mama menelepon. Topiknya? Selain bertanya kabar dan deretan nasihat untuk menjaga makan dan kesehatan, masih juga topik yang itu—topik yang ingin kuhindari, tetapi justru semakin sering disinggung Mama dan semua orang.

Topik pernikahan.

“Kamu itu sudah 27 tahun, Rosa. Nggak lama lagi jadi 28. Teman-temanmu sudah pada menikah semua. Kamu kapan?”

“Ya nanti kalau sudah ketemu jodohnya, Ma,” jawabku. Jawaban klise yang sama setiap kali Mama atau siapa pun mendesakku.

“Ketemunya kapaan?” Suara Mama yang keluar dari speaker ponsel terdengar gemas. Mungkin bila dekat, beliau ingin mengunyahku. “Tiap kali dikenalin orang, kamu selalu nggak mau. Nanti tiba-tiba sudah kepala tiga lho, Nduk. Mama aja dulu umur 20 sudah menikah.”

Iya, tapi saat itu Mama salah menikah, kan? Mama menikah dengan Ayah dan berakhir tragis.

“Wanita zaman modern tidak lagi menikah muda, Ma,” dalihku. “Wanita zaman now itu kerja dulu.”

“Kamu kan sudah lama kerja, Rosa. Kariermu juga bagus. Mau nyari apa lagi? Yang kurang dari hidupmu hanyalah suami. Violet saja sudah mau melahirkan. Dia—”

Suara Mama terputus tiba-tiba. Seolah beliau teringat sesuatu. Aku juga berdiam diri. Menarik napas perlahan menahan perih. Aku tahu, meski aku tak pernah memberitahu, Mama pasti bisa menduga siapa orang yang sesungguhnya tersimpan di hatiku.

Malam itu, setelah paginya ijab kabul lelaki itu ucapkan untuk Violet, Mama masuk ke kamarku dan mendapatiku menangis. Beliau memelukku erat seraya berbisik, “Kau anak yang kuat, Rosa. Kau cantik dan pintar. Kau akan mendapat jodoh lain yang terbaik untukmu.”

“Ehm, maksud Mama, sudah waktunya kau menikah. Jangan ditunda lagi.” Suara Mama melalui ponsel menarikku kembali dari lamunan.

Aku masih terdiam.

“Rosa, apa kau mengerti?” desaknya.

“Ah… iya, Ma.”

“Kau harus segera mencari calon suami. Bila kau tidak bisa, maka Mama akan menerima lamaran berikutnya yang datang untukmu.”

Aku hanya menggumam. Mengatakan tak setuju hanya akan mengundang omelan panjang.

Setelah sambungan ditutup, aku hanya duduk termangu. Kamar yang temaram mendukung suasana hatiku yang muram.

Mencari calon suami? Cari di mana? Hatiku sudah melihat hanya kepadanya bahkan sejak aku masih belia.

Ah, sudahlah!

Kuempaskan tubuh ke kasur. Masa bodoh tentang jodoh. Besok aku ada meeting pagi. Kami akan dipasangkan berdua-dua. Satu senior dan satu junior, agar para karyawan baru dapat mempelajari etos kerja perusahaan dengan memperhatikan seniornya.

Dengan siapa aku akan dipasangkan oleh Pak Wira?

Angga, Viani atau Narendra?






ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang