PART 5 : KUNCIR AIR MANCUR

83 4 0
                                    

Kugerakkan spion tengah mengarah ke bawah agar memantulkan bayanganku.

Rambut hitam bergelombangku sudah rapi dijepit ke belakang, oke.

Wajah bersih dengan sapuan bedak tipis. Oh, lipstik. Aku lupa memakai pewarna bibir itu. Buru-buru kubuka tas dan mencari batang kecil yang selalu kubawa.

Karena kostumku hari ini kemeja putih dipadu dengan blazer dan celana cokelat susu, maka warna apa pun masuk. Kupulas lipstik warna pink nude pada bibirku yang berisi. Bibirku tidaklah tipis, cenderung tampak sensual.

Tender Butik Diamor bertempat di sebuah hotel di Kebayoran Baru. Ruang meeting yang disewa oleh penyelenggara tender terdapat di lantai satu. Pintunya terbuka lebar dan beberapa orang dari biro arsitek lain telah berada di dalam. Ada juga yang baru tiba dan bergegas masuk.

Di samping pintu, seorang lelaki muda berperawakan jangkung dan sedikit kurus berdiri tegap. Senyum menggaris di wajahnya saat melihatku menghampiri.

“Kupikir Bu Rosa terlambat,” sambutnya, sembari melirik arloji.

“Macet,” ucapku. Itu benar. Memang agak macet. Mengenai lupa memakai lipstik dan berakhir memulas bibir di tempat parkir, kurasa tak perlu disebutkan.

Owner Butik Diamor yang akan memimpin tender belum datang. Tetapi karyawannya selaku panitia sudah di dalam sejak tadi. Melakukan persiapan.” Ia menjelaskan situasi.

Kuperhatikan ia dengan saksama. Kemeja putih dengan jas hitam. Celana bahan juga berwarna hitam. Pantofel hitam mengilat.

Aku manggut-manggut. Oke juga seleranya.

“Apa kau juga akan memeriksa kebersihan kuku-kukuku?” Ia terkekeh.

Kuangkat mataku ke arah mukanya. Wajahnya bersih. Cambang dan jenggot baru saja dicukur, membekaskan warna kehijauan di rahang tegas itu. Rambutnya juga tampak rapi. Meski ujung bawahnya masih menempel ke leher dan kerah baju, sedangkan poninya yang hitam masih jatuh menutupi sebagian mata kiri. Tetapi, tak terlihat berantakan.

Kukernyitkan dahi. “Kenapa ponimu masih seperti itu? Kan kemarin aku sudah bilang untuk menyingkirkannya.” Aku mulai mengomelinya. “Kenapa kau tidak patuh pada seniormu? Kan instruksiku kemarin jelas. Lakukan sesuatu dengan poni itu. Hari ini aku nggak mau melihat poni itu.”

“Baiklah,” Ia berujar. Sebelah tangan merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan sebuah karet gelang. Aku memandang tak mengerti.

Dengan tenang, Narendra menjumput bagian depan rambutnya dan mengikatnya dengan benda kecil lentur berwarna kuning tersebut.

Aku melongo. Mulutku sampai setengah terbuka.

“Sudah beres, kan? Poninya sudah tidak menutup muka lagi.” Bibirnya ditarik melengkung. Kedua matanya ikut tersenyum. Termasuk mata kirinya yang kini bebas tak berpenghalang. Mata itu hitam, dan tajam.

“Ta-tapi....” Aku bingung mencari kalimat yang tepat. “Astaga, Narendra! Tatanan rambut macam apa itu?” Telunjuk lentikku menunjuk lurus ke arah kuncir yang ia buat di atas kepalanya. Poni yang tadinya menjuntai kini dibelenggu karet gelang. Helai-helainya mencuat lucu persis kunciran air mancur anak TK.

“Yang penting tidak menutupi mata,” Narendra menjawab tak acuh. “Mataku dua-duanya kelihatan, seperti perintah Bu Rosa. Beres, kan?”

“Tidak! tidak beres sama sekali!” sahutku, mulai panik mengingat kapan saja owner butik bisa saja datang dan jelas bukan kesan menawan bila mendapati arsitek dengan kuncir lucu di bagian depan kiri kepalanya.

Oh, apa yang harus kulakukan? Jelas Narendra ingin mencari masalah denganku. Dia bermaksud membangkang.

“Copot karet itu.” Aku menunjuk geram.

“Bu Rosa tidak menyukai poniku, kan?”

“Memang.”

“Nah, berarti sudah benar begini. Win-win solution.”

“Apanya yang win-win solution?” Aku nyaris berteriak. Dahiku telah terlipat-lipat.

Rasanya ingin kuulurkan tangan dan mencopot sendiri karet sialan itu dari rambutnya. Tetapi, aku ingat nasihat Papa agar tidak sembarangan memegang pria. Bukan mahram.

Dulu, dulu sekali. Ketika aku masih berusia sembilan tahun dan Mas Yudha sepuluh tahun. Aku pernah bertanya kenapa ia menepuk dan merangkul bahu Reza—adik laki-lakiku, tetapi tak mau menggandeng tanganku dan Rena?

Saat itu, ia menjawab, bahwa bagaimana pun kami dekat seperti saudara, tetap dia bukanlah saudara kandung kami. Ada batasan karena dia laki-laki sedangkan aku dan Rena perempuan. Katanya, ayahnya mewanti-wanti dia tentang hal ini.

Saat itu, Rena menangis karena mengira Mas Yudha pilih kasih antara dirinya dan Reza. Ah, mungkin kau belum tahu. Dua adikku anak kembar—Rena dan Reza. Rena baru berhenti menangis ketika Mas Yudha membujuk dengan memberinya lolipop pelangi.

Kala akhirnya aku mengerti tentang mahram, aku pun tahu bahwa kami berdua bisa menikah. Lalu, mulai menyusun imajinasi bahwa kelak di kemudian hari kami akan menjadi pasangan.

Namun, ternyata….

Di kejauhan, tampak rombongan kecil mendekat, membuatku terkesiap dan serta merta tersadar dari lamunan masa lalu. Seorang wanita paruh baya tinggi semampai dengan rambut dijambul berjalan paling depan. Gaun hijau zamrud elegan membungkus tubuh rampingnya. Di sampingnya, berjalan pria yang tampak seusia dengan wanita tersebut, mengenakan setelan resmi. Aku mengenali mereka. Yang wanita adalah pemilik Butik Diamor, sedangkan pria itu suaminya. Seorang wanita muda berkacamata mengekor mereka berdua. Dugaanku dia sekretaris. Seorang pria muda berjalan di samping sang sekretaris. Mereka menuju ke arah kami.

Apa yang harus kulakukan? Sama seperti Mas Yudha, Narendra juga seorang pria, dan bukan mahram bagiku. Aku tak boleh memegang dia seenaknya.

“Narendra, owner butik datang,” bisikku. Kucondongkan wajah ke arahnya agar ia mendengar bisikanku. “Lepas karet itu dari rambutmu. Sekarang!”

Narendra menoleh ke belakang. Lalu kembali menghadapku. Ikut berbisik. “Bu Rosa benar. Itu Bu Theresia dan suaminya, pemilik Butik Diamor. Tapi, bagaimana? Kalau karetnya dilepas, poniku akan jatuh menutupi mataku lagi.” Ia mengerjapkan kedua mata hitamnya.

Sungguh, aku ingin menelan dia hidup-hidup.

“Nggak apa-apa,” jawabku. Napasku mulai meningkat kecepatannya. Jarak pemilik Butik dengan kami kian mengecil. “Jauh lebih baik poni daripada kuncir konyol itu.”

“Kau yakin?” Sepasang mata Narendra memandangku lekat. Bibirnya menyunggingkan senyum.

Satu meter, jarak rombongan pemilik butik kini.

“Iya, iya. Aku yakin.” Susah payah kutahan tanganku agar tidak menggapai karet pembawa masalah itu. Kuncir air mancur Narendra bergoyang-goyang seolah menggodaku—atau meledekku? “Demi Tuhan, Narendra. Cepatlah.” Aku mendesis putus asa.

Sebelah tangannya meraih rambut dan karet itu lepas begitu saja. Poninya kembali jatuh menutupi sebagian mata kirinya. Untungnya, Narendra memiliki rambut hitam yang lemas dan licin. Bisa jatuh kembali dengan rapi tanpa menyisakan bekas dikuncir. Ia hanya mengusap rambutnya satu kali.

Rombongan kecil itu telah tiba di dekat kami. Pasangan suami istri pemilik butik memberikan senyum ramah sedangkan aku dan Narendra mengangguk hormat.

“Mari masuk, Pak, Bu. Acara tender segera dimulai.” Sang Sekretaris mempersilakan aku dan Narendra.

Aku melangkah di belakang rombongan itu, kemudian menyusuri deretan kursi dan meja, menuju sisi kiri ruangan yang kulihat masih terdapat kursi kosong. Narendra menarik kursi di sebelah kananku dan duduk di sana. Kulirik dia yang tengah mengedarkan pandangan ke seantero ruangan. Diam-diam kuembuskan napas lega. Sungguh bersyukur kuncir air mancur tadi sudah tidak ada.

ROSA BERDURI (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now