KELUASAN BUMI

2K 416 26
                                    

Malam yang dingin tidak membuat segala amarah dan dendam redam. Dinding-dinding kotor menjadi saksi bisu ketamakan seorang lelaki yang sudah tidak lagi muda. Dirinya tetap congkak mendongak ke atas, begitu percaya diri bahwa dirinya akan selalu kuat untuk mempertahankan apa yang dia inginkan.

Rembulan bersinar terang di luaran sana. Menelusup masuk lewat celah ranting dan dedaunan memberi terang kepada manusia-manusia yang masih memiliki hati nurani. Langkahnya tergesa, dadanya sesak karena kekhawatiran yang tidak lekas juga hilang.

Dirinya yang terbiasa tidak melawan, kini memberikan perlawanan terbaiknya dengan gagah melesatkan timah panas kepada kaki seseorang yang mengaliri darahnya dalam dirinya. Gasendra Gautama menatap tajam saat Rawindra jatuh tersungkur terkena timah panas yang mengenai kedua kakinya.

"Gasendra," gumam ayahnya tidak percaya.

Pewaris Gautama yang di cap selalu tidak becus dalam berbisnis. Lelaki pecundang dikarenakan dirinya mencintai seorang wanita. Lelaki lemah, hanya dirinya ingin hidup sederhana dengan toko roti yang dibangunnya sendiri. Kini, dia berdiri gagah di depan ayahnya sendiri. Mengacungkan pistol tepat ke kepala lelaki tua ini.

"Aku ingin sekali membunuhmu, tapi tidak akan aku lakukan karena ini untuk membedakan aku dan dirimu, Ayah," ujarnya membanting pistol itu ke sudut ruangan.

Rawindra menatap mata anaknya yang mengarahkan kebencian ke arahnya, untuk pertama kalinya. Lebam, darah di sudut bibirnya memperlihatkan perjuangannya untuk sampai di sini.

"Aku pun seorang ayah, aku tidak ingin menjadi seorang ayah sepertimu untuk putraku,"

Gasendra bergegas merangkul tubuh Bumi yang bersimbah darah. Bumi setengah sadar melihat pancaran kasih Papanya.

"Nak, cukup Papa kehilangan ibumu," pekiknya.

Rawindra sadar dari keterkejutannya, dia susah payah berdiri.

"Apa yang kalian lakukan, habisi mereka!" teriak Rawindra kepada orang-orangnya.

Orang-orang yang berbaju hitam terdiam saat muncul Bagus dengan intimidasinya yang kuat.

"Kalian berhak memilih bos kalian siapa sekarang, polisi sudah mengepung tempat ini," ujarnya tegas.

Rawindra tertawa terbahak-bahak. Bagus tidak menatapnya sama sekali. Dirinya langsung melepaskan ikatan Asteroid dan membawanya ke rumah sakit. Bumi dan Asteroid terpisah dengan mobil yang berbeda, berharap kedua nyawa anak ini bisa diselamatkan. Mereka yang menjadi korban tindakan egois orang dewasa yang tidak mau menerima kebenaran.

Rawindra hanya tertawa sampai polisi mengarahkan pistol ke arahnya. Dia mengangkat tangannya, malam ini kecongkakannya tumbang. Dirinya diringkus dengan pasal hukum yang berlapis.

Suara brankar rumah sakit terdengar pilu, langkah kaki suster dan dokter membuat malam ini sangat mencekam. Dingin aura rumah sakit membuat gigil ke lubuk hati orang-orang yang menyayangi mereka. Media bersuara mengenai tragedi yang mencengankan malam ini. Wartawan berlomba memberikan informasi kepada masyarakat.

Asteroid dan Bumi memejam, membiarkan mereka terombang-ambing dalam ruang gelap tanpa lintasan.

***

Gedung-gedung artistik begitu indah tertimpa mentari pagi. Daun-daun maple yang mulai menguning menambah kesan magis kota ini. Rumah sakit terlihat indah berlalu lalang orang-orang memakai baju putih. Di satu ruangan seorang lelaki yang selalu terlelap membuka matanya, melihat sekitar dengan wajah yang begitu pucat.

Suster yang sedang memeriksanya pagi ini langsung tersenyum, dirinya mengernyitkan dahinya. Dirinya ada di mana? 

Suster langsung keluar memanggil dokter. Saat dokter datang memeriksanya lelaki itu hanya diam.

ASTEROIDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang